Lebaran juga menjadi hal yang penting dalam siklus migrasi tenaga kerja internasional. Sayangnya, hingga saat ini pemerintah Indonesia belum memiliki cetak biru tata kelola remitansi yang bisa menjadi pemacu ekonomi.
Oleh
WAHYU SUSILO
·5 menit baca
Peringatan Hari Buruh Sedunia ( May Day) tahun 2022 ini terasa istimewa karena beriringan dengan Lebaran (Idul Fitri). Momentum ini tidak lagi hanya sekedar menjadi peringatan hari besar keagamaan tetapi telah berkembang menjadi tradisi semua warga tak terkecuali kaum pekerja. Lebaran bahkan memiliki dampak yang signifikan terhadap gerak ekonomi dan ketenagakerjaan.
Setiap tahun, negara harus menyiapkan infrastruktur transportasi baik moda transportasi darat, laut, udara maupun infrastruktur jalan untuk memastikan mobilitas jutaan pemudik (yang mayoritas pekerja) lancar baik pada masa arus mudik dan arus balik. Negara juga harus memastikan pasokan logistik (utamanya sembako) lancar dengan harga yang terkendali.
Dalam perspektif sejarah, Lebaran juga telah menjadi inspirasi bagi gerakan buruh di Indonesia untuk menuntut adanya Tunjangan Hari Raya bagi kaum buruh di Indonesia. Pada awalnya, tunjangan ini hanya diperuntukan bagi pegawai pemerintah melalui Peraturan Pemerintah No.27 tahun 1954 mengenai Pemberian Persekot Hari Raya kepada Pegawai Negeri.
Bagi kalangan serikat buruh kebijakan ini dikritik karena bentuknya pinjaman yang harus dikembalikan. Kritik ini menjadi landasan bagi serikat buruh untuk melancarkan tuntutan adanya tunjangan yang sejati kepada kaum buruh untuk merayakan kebahagiaan di hari raya. Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia sangat berperan dalam memperjuangkan tuntutan ini. Hingga akhirnya lahir Peraturan Menteri Perburuhan No. 1 Tahun 1961 tentang “Tundjangan Hari Raja” sebagai hak buruh yang wajib diberikan oleh majikan. Ini menjadi landasan bahwa masalah jaminan sosial ketenagakerjaan telah lama menjadi agenda perjuangan kaum buruh di Indonesia.
Lebaran juga menjadi hal yang penting dalam siklus migrasi tenaga kerja internasional.
Lebaran juga menjadi hal yang penting dalam siklus migrasi tenaga kerja internasional. Dalam durasi waktu setahun, aliran masuk remitansi pekerja migran Indonesia ke tanah air selalu memuncak pada kurva tertinggi pada saat menjelang Lebaran. Hal ini tentu memberi kontribusi yang positif bagi gerak ekonomi wilayah terutama di kantong-kantong pekerja migran, meski sebagian besar masih dimanfaatkan untuk kepentingan konsumsi dan belum secara signifikan mendorong ekonomi produktif. Oleh karena itu, dalam dua tahun terakhir ini, saat pandemi menurunkan volume remitansi, juga memengaruhi dinamika ekonomi wilayah asal pekerja migran. Sayang sekali, hingga saat ini pemerintah Indonesia belum memiliki cetak biru tata kelola remitansi yang bisa menjadi pemacu ekonomi regional.
May Day tahun 2022 ini memasuki tahun ketiga masa pandemi. Berbeda dengan dua tahun sebelumnya ketika virus Covid-19 mengganas sehingga memengaruhi kondisi ketenagakerjaan dan membuat kerentanan dan prekariatisasi kaum buruh, tahun ini angka kasus Covid-19 melandai setelah mengalami dua gelombang penularan hebat dari varian Delta dan varian Omicron. Namun demikian, kaum pekerja belum sepenuhnya keluar dari kerentanan dan prekariatisasi karena kebijakan pemulihan ekonomi tidak terlalu signifikan bagi kaum pekerja, utamanya kelompok pekerja rentan.
Alih-alih mengupayakan agar kaum pekerja dapat bertahan di masa pandemi, nyatanya di tengah masa pandemi pemerintah dan parlemen menyelundupkan UU Cipta Kerja yang memiliki potensi pelumpuhan pada spirit perlindungan yang terkandung dalam semua UU yang terkait dengan kaum buruh/pekerja termasuk pekerja migran. Meski akhirnya Mahkamah Konstitusi RI memutuskan bahwa UU Cipta Kerja ini inkonstitusional bersyarat, namun pemerintah terlihat enggan untuk mengakui bahwa UU Cipta Kerja dalam format Omnibus Law ini bermasalah.
May Day tahun 2022 di Indonesia ini juga makin istimewa pada saat Indonesia menjadi Presidensi G20 yang mengangkat tema “Recover Together, Recover Stronger”. Jika dicermati tiga agenda prioritas yang diperjuangkan Indonesia dalam forum ekonomi yang paling berpengaruh tersebut sangat terkait dengan kondisi kaum pekerja.
Pertama, akses vaksin yang adil dan setara tentu juga merupakan kebutuhan kaum pekerja, termasuk pekerja migran karena persyaratan kesehatan sekarang tentu menjadi semakin ketat dalam dunia kerja dan mobilitas pekerja antar negara. Kedua, pengembangan digital ekonomi merupakan tantangan ketenagakerjaan di masa depan ( future of work) dan ini tentu saja menjadi agenda penting untuk penyiapan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja. Ketiga, transisi energi akan sangat mempengaruhi dinamika ketenagakerjaan di sektor energi dan turunannya. Harus ada perspektif just transition (transisi berkeadilan) dalam proses peralihan industri berbasis energi kotor ke energi bersih.
Selain tiga agenda prioritas tersebut, ada lagi agenda terkait pekerja yang harus juga mendapatkan perhatian serius dari pemerintah Indonesia untuk diperjuangkan agar bisa menghasilkan keluaran yang konkrit. Dalam finance track G20 ada agenda tentang tata kelola remitansi, namun sayang hingga pertemuan para menteri keuangan dan bank sentral G20 pekan lalu di Washington DC agenda ini tidak terdengar. Padahal agenda ini bisa menjadi pendorong pencapaian target SDGs goal 10.c tentang penurunan biaya remitansi. Keseriusan Indonesia membahas soal remitansi akan menjadi bukti bahwa Indonesia menghargai jerih keringat pekerja migran Indonesia.
Keseriusan Indonesia membahas soal remitansi akan menjadi bukti bahwa Indonesia menghargai jerih keringat pekerja migran Indonesia.
Di sherpa track, ada agenda ketenagakerjaan yang diusung oleh Employment Working Group. Sebagai pemimpin dari working group ini, Indonesia mengusung empat agenda prioritas yaitu pasar tenaga kerja yang inklusif dan kerja layak untuk penyandang disabilitas, pengembangan kapasitas pekerja melalui pelatihan untuk pertumbuhan berkualitas dan berkelanjutan, penciptaan lapangan kerja dan perlindungan adaptif bagi seluruh pekerja untuk resiliensi. Agenda ini dimaksudkan untuk mewujudkan kondisi kerja untuk pulih bersama.
Bagi kaum pekerja, agenda tersebut tentu merupakan peta jalan menuju kondisi kerja layak namun apakah benar-benar tercermin dalam regulasi dan kebijakan yang menjadi landasan hubungan perburuhan di Indonesia? Pertanyaan selanjutnya adalah jika benar agenda pasar tenaga kerja yang inklusif itu menjadi prioritas sudah seharusnya pemerintah juga mulai memperhatikan aspirasi kaum pekerja rentan seperti pekerja informal, pekerja rumah tangga, pekerja rumahan dan pekerja migran yang selama ini termarginalkan.