Ekonomi Hijau Digital
Saat ini ekonomi digital dan ekonomi hijau tengah mengubah arah perkembangan ekonomi dunia dengan mekanisme pasar baru dan model-model bisnis baru, Lalu, mengapa ekonomi hijau membutuhkan teknologi digital?
Dua megatren tengah mengubah arah perkembangan ekonomi dunia dengan mekanisme pasar baru dan model-model bisnis baru, yakni ekonomi digital dan ekonomi hijau.
Pandemi telah meningkatkan urgensi dan memicu akselerasi keduanya. Jika diintegrasikan, dua megatren ini menjadi digital green economy, digitized green economy, atau ekonomi hijau digital (EHD).
EHD bisa dipandang sebagai kemunculan model bisnis dan solusi peluang bisnis yang berkaitan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Dalam perspektif new institutional economics, transisi menuju ekonomi hijau menyangkut perubahan institusional atau rules of the game, yakni perubahan aturan informal (seperti norma dan tradisi) dan formal (seperti regulasi dan kebijakan) yang memfasilitasi interaksi sosial ekonomi dan path of development. Dalam hal ini keberlanjutan menjadi norma baru disertai serangkaian kebijakan dan regulasi terkait, termasuk dekarbonisasi.
Sebagaimana ekonomi digital, EHD ditopang oleh faktor enabler-nya, yakni teknologi digital yang dapat berbentuk peralatan elektronik, sistem otomasi, peranti dan sumber daya teknologi, yang dapat menciptakan, memproses, dan menyimpan informasi. Maka, EHD suka tidak suka harus berkaitan dengan teknologi digital.
Dalam hal ini keberlanjutan menjadi norma baru disertai serangkaian kebijakan dan regulasi terkait, termasuk dekarbonisasi.
Teknologi-teknologi digital ini dapat melibatkan blockchain, artificial intelligence (AI) beserta machine learning (ML) atau deep neural networks (DNN), jejaring antarobyek fisik atau internet of things (IoT), big data, cloud computing, dan digital twin yang merupakan bagian dari Revolusi Industri 4.0.
Kolaborasi antara teknologi ini dan teknologi lainnya, seperti sensor, robot, satelit, drone, GPS, dan bahkan smartphone, menyediakan kapabilitas yang lebih besar lagi untuk mendukung akselerasi transisi menuju ekonomi hijau melalui berbagai platform digital.
UNEP merumuskan ekonomi hijau (inklusif) sebagai ekonomi rendah/netral karbon atau emisi nol atau rendah limbah, efisien sumber daya, dan inklusif. Inklusif dapat berarti melibatkan seluruh lapisan sosial ekonomi masyarakat, baik di perkotaan maupun perdesaan.
Baca juga Atasi Dampak Perubahan Iklim, Ekonomi Hijau Jadi Solusi
Platform digital
Mengapa EHD membutuhkan teknologi digital? Pertama, untuk mencapai tujuan ekonomi rendah karbon atau rendah limbah, dibutuhkan alat-alat ukur, pantau, dan kontrol tingkat emisi/polusi udara dari areal emisi secara otomatis, real time, dan saling terkoneksi, termasuk dengan pusat-pusat data, setidaknya dari tingkat industri hingga kota-kota.
Dalam konteks ini, pemantauan kualitas udara dan lingkungan dengan IoT low-power wide area network (LPWAN) dapat menjadi solusi untuk memantau kualitas udara dalam area yang relatif luas. LPWAN menawarkan solusi yang efisien, terjangkau, dan mudah diterapkan untuk jejaring IoT berskala masif dengan aplikasi yang ber-bandwidth rendah dan muatan data relatif kecil-kecil.
Kedua, sejalan dengan tujuan minimalisasi emisi karbon dan limbah, efisiensi penggunaan sumber daya harus dijalankan, baik sumber daya terbarukan dan terlebih sumber daya tak terbarukan (exhaustable), tak terkecuali bahan bakar fosil.
Kehadiran smart building sebagai bagian dari smart energy management bisa jadi solusi untuk efisiensi energi listrik. Sistem ini juga dapat dan perlu dipasang pada moda transportasi kapal laut untuk mengontrol penggunaan BBM fosil pada mesin diesel yang menggerakkan kapal.
Teknologi IR 4.0 untuk efisiensi sumber daya dan minimalisasi limbah juga telah diaplikasikan di berbagai bidang, seperti pertanian, industri manufaktur, transportasi, energi.
Dalam sistem pertanian hidroponik berbasis IoT dan DNN, sistem dapat menangkap parameter-parameter, seperti pH, temperatur, intensitas sinar, dan kelembaban udara. Parameter-parameter dipantau dan dianalisis menggunakan DNN untuk memprediksi tindakan pengendalian yang tepat (irigasi, pupuk, dan lainnya).
Peranti IoT mengirim data dengan cloud untuk dianalisis. Data yang diperoleh beserta labelling tindakan yang tepat kemudian disimpan dalam cloud itu. IoT memungkinkan interaksi machine to machine dan mengendalikan sistem hidroponik secara otonom dan pintar. Sejauh mana kelayakan ekonominya, perlu dikaji lebih lanjut, karena terkait skala bisnis.
Kehadiran smart building sebagai bagian dari smart energy management bisa jadi solusi untuk efisiensi energi listrik.
Pada sektor industri manufaktur, dukungan peranti IoT berteknologi tinggi pada pabrik-pabrik pintar akan meningkatkan produktivitas dan kualitas. Penggantian model-model bisnis inspeksi manual ke pengawasan visual berbasis AI dapat mengurangi kesalahan proses manufaktur serta menghemat biaya dan waktu.
Dengan investasi minimal, personel kontrol kualitas dapat men-set up telepon pintar untuk terkoneksi dengan cloud guna memantau proses-proses manufaktur secara virtual dari mana pun. Melalui aplikasi algoritma machine learning, pabrikan dapat mendeteksi kesalahan-kesalahan secara cepat daripada berjalan lambat ketika pekerjaan perbaikan jadi lebih mahal.
Pada sektor energi, terutama energi baru dan terbarukan (EBT), data produksi dan konsumsi listrik dapat dicatat secara real time melalui pemanfaatan sensor dan IoTs.
Utilitas EBT (seperti meteran pintar dari listrik yang dipasok dari pembangkit berbasis EBT) dengan para prosumen (produsen sekaligus konsumen) dapat di-set untuk saling terkoneksi satu dengan lainnya dan terintegrasi membentuk korporasi listrik secara virtual, yakni dengan transmisi data dan komputasi awan.
Baca juga Transisi Ekonomi Hijau Butuh Investasi Besar
Didukung kapasitas penyimpanan data dan keunggulan komputasi dari pusat data, AI, dan big data, maka produksi, penyimpanan, dan konsumsi listrik dipercerdas dengan system energy grid (smart grid) yang efisien dan berketahanan (terhadap kemungkinan blackout), dan menghasilkan pasokan listrik yang stabil bagi pengguna.
Arus data ini membantu mencapai keberhasilan kinerja dari pasar EBT yang mengotomasi transaksi barang dan jasa dengan platform digital itu.
Dalam transisi menuju ekonomi sirkular, AI dapat mengakselerasi dengan memperluas dan memungkinkan inovasi di seluruh industri terkait. Dalam hal ini AI membantu pengembangan produk, komponen, dan material yang sesuai dengan ekonomi sirkular melalui proses desain yang dibantu machine learning secara iteratif.
Selain itu, AI dapat memperkuat kemampuan kompetitif dari model bisnis ekonomi sirkular dengan mengombinasikan data historis dan realtime. AI dapat membantu meningkatkan sirkulasi produk dan utilisasi aset melalui penetapan harga dan prediksi demand, serta manajemen inventori pintar. AI dapat membantu memperbaiki proses-proses sortasi dan disassembly produk, meremanufaktur komponen, dan mendaur ulang material.
Ketiga, ekonomi hijau digital membutuhkan sistem yang dapat menangani data berjumlah besar (di atas 100 terrabytes per hari) untuk mendukung proses pengambilan keputusan dan kebijakan secara tepat dan cepat, serta untuk memantau progres ke arah SDGs dari perspektif ekonomi hijau, terutama pada tingkat nasional dan global.
Pengelolaan dan pengolahan data berjumlah besar membutuhkan kecepatan, proses analitik, otomasi, konektivitas internet, dan lainnya
Dalam hal ini teknologi big data yang berkaitan dengan volume, velocity, variety, bersama-sama AI dan cloud computing dapat menjadi solusinya. Sebagai catatan bahwa terdapat industri yang juga perlu menangani data berjumlah besar. Industri otomotif berskala besar, misalnya, perlu menangani miliaran komponen secara bersamaan sehingga untuk efisiensi dan presisi dibutuhkan sistem pabrik pintar.
AI dapat membantu memperbaiki proses-proses sortasi dan disassembly produk, meremanufaktur komponen, dan mendaur ulang material.
Pada tingkat teritori/negara dan global, platform digital seperti Global Green Economy Index (GGEI) digunakan untuk mengukur kemajuan pencapaian keberlanjutan dari perspektif ekonomi hijau. Sejak 2010, GGEI mencakup 160 negara dengan 18 indikator untuk mengukur baik progres atas indikator-indikator tersebut pada tingkat negara sejak 2005 (baseline) maupun jarak tiap-tiap indikator dengan target yang ditetapkan secara global.
GGEI mengklasifikasikan 18 indikator itu ke dalam empat dimensi, yakni perubahan iklim dan keadilan sosial, dekarbonisasi sektor, pasar dan investasi, dan kesehatan lingkungan.
Intervensi
Namun, tidak hanya kecanggihan platform digital atau teknologi digital yang menjadi faktor enabler ekonomi hijau digital. Regulasi, kebijakan, dan fasilitasi tentu saja ikut campur tangan dan bahkan berperan vital dalam pencapaian keberlanjutan dan transisi menuju ekonomi hijau.
Baca juga Upaya Transisi Ekonomi Hijau Belum Optimal
Pasalnya, ekonomi hijau yang inklusif itu tak dapat berlangsung dengan sendirinya mengikuti mekanisme pasar. Green investment, green financing, dekarbonisasi, hilirisasi batubara, penerapan pajak karbon, dan penguatan inklusi sosial dalam green growth merupakan contoh-contoh kebijakan intervensi tersebut. Sementara dari sisi digital antara lain adalah kebijakan percepatan dan perluasan transformasi digital.
Wihana Kirana Jaya,Guru Besar FEB UGM, Staf Khusus Menteri Perhubungan