Dialektika Digital Komunikasi Massa, Teman tapi Musuh
Buku ini tidak sekadar membahas secara komprehensif persoalan dinamika platform digital yang merangsek ke dunia media komunikasi massa serta peta permasalahannya, tetapi juga menawarkan solusi untuk menghadapinya.
Kehadiran platform digital dalam dunia komunikasi massa sangat memengaruhi performa serta proses bisnis media massa. Buku Dialektika Digital karya Agus Sudibyo ini menghadirkan sekaligus menyentak kesadaran kita tentang relasi baru yang urgen antara media massa dan platform digital.
Penulis buku dengan cermat membentangkan hubungan antara platform digital dan media massa yang selama ini eksis berkiprah, berikut dampak dan efek yang tak terhindarkan akibat relasi yang terjadi di antara keduanya.
Dalam konteks keindonesiaan, khususnya dalam upaya memahami problematika dan dinamika praktik komunikasi massa kontemporer, buku penting untuk dibaca. Betapa tidak, hingga saat ini belum ada referensi yang begitu komprehensif dalam bahasa Indonesia yang dengan cermat memetakan persoalan-persoalan disrupsi media terkait apa saja akar masala-nya dan bagaimana cara penanganannya. Oleh karena itu, buku ini layak dibaca dan disimak khususnya kalangan pekerja media, birokrat, politisi, dosen, dan mahasiswa.
Platform digital sesungguhnya tidak bisa dianggap netral dalam memfasilitasi arus informasi.
Problem etis
Indonesia merupakan lahan digitalisasi yang menggiurkan karena merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk terbanyak, serta jumlah pengguna internet terbesar di dunia. Namun, dalam realitasnya cenderung tereksploitasi oleh korporasi peguasa industri teknologi digital global. Dalam konteks itulah penting untuk mengedepankan kedaulatan media massa di Indonesia akibat progresivitas rembesan platform digital melalui penggunaan internet di ruang publik.
Negara harus hadir melalui kebijakan yang berpihak pada pengembangan ekosistem media, perbankan, teknologi informasi, serta kewirausahaan nasional yang mandiri dan berdaulat dalam jangka pendek ataupun jangka panjang sebagaimana diungkapkan Sony Subrata dalam kata pengantar (hlm xv).
Dalam bagian pendahuluan, penulis menguliti realitas yang selama ini tak terusik baik secara akademik maupun politik, yaitu doktrin imparsialitas platform digital dengan menawarkan demitologisasi imparsialitas platform digital.
Penulis menawarkan sebuah tantangan untuk mengkaji secara kritis mistisifikasi platform digital sebagai perantara arus informasi dan interaksi sosial yang netral dan imparsial. Tanpa tedeng aling-aling, penulis membongkar selubung platform digital yang sebenarnya melakukan campur tangan terhadap arus informasi dan interaksi sosial. Platform digital sesungguhnya tidak bisa dianggap netral dalam memfasilitasi arus informasi.
Platform digital menjadikan jenis konten dan bentuk perbincangan tertentu secara umum sebagai prioritas didasarkan pada parameter shareability. Tidak sekadar melakukan intervensi dan ”berpihak”, platform digital juga bersikap instrumentalistik terhadap arus informasi dan interaksi sosial. Bahkan, platform digital mengedepankan kepentingannya sendiri ketika memoderasi dan melakukan kurasi informasi dalam ruang publik digital.
Upaya intervensi dan mengendalikan arus informasi tersebut menimbulkan problem etis karena bukan hanya melakukan pembiaran, melainkan juga memonetisasi persebaran ujaran kebencian, berita bohong, serta praktik jurnalisme clickbait yang merusak tatanan masyarakat dan keadaban ruang publik (hlm 7).
Dominasi platform digital
Secara global, platform digital telah mendominasi lanskap industri media/penerbit. Dalam praktiknya platform digital bukan lagi sekadar perusahaan teknologi, melainkan sudah menjadi perusahaan penerbit. Ia tidak hanya menjalankan fungsi perantara konten, tetapi sekaligus menjalankan fungsi kurator dan editor konten. Platform digital bukan hanya bekerja sama dengan perusahaan media sebagai penerbit/produsen konten, lebih dari itu mengambil alih fungsi perusahaan penerbit. Kehadiran platform digital secara signifikan telah mengubah ekologi media konvensional (Bab I).
Disadari bahwa pendapatan dari iklan laksana nyawa bagi industri penerbitan.
Disadari bahwa pendapatan dari iklan laksana nyawa bagi industri penerbitan. Platform digital dalam kenyataan tidak hanya melahirkan teknologi penunjang dalam distribusi konten, tetapi juga menghadirkan beragam teknologi penunjang periklanan digital. Google dan Facebook mendominasi industri periklanan digital. Mereka adalah pemegang inventori iklan terbesar yang juga mengoperasikan berbagai teknologi penunjang periklanan digital yang menimbulkan ketergantungan perusahaan media dan pengiklan. Industri media/penerbit mengalami disrupsi, kalah bersaing dengan platform digital.
Raksasa digital tersebut telah begitu sukses menciptakan teknologi baru dalam mempermudah proses beriklan, sekaligus memperumit rantai periklanan digital dengan melahirkan fungsi-fungsi perantara periklanan digital. Sebelumnya, pasar periklanan hanya mengenal tiga pelaku utama: pengiklan, media/penerbit, dan agen periklanan. Di era digital dewasa ini, pasar periklanan mesti memberi tempat pada perantara baru yang secara ekonomi memperkecil porsi pendapatan iklan industri media konvensional (hlm 99).
Baca juga: Mempersoalkan Imparsialitas Platform Digital
”Publisher right”
Rencana pemberlakuan regulasi tentang publisher right yang akhir-akhir ini ramai dibicarakan secara nasional mendapat respons positif dari Presiden Joko Widodo untuk segera menerbitkan regulasinya. Referensi secara tekstual dan experience tentang publisher right dibahas secara komprehensif di Bab VI. Apa dan bagaimana itu publisher right, bagaimana dinamika dan tantangan implementasinya dengan contoh di beberapa negara (Uni Eropa) cukup detail dibahas oleh penulis.
Regulasi tentang publisher right sungguh penting, terutama dalam mengatasi monopoli distribusi konten dan periklanan oleh perusahaan platform digital global. Selama ini, mereka menikmati keuntungan ekonomi dari hasil keringat media konvensional. Karena itu, publisher right menjadi penting untuk mengendalikan praktik ekonomi monopolistik dalam pasar media massa. Menghadirkan publisher right bagi bangsa ini berarti juga menjaga kedaulatan media massa kita dalam praktik komunikasi massa di negeri sendiri. Karena itu, buku ini menjadi bacaan wajib mereka yang berkepentingan terlibat dalam proses penerbitan regulasi tentang publisher right.
Buku ini tidak sekadar membahas secara komprehensif persoalan dinamika platform digital yang merangsek ke dunia media komunikasi massa serta peta permasalahannya, tetapi juga menawarkan solusi dengan mengajak pembaca untuk berdiskusi secara jernih berdasarkan data dan komparasi hasil riset yang tepercaya dari beberapa negara. Dengan membaca buku ini, kita mendapatkan informasi lengkap dan tepercaya tentang ada apa yang telah terjadi di balik fenomena dialektika digital.
Realitas dialektika digital membawa media massa menghadapi suatu keniscayaan, yaitu berkolaborasi sekaligus berkompetisi. Jika mengabaikannya, risiko membayang, semakin tertinggal atau tergilas. Hanya saja, jika berkolaborasi, adakah tercipta ruang yang lebih fair tanpa dominasi hegemonik dan monopolistik? Di sini perlu keterlibatan negara. Negara butuh penguatan yang rasionalistik, didukung fakta empiris.
Realitas dialektika digital membawa media massa menghadapi suatu keniscayaan, yaitu berkolaborasi sekaligus berkompetisi.
Buku ini merupakan jawaban untuk landasan penopang penguatan atas pentingnya regulasi itu. Kata pengantar Menkominfo menegaskan pentingnya buku ini sebagai referensi berlayar di tengah gelombang dahsyat disrupsi media.
Aswar HasanKomisioner KPI Pusat, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin, Makassar.
Judul: Dialektika Digital: Kolaborasi dan Kompetisi Antara Media Massa dan Platform Digital
Penulis: Agus Sudibyo
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit: 2022
Tebal: xxi + 479 halaman
ISBN: 978-602-481-767-1