Praktik ODOL perjalanan barang menimbulkan banyak kerugian akibat jalan rusak, kecelakaan lalu lintas, dan kemacetan. Namun, kebijakan zero ODOL berdampak terhadap biaya logistik. Untuk ini, perlu ada solusi alternatif.
Oleh
SUTANTO SOEHODHO
·4 menit baca
Sistem transportasi sebagai media penghubung sistem tata ruang, baik untuk perjalanan manusia maupun barang, merupakan media mutlak pendukung aktivitas sosio-ekonomi atau sebagai tulang punggung pembangunan ekonomi pada skala mikro ataupun makro. Pandemi Covid-19 memberi banyak pengalaman untuk sistem teknologi informasi berperan menggantikan perjalanan manusia dengan work from home (WFH), tetapi tetap tidak menggantikan perjalanan barang. Lebih jauh dapat diperkirakan potensi WFH yang dapat menggeser berkurangnya porsi biaya transportasi setiap individu dari pendapatannya ke porsi belanja barang yang lebih besar.
Di sisi lain, sudah puluhan tahun praktik kendaraan barang dengan dimensi dan beban berlebih atau ODOL (overdimension overload) berlangsung dan berdampak eksternalitas berupa kerusakan badan jalan. Berbagai sumber menyebutkan bahwa pemerintah mengeluarkan dana sebesar Rp 43, 45 triliun untuk memperbaiki badan jalan yang rusak akibat praktik ODOL. Pada tahun 2018 unit pelaksana penimbangan kendaraan bermotor (UPPKB) juga mencatat sekitar 71,82 persen pelanggar aturan, yakni 46 persen melangggar ketentuan kapasitas angkut (OL) dan 22 persen melanggar ketentuan dimensi (OD).
Sesungguhnya dampak eksternalitas praktik ODOL yang negatif tidak sebatas kerusakan badan jalan, tetapi juga kecelakaan lalu lintas, kemacetan, dan bahkan polusi udara. Untuk mengatasi dampak negatif ini, Kementerian Perhubungan telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 21 Tahun 2019, yang secara bertahap membatasi ODOL menuju zero ODOL melalui pengawasan secara bersama beberapa lembaga negara, seperti Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Perindustrian, badan usaha milik negara, Kepolisian Republik Indonesia, dan asosiasi industri.
Mudah dibayangkan, dengan zeroODOL, pasti memunculkan masalah baru dalam konteks mata rantai-pasok di mana harga komoditas akan meningkat sebagaimana kita tahu bahwa harga pasar merupakan komponen dari biaya produksi dan biaya distribusi/transportasi. Urusan distribusi ini melibatkan produsen di satu sisi dan operator truk di sisi lain sebagai penyedia jasa perjalanan barang yang dibayar sesuai jumlah perjalanan/rit dan bukan sesuai kuantitas muatan.
Dengan harga komoditas yang tinggi, tentu konsumen bukanlah penikmat; dengan rusaknya badan jalan, pemerintah juga bukan penikmat; operator truk hanya melayani produsen dengan segala persyaratan dari produsen. Namun, apakah benar bahwa selama ini produsenlah yang menikmati praktik ODOL, dengan asumsi mereka mengirim barang dengan frekuensi/rit yang lebih kecil dengan kuantitas barang yang sama, maka biaya distribusi pun menurun. Hal ini perlu investigasi lebih jauh apakah benar dengan praktik ODOL, produsen sungguh sudah memberi harga pasar atau harga eceran tertinggi (HET) yang lebih ekonomis yang dinikmati konsumen?
Dengan harga komoditas yang tinggi, tentu konsumen bukanlah penikmat; dengan rusaknya badan jalan, pemerintah juga bukan penikmat; operator truk hanya melayani produsen dengan segala persyaratan dari produsen.
Solusi alternatif
Suatu kalkulasi kuantitatif beberapa sumber menyebutkan bahwa kebijakan zeroODOL berdampak langsung terhadap biaya logistik, kebijakan ini mengakibatkan inefisiensi dalam transportasi darat dan logistik yang serius. Penurunan efisiensi sebesar 1 persen diperkirakan mengakibatkan penurunan produk domestik bruto (PDB) 0,057 persen. Angka tersebut diturunkan dengan asumsi bahwa pengangkutan barang yang sebelumnya menggunakan satu truk akan bertambah menjadi 1,5 atau 2 truk untuk mengangkut jumlah volume yang sama.
Namun, penulis tetap menyarankan pembatasan ODOL mutlak harus diberlakukan dengan sanksi yang keras dan tegas, karena fenomena ini memiliki lingkaran setan ekonomi (vicious economic circle), di mana keberadaan ODOL pasti berdampak negatif kepada pemerintah, produsen, dan konsumen. Pertanyaannya, apakah dengan pengetatan ODOL, kegiatan distribusi mati? Jawabannya tidak. Namun, perlu ada solusi baru.
Pertama, pada dasarnya jalan rusak diakibatkan oleh batas maksimum tekanan gandar kendaraan (ekivalen muatan sumbu/EMS) sebesar 8,16 ton dilampaui dan aturan dilanggar. Hal ini dapat diatasi dengan mengubah tipe kendaraan angkut, misalnya dengan persyaratan menambah jumlah sumbu/gandar kendaraan dan/atau memberi roda ganda pada setiap sumbu untuk dimensi tertentu sehingga beban pada badan jalan tersebar kepada jumlah sumbu yang lebih banyak dan beban pada permukaan badan jalan menjadi berkurang dengan muatan yang sama.
Kedua, sudah saatnya transportasi barang direformasi pada tingkat jaringan (network level) yang melayani keseluruhan mata-rantai pasok, dari titik produsen sampai konsumen, secara optimal. Reformasi dimaksud antara lain: pengaturan operasi tipe kendaraan sesuai kelas dan dimensi jalan, pemanfaatan gudang sebagai titik konsolidasi/hub dan titik transfer muatan dari tipe kendaraan berat ke ringan, melakukan perjalanan barang pada malam hari (night-trunking), pemanfaatan sistem informasi untuk menghindari kemacetan lalu lintas dan kelas jalan yang tidak layak, menerapkan integrasi moda secara optimal (seperti kereta api dan truk), memanfaatkan angkutan barang pada kereta api di luar pelayanan penumpang (tengah malam sampai pagi hari), dan bahkan dalam kondisi tertentu menerapkan penghapusan peran distributor yang memperpanjang rantai-pasok dan mengganggu proses distribusi itu sendiri.
Sutanto Soehodho, Guru Besar Bidang Transportasi; Dosen Mata Kuliah Logistik di Fakultas Teknik Universitas Indonesia.