Mewaspadai Tindak Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik
Tindak kekerasan seksual tak hanya berupa ancaman pemerkosaan secara fisik, tetapi juga bisa berupa tindakan lain yang memanfaatkan teknologi informasi dan internet untuk memperdaya korban. Perlu kepastian perlindungan.
Salah satu isu krusial dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual adalah Pasal 4 Ayat 1 yang memasukkan kekerasan seksual berbasis elektronik sebagai jenis tindak pidana yang dilarang.
Selain pelecehan seksual nonfisik dan fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, dan perbudakan seksual, tindak kekerasan seksual berbasis elektronik dimasukkan sebagai varian dari tindak kekerasan seksual yang banyak mengancam masyarakat, khususnya perempuan dan anak-anak.
Di era masyarakat postmodern, pengertian kekerasan seksual memang tidak lagi hanya berupa tindak pemerkosaan secara fisik. Ketika teknologi informasi dan internet berkembang makin luas, tindakan pelaku yang menyebarluaskan dan menjadikan rekaman elektronik untuk memperdaya dan menekan korban juga dianggap sebagai tindak pidana yang berbahaya bagi masyarakat.
Korban yang diperdaya biasanya tak memiliki kuasa untuk menolak sehingga harus pasrah menjalani perbudakan seksual dengan dalih demi cinta.
Dalam beberapa tahun terakhir, kita tidak sekali-dua kali membaca berita tentang kasus tindak kekerasan seksual berbasis elektronik. Seseorang laki-laki yang diputus pacarnya karena acap berbuat kasar, misalnya, sering kemudian ingin mempertahankan hubungan eksploitatif dengan korban dengan cara melontarkan ancaman akan menyebarkan rekaman atau foto mereka ketika melakukan hal-hal yang melanggar susila. Korban yang diperdaya biasanya tak memiliki kuasa untuk menolak sehingga harus pasrah menjalani perbudakan seksual dengan dalih demi cinta.
Dalam kasus lain: seseorang dengan bermodal bujuk-rayu dan pendekatan personal sering pula berhasil memperdaya korban yang biasanya remaja putri atau bahkan anak-anak yang diminta berfoto telanjang atau melakukan video call dengan memperlihatkan bagian intim dirinya. Korban yang tanpa sadar direkam pelaku biasanya tidak bisa berbuat apa-apa ketika diperas pelaku untuk memberikan sejumlah uang dengan kompensasi foto atau rekaman videonya tidak disebarkan ke media sosial.
Di luar berbagai kasus di atas, masih banyak contoh lain tentang tindak kekerasan seksual berbasis elektronik yang kian marak terjadi di masyarakat.
Baca juga Kenal lewat Medsos, Anak SD di Baubau Jadi Korban Pencabulan
Intinya, tindak kekerasan seksual jangan dibayangkan hanya berupa ancaman pemerkosaan secara fisik, tetapi juga bisa berupa tindakan lain yang memanfaatkan teknologi informasi dan internet untuk memperdaya korban hingga tidak lagi memiliki kuasa untuk melindungi kehormatan, tubuhnya, dan bahkan masa depannya.
Predator seksual di era ”postmodern”
Selama ini, ada banyak ragam tindak kekerasan seksual yang terjadi di era masyarakat postmodern. Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) disebutkan tiga hal yang termasuk dalam perbuatan kekerasan seksual berbasis elektronik.
Pertama, melakukan perekaman dan atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetujuan orang yang jadi obyek perekaman atau gambar atau tangkapan layar. Jenis kekerasan seksual ini boleh jadi yang paling banyak dan kerap terjadi di masyarakat kita.
Kedua, mentransmisikan informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima, yang ditujukan terhadap keinginan seksual. Pelaku yang sengaja mengirim konten porno kepada korban biasanya bertujuan membangkitkan libido atau menyampaikan pesan-pesan bermuatan ajakan seksual yang merendahkan dan memperlakukan korban tak ubahnya obyek kepuasan dirinya.
Ketiga, melakukan penguntitan dan atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi obyek dalam informasi atau dokumen elektronik untuk tujuan seksual. Dalam kasus ini, jika korban melakukan perekaman dan mentransmisikan informasi elektronik, untuk kepentingan umum atau untuk membela diri, maka korban tidak dapat dipidana.
Di era masyarakat digital, tindak kekerasan seksual berbasis elektronik ada indikasi makin intensif terjadi. Berbeda dengan masyarakat modern yang sebagian besar masih gagap dalam penggunaan teknologi informasi (TI), di era masyarakat postmodern, kecanggihan dalam penguasaan TI dan niat jahat pelaku sering berkelindan membuat korban-korban baru tindak kekerasan seksual berbasis elektronik terus berjatuhan.
Di era masyarakat modern, sudah lazim terjadi seseorang yang hanya kenal pelaku di dunia maya melalui berbagai platform media sosial justru menjadi jauh lebih mudah akrab, sering curhat, bahkan menyerahkan apa pun kepada teman yang hanya dikenal di dunia maya secara tak sengaja (accidental).
Sikap kritis korban acapkali hilang. Alih-alih menyelidiki lebih dahulu siapa teman digital yang mereka kenal di media sosial, sering terjadi korban justru teperdaya oleh tipu daya dan konstruksi yang sengaja dibangun pelaku tentang identitas dirinya.
Selain ditandai perkembangan teknologi informasi yang luar bisa canggih, dewasa ini juga muncul apa yang disebut sebagai kebudayaan virtual riil.
Bagi korban yang tidak siap beradaptasi dengan pola-pola perubahan baru di era masyarakat digital, mereka cenderung berpotensi menjadi korban yang paling rentan teperdaya masuk dalam perangkap predator-predator seksual berbasis elektronik.
Selain ditandai perkembangan teknologi informasi yang luar bisa canggih, dewasa ini juga muncul apa yang disebut sebagai kebudayaan virtual riil. Kebudayaan virtual riil adalah satu sistem sosial-budaya baru di mana realitas itu sendiri sepenuhnya tercakup, sepenuhnya masuk dalam setting citra maya, di dunia fantasi, yang di dalamnya tampilan tidak hanya ada di layar tempat dikomunikasikannya pengalaman, tetapi mereka menjadi pengalaman itu sendiri (Ritzer & Goodman, 2008).
Masyarakat yang semula berinteraksi dalam ruang yang nyata dan bertatap muka, dengan kehadiran internet, mereka kini bisa berinteraksi dengan siapa pun, tanpa harus dibatasi nilai dan norma, sehingga di kalangan warga masyarakat yang mengembangkan hubungan dalam jejaring komputer tak pelak mereka pun tumbuh dengan subkulturnya yang khas, yang berbeda dengan masyarakat yang selama ini mengembangkan hubungan sosial tatap muka.
Di dunia maya, yang terjadi sering kali adalah fenomena multiple identity. Artinya, satu orang bisa saja mengonstruksi sebagai sosok atau figur yang berbeda-beda, tergantung pada teks-teks budaya yang mereka tampilkan dalam percakapan di dunia maya.
Seorang penjahat kelas kakap bukan tidak mungkin menampilkan dirinya sebagai sosok wise guy yang bijaksana, saleh, dan humoris untuk memancing dan memperdaya korban. Di kesempatan lain, seorang predator seksual juga bisa mengonstruksi dirinya sebagai sosok yang berbeda: sabar, telaten, pecinta hewan, dan berbagai karakter lain untuk memancing simpati korban.
Di dunia maya, interaksi sosial yang berkembang dan dikembangkan para predator seksual sering kali bersifat kamuflase dan berlebihan. Seperti dikatakan Castells (2000), kekhasan teknologi informasi bukan terletak pada kemampuannya mengimbas realitas maya ke dunia nyata, melainkan kemampuannya membangun kemayaan yang nyata atau real virtuality. Dengan kata lain, kehadiran teknologi informasi terbukti mampu menghadirkan efek suatu peristiwa atau entitas secara aktual, padahal peristiwa atau entitas itu sendiri tidak riil.
Seperti dikatakan Piliang (2004: 64), bahwa di era revolusi informasi, masyarakat memang masih berinteraksi satu dengan yang lain, tetapi kini tidak lagi dalam komunitas yang nyata, melainkan di dalam komunitas virtual.
Internet sebagai satu bentuk jaringan komunikasi dan informasi global telah menawarkan bentuk-bentuk komunitas sendiri (virtual community), bentuk realitasnya sendiri (virtual reality), dan bentuk ruangnya sendiri (cyberspace), sekaligus melahirkan pula konsekuensi-konsekuensi sosial yang mungkin tak terbayangkan bakal terjadi sebelumnya.
Perkembangan teknologi informasi dalam konteks ini tidak hanya menampilkan citra dan tontonan, tetapi juga meleburkan batas antara fakta dan fiksi (Borgmann, 1999: 192). Bagi masyarakat yang tidak siap beradaptasi dengan era baru, jangan heran jika mereka kemudian menjadi korban yang rentan dan mudah diperdaya oleh para predator seksual yang melakukan kekerasan seksual berbasis elektronik.
Tindak kekerasan berbasis elektronik dari segi hukum merupakan delik aduan, kecuali korban adalah anak atau penyandang disabilitas.
Memastikan perlindungan
Tindak kekerasan berbasis elektronik dari segi hukum merupakan delik aduan, kecuali korban adalah anak atau penyandang disabilitas. Ketika korban adalah anak-anak di bawah umur atau penyandang disabilitas, maka ada tidaknya kehendak atau persetujuan korban tidak menghapuskan tuntutan pidana pada pelaku yang memanfaatkan kelemahan dan kerentanan korban.
Pelaku tindak kekerasan berbasis elektronik dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun dan atau denda paling banyak Rp 200 juta. Sementara, jika tindak kekerasan seksual berbasis elektronik dilakukan untuk tujuan memeras atau mengancam, memaksa, atau menyesatkan dan memperdaya seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, maka ancaman hukuman diperberat menjadi pidana penjara paling lama enam tahun dan atau denda paling banyak Rp 300 juta.
Apakah ancaman hukuman yang berat bagi pelaku akan mampu meredam dan membuat orang-orang jera hingga tidak melakukan tindak kekerasan seksual? Untuk membuktikan hal ini, waktulah yang akan menentukan.
Pengalaman selama ini telah banyak membuktikan bahwa untuk mencegah agar para predator seksual berbasis elektronik tidak makin marak, niscaya tidak akan cukup hanya ancaman pidana kurungan atau denda ratusan juta rupiah.
Upaya untuk mencegah agar anak dan perempuan tidak menjadi korban tindak kekerasan elektronik juga membutuhkan kesadaran kritis dan dukungan dari lembaga sosial di masyarakat agar mampu melakukan mekanisme deteksi dini dan memberikan perlindungan sosial yang aman bagi masyarakat yang berpotensi menjadi korban.
Warga masyarakat yang rentan menjadi korban tindak kekerasan seksual berbasis elektronik tidak lagi hanya berharap dalam hidupnya beruntung dan tidak terpilih menjadi sasaran predator seksual.
Pemerintah, lembaga sosial, dan semua pemangku kepentingan perlu memberikan perlindungan sekaligus memberdayakan masyarakat agar tidak mudah teperdaya menjadi korban ulah predator seksual yang memanfaatkan kelebihan teknologi informasi dan internet.
Kombinasi literasi digital, literasi informasi, dan literasi kritislah yang menjadi kunci agar masyarakat tidak menjadi korban tindak kekerasan seksual berbasis elektronik.
Rahma Sugihartati, Dosen Isu-isu Masyarakat Digital Program S-3 Ilmu-ilmu Sosial FISIP Universitas Airlangga