NKRI adalah negara sekuler, tetapi dalam arti negara sekuler moderat karena di dalam NKRI ada Kementerian Agama yang mengurus agama dan diakomodasinya hukum Islam.
Oleh
SUKRON KAMIL
·6 menit baca
SUPRIYANTO
Ilustrasi
Pada Sabtu, 16 April 2022, Moh Mahfud MD menulis artikel di harian Kompas berjudul ”Fikih Konstitusi Negara Pancasila yang Islami”. Tulisan itu merupakan rekonstruksi atas ceramahnya yang disampaikan di Masjid Kampus UGM sebelumnya. Yang mengentak dari tulisannya adalah pernyataan bahwa kaum Muslim wajib mengikuti tuntutan Nabi Muhammad SAW dalam membangun negara, tetapi haram membentuk sistem dan mekanisme bernegara seperti yang dibentuk Nabi.
Di akhir tulisannya, ia berkesimpulan bahwa NKRI dengan Pancasila-nya sudah final, sudah Islami, dengan mengutip pandangan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Disebut mengentak, bahkan mengguncang, karena sudah menjadi kesepakatan umum di kalangan kaum Muslimin, apa yang dilakukan Nabi Muhammad adalah teladan (sunnah). Tulisan merupakan tanggapan positif dari tulisannya itu.
Apa yang disampaikan Mahfud MD sesungguhnya masuk kategori tipologi moderat dalam jagat pemikiran Islam hubungannya negara, yaitu pandangan bahwa konsep Islam di bidang politik berada pada pertengahan antara dua pendapat ekstrem yang saling berlawan: Sayyid Qutub dan al-Maududi yang teokratis di satu pihak (Islam sebagai agama sekaligus negara [dîn wa daulah], dan Ali Abd ar-Raziq yang sekuler di pihak lain (Islam sebagai agama bukan negara [dîn la daulah]).
Jika dimasukkan ke dalam pemikiran negara sekuler pun, pemikiran Mahfud MD hampir sama dengan Ira M Lapidus. Bagi Lapidus, NKRI adalah negara sekuler. Namun, dalam arti negara sekuler moderat karena di dalam NKRI ada Kementerian Agama yang mengurus agama dan diakomodirnya hukum Islam, yaitu hukum keluarga, ekonomi, dan ibadah. Hanya hukum pidana yang harfiah saja yang tidak dilegislasi.
Kompas
Komunitas kartunis yang bergabung dalam Persatuan Kartunis Indonesia (Pakarti) Bali menyelenggarakan pameran kartun nasional NKRI Harga Mati di Plaza Renon, Denpasar, Bali, 20-22 Agustus 2017. Kartun yang ditampilkan memvisualkan kepedulian dan kegelisahan kartunis Indonesia menyikapi persoalan di dalam negeri.
Secara pemikiran politik Islam, NKRI sebagai negara moderat (sekuler moderat) seperti Mahfud MD di atas agaknya adalah pemikiran Islam yang paling kuat, yang sahih. Paling tidak, jika dilihat dari sisi praktik politik modern saat ini, dan dilihat dari kenyataan bahwa pemikiran negara sekuler dan teokratis adalah jenis pemikiran reduksionis terkait Islam (tidak mencerminkan Islam secara keseluruhan [Islam kafah]).
Ada beberapa alasan yang bisa dikemukakan. Pertama, jenis/tipologi politik moderat kini dianut oleh mayoritas negara di dunia, di Barat kontemporer sekalipun. Konsep negara sekuler totok (mutlak) yang berpandangan freedom from religion, bebas dari agama, terutama di ruang publik (peminggiran agama di ruang publik secara absolut), meski dulu banyak dianut negara-negara komunis, di Eropa kini hanya dianut antara lain oleh Perancis yang menerapkan negara sekuler totok dan segelintir negara komunis.
Secara pemikiran politik Islam, NKRI sebagai negara moderat (sekuler moderat) seperti Mahfud MD di atas agaknya adalah pemikiran Islam yang paling kuat, yang sahih.
Agama di Perancis sama sekali tak boleh ada di wilayah publik, di sekolah negeri sekalipun. Maka, di Perancis mengenakan kerudung bagi seorang siswi di sekolah negeri pun dilarang. Dan ini berbeda dengan di Amerika Serikat atau negara Eropa Barat, seperti Inggris dan Belanda. Inggris, bahkan, punya gereja negara, sebagaimana Indonesia dengan negara Pancasila-nya yang mempunyai kementerian agama dan menerapkan seluruh hukum Islam, kecuali sebagian hukum pidana Islam.
Bahkan, dalam pandangan Habermas, ajaran agama boleh menjadi aturan negara selama prosesnya bisa diperdebatkan secara rasional sehingga berbagai pihak bisa menerima dan isinya tidak melanggar hak-hak minoritas. Maka, kini negara sekuler pun lebih diartikan sebagai fereedom of religion, kebebasan beragama, di mana seorang yang berasal dari kaum minoritas secara agama tidak mendapat diskriminasi dan ia dimungkinkan menjadi pejabat publik seperti walikota atau menteri sekalipun.
Kedua, negara moderat (negara sekuler moderat) seperti NKRI sesungguhnya sudah dipraktikkan Islam sejak abad ke-7 Masehi. Paling tidak, dalam arti negara yang di dalamnya terdapat dualisme kepemimpinan yang berbeda, yaitu kepemimpinan politik dan moral tidak di tangan satu orang atau satu kalangan saja.
Dalam praktik sejarah Islam, sejak Dinasti Umayyah (660-750 Masehi) berdiri, kepemimpinan politik di bawah Mu’awiyah sebagai pendirinya. Sementara kepemimpinan moral (agama) dan intelektual di bawah para ulama atau belakangan para sufi meski Mu’awiyah (berkuasa 661-680 Masehi) sebagai khalifah menjadi simbol kesatuan umat Islam.
Sejak Mu’awiyah, para khalifah Islam menampilkan dirinya pada interes politik dan pemerintahan Islam. Di bawah khususnya kepemimpinan ulama itu—tentu faktor lain juga berperan—Islam pun mengagumkan masyarakat yang ditaklukkan sehingga banyak dari mereka yang memeluk Islam. Wilayah yang saat ditaklukkan kaum Muslimin masih sebagai wilayah dengan mayoritas non-Muslim pun belakangan sekitar dua hingga lima abad setelah abad ke-7 menjadi wilayah dengan mayoritas warganya yang Muslim.
Memang sempat terjadi penyatuan dua kepemimpinan/kekuasaan seperti di negara teokratis di tangan khalifah oleh Al-Ma’mun (berkuasa 813-833 Masehi) dengan kebijakan erastianisasi yang melahirkan pergolakan politik. Erastianisasi adalah pemraktikan atas paham Thomas Erastus mengenai supremasi negara atas gereja/agama dengan memaksakan paham teologi rasional Mu’tazilah. Namun, sejak masa Al-Mutawakkil berkuasa, tepatnya pada tahun 848-849, kebijakan itu dibatalkan. Kepemimpinan moralitas dan intelektual diserahkan kembali ke ulama.
Ketiga, dalam sistem pemikiran politik Sunni, sistem politik yang dikehendaki Islam boleh tidak dalam bentuk teokratis murni. Sistem politik Sunni cenderung kepada konsep negara sekuler yang moderat. Alasannya, karena dalam Sunni, pemerintah yang boleh dilawan dengan mengangkat senjata hanyalah pemerintah yang melarang kaum Muslimin untuk meyakini ketauhidan Allah dan shalat Jumat, atau shalat wajib lima waktu. Tiga hal itu yang paling esensial yang harus diperjuangkan dengan senjata.
Lihat misalnya pandangan Ibn Qudamah (1146-1223), seorang pengikut mazhab Hambali. Menurut dia, tidak sepatutnya kaum Muslimin menentang seorang pemimpin politik, kecuali ia memerintahkan untuk mengingkari Tuhan. Atau dalam bahasa Imam Hambali, kecuali jika ia murtad atau melarang pelaksanaan Jumat.
Di luar pembelaan atas tiga hal itu, kaum Muslimin dilarang melakukan pemberontakan politik karena bagi Ibnu Qudamah, pemberontakan politik hanya akan mengacaukan persatuan umat Islam. Sistem politik Sunni seperti itu sejalan dengan kaidah ushûl fikih (metodologi penetapan hukum Islam) yang terkenal: ”Daf’u al-mafâsid muqaddam ’alâ jalb al-mashâlih” (menolak kerusakan harus didahulukan daripada mendatangkan kemaslahatan). Dalam konteks politik ini, artinya menghindari peperangan sebagai kekacauan politik yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban jiwa dan rasa tidak aman akibat perang harus didahulukan daripada melakukan perang terhadap kekuasan yang ada meski tidak menerapkan sebagian syari’ah Islam sekalipun.
Secara hadis, pandangan para ulama Sunni di atas sangat kuat. Dalam hadis sahih riwayat Muslim dan Ahmad, Nabi bersabda: ”Sebaik-baiknya pemimpin kalian adalah mereka yang kalian cintai dan mereka juga mencintai kalian. Juga mereka yang kalian doakan dan mereka juga mendoakan kalian. Sedangkan seburuk-buruknya pemimpin kalian adalah mereka yang kalian benci dan mereka juga membenci kalian. Juga mereka yang kalian kutuk dan mereka juga mengutuk kalian.”
Lalu Rasulullah ditanya; ”Apakah kami boleh melawan mereka dengan senjata?” Jawab Nabi: ”Jangan menentang mereka, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian.” Di ujung hadis itu disebut keharusan membenci perbuatan kemaksiatan yang dilakukan pemimpin politik yang tidak baik tanpa harus memberontak.
Mengenai tidak berlakunya hukum Islam di luar tiga hal itu oleh pemerintah tidak dipermasalahkan oleh umumnya ulama Sunni. Apalagi hukum pidana Islam yang mungkin sulit untuk bisa diterapkan secara harfiah. Dan ini sejalan juga dengan pandangan Ibnu Rusyd dalam buku fikih empat mazhabnya, Kitab Bidâyah al-Mujtahid. Menurut dia, hukum pidana Islam adalah opsional yang tidak harus diterapkan secara harfiah.