Posisi bahasa Indonesia dalam hubungannya dengan bahasa Melayu sangat unik. Di satu sisi bahasa Melayu merupakan dasar bahasa Indonesia. Namun, perkembangan bahasa Indonesia melaju lebih cepat mengikuti zaman.
Oleh
MAMAN S MAHAYANA
·5 menit baca
Wacana penetapan bahasa resmi atau bahasa pengantar ASEAN kembali dimunculkan. Kali ini, Perdana Menteri Malaysia Dato’ Ismail Sabri Yaakob, Jumat (1/4/2022), di depan Presiden Joko Widodo menawarkan bahasa Melayu sebagai pilihan.
Bagi pengamat sejarah bahasa Melayu, pilihan bahasa Melayu sangat dapat dipahami. Itulah cara lain menegaskan lagi akar yang sama yang melekat pada bahasa nasional (Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura). Tambahan lagi, Mindanao (Filipina), Patani (Thailand), dan beberapa etnik di Vietnam dan Kamboja, juga masih memelihara bahasa Melayu. Jadi, tanpa mengibarkan nama negara, pilihan pada bahasa Melayu sangat wajar dan masuk akal.
Bahasa etnik
Wacana menginternasionalkan bahasa Melayu di kawasan Asia Tenggara sesungguhnya bukan hal baru. Sanusi Pane dalam artikelnya di Soeara Oemoem (Februari 1934) mengusulkan agar bahasa Indonesia memakai ejaan ”ilmu pengetahuan internasional” yang digunakan di Semenanjung. Nur Sutan Iskandar (1949) lebih tegas lagi menganjurkan agar Indonesia bekerja sama dengan Malaysia menyamakan bahasa Indonesia dan bahasa Melayu agar kelak jadi bahasa yang berkumandang di Asia Tenggara.
Dalam Kongres Bahasa dan Persuratan Melayu Ketiga (16-21 September 1956), dua tokoh Asas 50, Usman Awang dan Asraf, mengusulkan agar bahasa Melayu di Malaysia dan bahasa Melayu di Indonesia dapat disamakan. Tujuannya, pertalian darah dan kebudayaan kedua bangsa tetap terpelihara. Sejak itu, terjadi kerja sama kebahasaan antara Indonesia dan Malaysia yang menghasilkan Ejaan Melindo (Melayu-Indonesia, 1959) dan Ejaan Baru (1966) yang keduanya belum sempat diresmikan.
Menelusuri sejarahnya yang panjang, bahasa Melayu memang sejak lama menjadi bahasa internasional.
Menelusuri sejarahnya yang panjang, bahasa Melayu memang sejak lama menjadi bahasa internasional. Pada abad ke-7, misalnya, bahasa Melayu sudah menjadi lingua franca di wilayah Nusantara. Sejumlah prasasti berbahasa Melayu (kuno) yang ditemukan di Bogor, Pekalongan, dan daerah lain menunjukkan bukti itu. Bahasa Melayu sebagai bahasa diplomasi terjadi pada abad ke-17 ketika kesultanan-kesultanan di Nusantara menjalin hubungan dengan beberapa kesultanan di Timur Tengah dan Asia Barat.
Selepas itu, gelombang pertama kedatangan bangsa Eropa ke Nusantara yang dimulai Portugis dan Spanyol dalam mencari emas hitam (rempah-rempah) mengukuhkan bahasa Melayu menjadi bahasa diplomasi.
Surat-menyurat resmi Kesultanan Palembang (1662), Ternate (1683), Banten (1692), Makassar (1783), Riau (1784), Banjarmasin (1797), sampai abad ke-19 dengan Raja Portugis, Spanyol, dan pejabat Belanda menggunakan bahasa Melayu dengan huruf Jawi atau Latin. Pada periode itu, bahasa Melayu juga menjadi bahasa ilmu pengetahuan yang mula dirintis Hamzah Fansuri (abad ke-16).
Sejak itu, kesultanan-kesultanan di Nusantara menghasilkan begitu banyak naskah dengan berbagai tema yang sampai kini sebagian besar naskahnya masih tersimpan baik.
Bahasa Melayu terbukti berperan penting dalam menjalin hubungan diplomasi antarkesultanan atau dengan pihak asing. Ia menyebar begitu luas, melampaui wilayah Nusantara. Pada periode itu, tradisi baca-tulis dan kehidupan dunia literasi tumbuh semarak.
Bahkan, kegiatan menghasilkan naskah berbahasa Melayu dan Arab menjadi semacam gengsi kesultanan di Nusantara. Oleh karena itu, bahasa Melayu menjadi bahasa elitis yang menunjukkan reputasi kaum bangsawan dan intelektual, sekaligus populis sebab masyarakat luas dapat membaca (dan memahami) isi naskah-naskah itu.
Dilihat dari aspek historis, linguistik, dan sosiologis, bahasa Melayu tidak syak lagi memenuhi syarat sebagai bahasa internasional. Setidaknya, kita dapat memahami jika kemudian diusulkan sebagai bahasa pengantar atau bahasa resmi ASEAN.
Pilihan logis
Pertanyaannya kini: mengapa Mendikburistek Nadiem Makarim menolak usulan bahasa Melayu yang disampaikan PM Malaysia? Bagi (bangsa) Indonesia, bahasa Melayu itu sebuah keajaiban. Ia bahasa etnik yang diterima berbagai etnik menjadi bahasa baru bernama bahasa Indonesia, seperti diusulkan M Tabrani dan Muhammad Yamin! Faktor bahasa Indonesia itu yang justru menjelma mukjizat bagi bangsa Indonesia.
Bagaimana mungkin sebuah bahasa baru bisa disepakati bersama berbagai etnik lewat kongres, 28 Oktober 1928, jika bukan lantaran perkara nasionalisme? Utusan Jong Java, yang dalam kongres itu terpaksa berpidato dalam bahasa Belanda, menyadari pentingnya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Butir ketiga Sumpah Pemuda menyatakan: Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Maka, bahasa Indonesia berfungsi meleburkan etnisitas ke dalam persatuan Indonesia.
Dalam konteks itu, posisi bahasa Indonesia dalam hubungannya dengan bahasa Melayu menjadi sangat unik.
Begitulah, penerimaan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia bukan hanya karena faktor bahasa itu sendiri, melainkan juga karena kata Indonesia bukan nama etnik dan ia berfungsi sebagai alat persatuan. Bukankah kegagalan Kongres Pemuda Pertama (1926) lantaran terjadi ketidaksepakatan pemakaian nama bahasa etnik? Oleh karena itu, pemilihan bahasa Melayu, di belakangnya ada keterangan: bahasa Melayu Riau seperti dinyatakan A Hueting dan Van der Roest, Fokker, Van Ophuijsen, Muhammad Yamin, Agus Salim, Ki Hadjar Dewantara, Soetomo, Abdul Muis, dan Nur Sutan Iskandar.
Dalam Kongres Bahasa Indonesia Pertama di Solo (1938), keterangan itu dipertegas lagi: bahasa Melayu (Riau) yang sudah ditambah, diubah, atau dikurangi menurut keperluan zaman dan alam baru.
Lalu, dalam Kongres Bahasa Indonesia Kedua di Medan (1954), ada lagi tambahan keterangan: ”bahasa Melayu yang disesuaikan dengan pertumbuhannya dalam masyarakat Indonesia sekarang”.
Dalam konteks itu, posisi bahasa Indonesia dalam hubungannya dengan bahasa Melayu menjadi sangat unik. Di satu pihak, menerima bahasa Melayu sebagai asal dan dasar bahasa Indonesia, di pihak lain, bebas mengembangkan diri dan terbuka menerima serapan bahasa lain sambil terus menyesuaikan dengan perubahan zaman.
Maka, perkembangan bahasa Indonesia melaju begitu cepat. Sebagai bahasa persatuan, ia merekatkan keberbagaian etnik; sebagai bahasa nasional, ia mengatasi bahasa etnik, tetapi sekaligus juga memperkaya diri dari bahasa etnik dan bahasa asing. Belum lagi penciptaan istilah-istilah baru yang dimulai sejak zaman Jepang. Fenomena itulah yang tidak terjadi di Malaysia dan Brunei Darussalam meskipun bahasa nasionalnya bersumber dari bahasa Melayu.
Di belakang semua itu, ada substansi yang tidak dapat diganggu gugat, yaitu perkara nasionalisme! Penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan adalah titik berangkat Indonesia yang dibayangkan: bertanah air, berbangsa, dan menjunjung bahasa persatuan. Ia menumbuhkan sentimen keindonesiaan yang lalu mengentalkan semangat kemerdekaan.
Di sinilah bahasa Indonesia mewujudkan mukjizatnya yang tidak dimiliki bangsa-bangsa lain. Oleh karena itu, jika bahasa Melayu disetujui sebagai bahasa resmi ASEAN, itu berarti bangsa Indonesia kembali ke masa sebelum Sumpah Pemuda.
Dikatakan Sutan Takdir Alisjahbana, ”Bahasa Indonesia lahir karena ia mempunyai sejarah panjang masa lalu ’sesuatu yang logisch gevolg (akibat logis) dan logische voortzetting (perkembangan logis) dari masa yang silam’.”
Maka, penetapan bahasa resmi ASEAN, pilihan logisnya adalah bahasa Indonesia; atau mengangkat nama bahasa baru—seperti peristiwa Sumpah Pemuda—yang merepresentasikan akar bahasa nasional negara-negara ASEAN!