Menaburkan (Kembali) Kasih Sayang di Sekolah
Semua azab, kegilaan, dan kebodohan yang dipertontonkan di ruang publik selama ini menjadi alarm untuk menelaah ulang peta jalan pendidikan di Indonesia. Dan semua itu hanya bisa diubah dengan cinta.
”This day of torment, of craziness, of foolishness—only love can make it end in happiness and joy.” (WA Mozart and Lorenzo Da Ponte, The Marriage of Figaro, 1786)
Pertunjukan kebiadaban terhadap Ade Armando di depan Gedung DPR pada 11 April 2022 sudah masuk ke ruang-ruang batin masyarakat, termasuk sebagian anak dan remaja melalui media arus utama dan media sosial. Beberapa hari setelah peristiwa ini pun, wacana publik masih dipenuhi dengan pembahasan dan perdebatan dari berbagai perspektif.
Artikel ini tidak membahas pandangan politik Ade Armando sebagai korban penganiayaan ataupun penyelenggaraan demonstrasi yang melibatkan mahasiswa dan siswa SMA/SMK dengan tuntutan-tuntutan mereka. Artikel ini mengajak pembaca ikut memikirkan dampak tontonan penganiayaan di ruang publik terhadap pertumbuhan anak muda dan upaya perbaikan situasi di lingkungan pendidikan.
Beberapa tokoh dan lembaga sudah menyampaikan kecaman, kutukan, dan tuntutan penegakan hukum terhadap pelaku penganiayaan. Kebrutalan yang ironisnya terjadi di depan gedung perwakilan rakyat itu tidak selayaknya terjadi di negara yang menjunjung tinggi martabat manusia.
Baca juga: Hukum dan Keadaban Publik
Betapapun besar ketidaksepakatan dan ketidaksukaan kepada seseorang, tidak ada manusia yang pantas dianiaya, dipermalukan, dan direndahkan sedemikian kejamnya. Lebih menyedihkan lagi, masih ada diskursus pembenaran terhadap peristiwa itu dengan menyalahkan korban dan pandangan politiknya yang disebarkan di ruang publik oleh sebagian pengamat politik dan bahkan oleh beberapa intelektual yang seharusnya berperan sebagai nurani bangsa.
Tidak ada rasa tanggung jawab terhadap dampak dari diskursus pembenaran tersebut bagi anak-anak muda. Penghalalan tindakan kekerasan akan menggandakan kekerasan baru tanpa henti, mengubah manusia menjadi zombie, dan menjebak bangsa ini dalam kemerosotan moral.
Emosi politik
Cuplikan dari teks opera Mozart dan Da Ponte di awal artikel ini dikutip dalam buku Martha Nussbaum, Political Emotions: Why Love Matters for Justice untuk menunjukkan perlunya rasa kasih sayang dalam tatanan baru demokrasi. Mendalami inspirasi Abraham Lincoln, Martin Luther King Jr, Mahatma Gandhi, dan Jawaharlal Nehru dalam membangun rasa kebangsaan, Nussbaum mengidentifikasi dua emosi politik yang mesti dikendalikan suatu masyarakat: kesedihan (grief) dan jijik (disgust).
Dibutuhkan spirit tragedi yang mengatasi kehilangan dengan membangun bela rasa dan kasih sayang serta spirit komedi untuk mengatasi rasa jijik (terhadap liyan) dan membangun relasi timbal balik. Retorika dan proyek kebudayaan bisa menjadi jembatan antara emosi-emosi politik dan kasih sayang yang berfokus pada energi cinta. Pertunjukan kebudayaan termasuk pentas seni dan film, pertandingan olahraga, monumen, taman, flash mob, dan bahkan stand-up comedy merupakan contoh-contoh retorika dan media yang diselenggarakan, baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
Retorika dan proyek kebudayaan bisa menjadi jembatan antara emosi-emosi politik dan kasih sayang yang berfokus pada energi cinta.
Selain itu, ada emosi lain, yakni takut, iri, dan, malu yang juga mengganggu perjalanan kebangsaan dan berpotensi membawa suatu bangsa dalam kehancuran. Sebagai strategi mencapai kemenangan dalam perebutan kekuasaan, banyak politisi menggunakan retorika yang justru memanipulasi emosi-emosi negatif ini untuk kepentingan jangka pendek dan bahkan mengubahnya menjadi—dalam istilah Immanuel Kant—kejahatan radikal.
Rasa jijik dan kebencian terhadap kelompok lain dikembangkan dengan menimbulkan ketakutan, kedengkian, dan malu melalui disinformasi dan misinformasi yang sengaja disebarkan melalui media sosial. Penganiayaan terhadap Ade Armando dan banyak kebrutalan yang sudah terjadi sebelumnya merupakan puncak-puncak peristiwa dari bangunan rasa jijik dan kebencian yang seharusnya menjadi alarm untuk menelaah ulang peta jalan pendidikan di Indonesia.
Baca juga: Mendekonstruksi Keterbelahan
Pedagogi kasih sayang
Mengubah bangunan kebencian menjadi cinta dan perdamaian tentu merupakan proyek besar dan berkelanjutan yang mesti dilaksanakan pada semua bidang kehidupan. Artikel ini hanya fokus pada bidang pendidikan, khususnya persekolahan.
Sekolah adalah jalur bagi suatu bangsa untuk membentuk warga negaranya menjadi aktor yang membangun peradaban bangsanya. Nussbaum juga memberi beberapa rekomendasi terkait dengan patriotisme di sekolah melalui muatan dan pedagogi. Tiga poin paling relevan untuk konteks sistem pendidikan di Indonesia saat ini adalah: mulai dari cinta, mengajarkan keterampilan berpikir kritis, dan menghargai liyan.
Seperti yang ditulis Mozart dan Da Ponte, semua azab, kegilaan, dan kebodohan yang sudah dipertontonkan selama ini hanya bisa diubah dengan cinta. Anak-anak tidak akan menjadi aktor yang baik dalam membangun peradaban bangsanya jika mereka tidak mencintai bangsa dan sejarahnya. Memang ada adagium, sejarah ditulis oleh pemenang.
Guru yang baik dan kompeten seharusnya bisa mengantarkan sejarah yang tertulis dalam proses pemaknaan yang relevan bagi siswa. Bagi anak Maluku, misalnya, Martha Christina Tiahahu mungkin lebih membangkitkan rasa cinta terhadap negeri dibandingkan dengan RA Kartini. Atau bagi anak Sulawesi Utara, John Lie lebih menginspirasi daripada Pangeran Diponegoro. Atau bagi seorang anak guru, perjuangan Ki Hadjar Dewantara melalui pena sama pentingnya dengan Jenderal Sudirman yang mengangkat senjata.
Contoh-contoh tersebut tidak dimaksudkan untuk membandingkan derajat kebesaran para pahlawan, tetapi mengisi ruang kebermaknaan dalam pembelajaran yang berdiferensiasi. Yang berat, cinta untuk negeri juga termasuk memaknai dan menerima episode kelam dalam sejarah bangsa. Proses pembelajaran mestinya mengantar anak untuk belajar dari beban kesalahan masa lalu dan bertumbuh menjadi pelaku sejarah yang lebih baik.
Keterampilan berpikir kritis sangat urgen untuk diajarkan sejak dini. Pada tingkat mahasiswa dan bahkan juga beberapa pengamat, menyedihkan ketika sebagian demonstran ikut memrotes suatu rancangan kebijakan tanpa membaca secara tuntas dan kritis. Betapa mudahnya disinformasi dan misinformasi ditelan tanpa melalui proses pengkajian dan pendalaman.
Proses pembelajaran mestinya menghantar anak untuk belajar dari beban kesalahan masa lalu dan bertumbuh menjadi pelaku sejarah yang lebih baik.
Kesesatan berpikir banyak ditemui dalam wacana yang digunakan untuk memobilisasi massa atau untuk menyingkirkan yang berbeda. Kurangnya keterampilan berpikir kritis kepada warga negara akan mudah dimanfaatkan untuk membangkitkan emosi-emosi destruktif yang berujung pada kekerasan yang mengancam kebaikan bersama. Berpikir kritis bisa diajarkan melalui setiap muatan pengetahuan dalam bidang studi apa saja.
Menghargai liyan bisa dibangun di sekolah dalam proses pembelajaran yang melibatkan imajinasi, misalnya kegiatan main peran. Menugaskan seorang siswa untuk menulis esai, ”Seandainya saya cucu seorang terpidana PKI, …” akan mengajarkan anak untuk menggali fakta, mengembangkan perspektif, dan berbela rasa. Demikian pula dengan topik-topik lain yang meretas batas interaksi sosial yang sudah masuk dalam perangkap homogenitas.
Rekomendasi ini mungkin terasa naif dalam konteks beberapa temuan fakta terkait dengan kejahatan radikal. Pedagogi kasih sayang yang ditumbuhkan di sekolah justru tidak mengena pada anak-anak para aktor kejahatan radikal yang memilih jalur non-persekolahan formal agar bisa memberikan pola pengajaran sesuai dengan paradigma mereka sendiri, yakni menanamkan kebencian sejak dini dan mengobarkan nafsu menyingkirkan yang berbeda. Wajar akan timbul pertanyaan, tidakkah anak yang dididik dengan kasih sayang justru akan menjadi lemah dan tidak berdaya menghadapi kejahatan radikal yang sudah diorganisasi secara sistematis, masif, dan ditujukan justru untuk menghancurkan kemanusiaan?
Baca juga: Signifikansi Skeptisisme dalam Pendidikan
Sekolah tidak hadir dalam ruang sosial politik yang hampa. Struktur hukum dan kebijakan pendidikan menjadi koridor esensial bagi pembentukan sikap kebangsaan bagi setiap warga negara. Setiap upaya pendidikan, dalam berbagai jalur yang diatur dalam kebijakan sistem pendidikan, seyogianya beiringan mentransformasi dan membentuk warga negaranya menjadi aktor yang membangun peradaban bangsanya, bukan malah bercita-cita menghancurkan peradaban. Kewajiban belajar bagi anak usia sekolah tidak boleh dilepaskan dari kewajiban orangtua untuk mendidik anak mereka sesuai dengan falsafah dan konstitusi yang berlaku serta kewajiban negara untuk memastikan layanan pendidikan yang menjunjung tinggi martabat manusia dan mewujudkan kebaikan bersama.
Menjawab pertanyaan di paragraf terdahulu, kasih sayang tidak lemah. Cinta adalah kekuatan hidup. Cinta adalah sumber dari segala sesuatu yang baik.
Anita Lie, Guru Besar FKIP Unika Widya Mandala Surabaya