Setelah dua tahun tidak mudik karena pandemi, akhirnya tahun ini banyak masyarakat yang bisa mudik Lebaran. Sejatinya, belajar dari cerpen Umar Kayam, tidak mudik jadi kesempatan untuk diterima, bahkan harus dirayakan.
Oleh
STEVANUS SUBAGIJO
·5 menit baca
Dua tahun berturut-turut mudik Lebaran dilarang karena pandemi. Jauh sebelum itu dalam benak masyarakat, tidak mudik dimaknai sebagai fakta kalah, kecil, pahit, dan kesedihan yang harus diterima.
Tidak mudik sudah menjadi realitas masyarakat yang terekam jejak fiksinya pada cerita pendek. Di tangan pengarang ’spesialis Lebaran’ Umar Kayam (1932-2002), tidak mudik bukan fakta kecil, pinggiran, marjinal, dan kalah. Tampak luar mungkin seperti itu, tetapi di dalamnya fakta mulia, seperti kebesaran jiwa, keikhlasan hati, diri tegar, menang di hari Lebaran, bahkan masih berbuat kebaikan, harus dirayakan. Tidak mudik tidak otomatis tenggelam dalam riuh eksodus akbar yang menjadi harapan publik menjelang Lebaran.
Kita bisa belajar dari dua cerpen Umar Kayam, yaitu Ke Solo Ke Njati dan Menjelang Lebaran (Kumpulan Cerpen Lebaran Di Karet, Di Karet, 2002). Ketika tidak mudik dalam kedua cerpen tersebut yang secara pandangan umum simbol kekalahan, tetapi secara pribadi masih bisa dimenangi meski melalui getir, pahit, sedih, dan air mata. Kekalahan tidak berarti harus berkubang keterpurukkan.
Pandemi telah membalikkan fakta kecil tidak mudik menjadi fakta besar, paling tidak seimbang dengan kebiasaan mudik yang selama ini diposisikan sebagai fakta besar. Mudik adalah peristiwa kolosal tahunan yang menggerakkan masyarakat kembali ke akar hidupnya (rootedness) di kampung halaman. Perjalanan, pertemuan, kebaruan, kegembiraan, dan puncak ibadah.
Di sisi lain, peristiwa tidak mudik dianggap tidak ke mana-mana, tidak ada apa-apa, bukan siapa-siapa, tidak ada siapa-siapa. Bukan berita, tak terpublikasikan, terasing, sepi, dan kalah. Kini fakta tidak mudik naik posisi sebagai keniscayaan baru paling tidak diresponi biasa saja. Tetapi, justru karena itu tidak mudik, jadi kesempatan untuk diterima, bahkan juga harus dirayakan.
Kedua cerpen Umar Kayam tersebut hadir bersanding dengan cerpen-cerpen mudiknya yang lain. Mudik-tidak mudik dua sisi mata uang yang dihormati sebagai fakta besar yang berusaha diseimbangkan. Seperti tidak mau terbawa kesepakatan umum bahwa mudik lebih menjadi fakta besar, pusat perhatian, menang dan tidak mudik fakta kecil, pinggiran, kalah.
Ini seperti menegaskan bahwa ketika fakta mudik gagal, fiksi tidak mudik mencari keberhasilannya yang lain. Meminjam bahasa Seno Gumira Ajidarma, ketika jurnalistik dibungkam sastra harus bicara. Senada dengan itu, ketika mudik dibungkam wabah, tidak mudik tetap harus disuarakan-dimaknai. Bahkan, jauh sebelum fakta mudik dilarang karena pandemi, fiksi tidak mudik Umar Kayam sudah merayakannya terlebih dulu.
Fakta tidak mudik karena pandemi justru terlihat ’kesiangan’ karena jauh sebelum itu fiksi tidak mudik sudah lebih dulu memotret realitas tidak mudik yang lain, yang tak kalah menyedihkan. Tidak mudik karena pandemi dialami masyarakat banyak dan menjadi keprihatinan nasional. Ada perasaan senasib menanggung kesedihan ini, tetapi tidak mudik karena berbagai alasan orang-orang kecil yang harus dihadapi dengan tegar sendiri mestinya lebih berat.
Bahkan, jauh sebelum fakta mudik dilarang karena pandemi, fiksi tidak mudik Umar Kayam sudah merayakannya terlebih dulu.
Umar Kayam mengangkatnya dan tidak hanya untuk mencari empati, tetapi juga mengingatkan bahwa itu berhak dirayakan, tetap merengkuh berbagai kebahagiaan kecil sebisanya. Tidak mudik karena alasan apa pun harus disikapi positif dan tabah. Tidak mudik masih bisa tersenyum dan banyak kebaikan bisa dilakukan.
Cerpen tidak mudik Umar Kayam juga mengingatkan kita betapa tidak mudik sebelum pandemi sama menyakitkannya. Orang berhak marah, sedih, dan mempertanyakan nasibnya, mengapa setahun sekalipun gagal untuk mudik. Di mana kemurahan sosial, solidaritas sesama, bahkan mungkin mempertanyakan takdir Tuhan. Bayangkan, sekali setahun mudik saja digagalkan oleh banyak kendala, di mana peran pemangku keadilan, kemurahan, solidaritas, bahkan takdir baik yang memihak kepadanya?
Fiksi cerpen adalah potret realitas. Ketika Umar Kayam memotret tidak mudik, ia memotret fakta kecil orang-orang marjinal yang gagal mudik di tengah lautan mudik orang-orang sukses. Tidak hanya sukses di rantau, tetapi juga minimal sukses sampai ke kampung halaman. Bahkan, jauh sebelum pandemi, ia sudah mengangkat isu ini, menjadikan fakta besar, yang setara, yang patut diangkat di antara karya cerpen mudik suksesnya. Mudik-tidak mudik di matanya menjadi fakta besar dan dituangkan dalam cerpen secara seimbang.
Jadi, tidak mudik kemarin karena pandemi harusnya lebih dari bisa disyukuri karena banyak juga yang tidak mudik karena alasan nonpandemi. Tidak mudik juga empati kepada mereka yang sebelum pandemi memang tidak bisa dan tidak pernah mudik, bahkan tidak tahu apa arti pulang kampung. Kita memihak kepada mereka yang tak punya lagi akar kehidupan.
Orang-orang gagal mudik dalam cerpen di atas adalah ’orang-orang yang ketinggalan kereta’ atau ’orang-orang tanpa karcis bus’ yang hanya bisa pasrah atas nasibnya. Dari situ nasib bukan diterima pasif, fatalis, berkubang air mata, apatis, memperburuk keadaan, marah pun dendam, tetapi disikapi positif, disambut ikhtiar, tetap memberi kebaikan, dan kepasrahan kepada Tuhan.
Dalam Ke Solo Ke Njati, tidak mudik karena susahnya berebut naik bus dan uang yang terbatas dipotret Umar Kayam dengan gigih. Bahkan, seorang ibu tunggal pembantu rumah tangga yang gagal mudik harus menerima sambutan nyinyir majikan, ”Sokur, tidak dapat bis kamu ..., ayo sini bantu kami ..., tuh piring-piring kotor masih menumpuk di dapur.” Apa yang diterima ibu ini dengan pahit disikapi tegar membalas kebaikan dengan menjanjikan anak-anaknya yang gagal mudik ke Solo, Njati, pergi ke kebun binatang melihat gajah dan jerapah.
Pada cerpen Menjelang Lebaran, keluarga Kamil yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan ekonomi pas-pasan juga gagal mudik dan menyikapi dengan rileks dan pasrah kepada Tuhan, di tengah ironi anak-anak gembira mengepak pakaian di tas mereka karena pasti mudik. Kamil tetap berbuat kebaikan memudikkan pembantu rumah tangganya dan menerima kembali tanpa digaji sampai ia mendapat pekerjaan dan hak-hak pembantunya dipulihkan. Kamil bisa berbuat baik kepada pembantu, kenapa perusahaan tempat Kamil bekerja tidak berbuat yang sama kepadanya? demikian pengamat sastra Maman S Mahayana pernah mengkritisi.
Ada cara lain menyikapi persoalan mudik-tidak mudik yang Umar Kayam hadirkan dan aktualkan kepada kita. Fakta dan fiksi mudik-tidak mudik membawa hikmah dan banyak yang bisa dipelajari darinya. Jika Lebaran tahun 2022 sudah boleh mudik, Umar Kayam juga sudah membulatkan tekadnya pada cerpen Lebaran Ini Saya Harus Pulang. Yang memang alasan subyektif, mutlak, tokoh Nem harus pulang kampung, mudik terakhir, dan tidak kembali lagi ke kota karena usia tua. Ayo kita mudik dan bantu sesama untuk bisa mudik.
Stevanus Subagijo, Peneliti National Urgency Jakarta