Peperangan Membawa Kota pada Kesengsaraan Baru nan Kejam
Kota-kota kian biasa menjadi palagan, tetapi juga menjadi tempat mengungsi. Peran ganda itu sama-sama berdampak buruk untuk kota. Peperangan membawa kesengsaraan di perkotaan pada skala baru yang lebih kejam.
Oleh
NELI TRIANA
·5 menit baca
Peperangan meletup di sejumlah negara dan merenggut korban jiwa serta dampak ikutan lain yang tak terhingga nilai kerugiannya. Kawasan perkotaan menjadi tempat baru adu kekuatan bersenjata. The International Committee of the Red Cross (ICRC) mendeskripsikan kondisi tersebut sebagai skala baru kesengsaraan di perkotaan.
Kota-kota berperan ganda. Ia menjadi palagan dari dua pihak atau lebih yang berseteru. Kota-kota juga menjadi tujuan korban perang mencari perlindungan. Kota yang menjadi sasaran rudal-rudal dan berondongan peluru luluh lantak, kehidupan di sana pun direnggut paksa. Kota-kota tujuan berlindung para korban konflik mau tak mau turut terganggu kestabilannya. Kondisi itu dapat berdampak jangka panjang, bahkan menuai konflik baru di kemudian hari.
”Kita tahu bahwa banyak kota terkena dampak konflik di dunia. Dari Aleppo ke Donetsk (Ukraina), dari Gaza (Palestina) ke Mogadishu (Somalia), dari Aden (Yaman) ke Tripoli (Libya), semua berjuang untuk bertahan hidup,” kata Presiden ICRC Peter Maurer saat menjadi pembicara kunci dalam Siklus Penelitian dan Debat ICRC tentang ”Perang di Perkotaan”, 4 April 2017 di Graduate Institute, Geneva, Swiss.
Berabad-abad sebelumnya, perang mengadu ribuan orang, korps tentara besar dan persenjataan berat satu sama lain di lapangan terbuka. Kota-kota biasa dikepung atau dijarah, tetapi pertempuran jarang terjadi di jalan-jalan di dalamnya. Namun, sedikitnya dalam 10-20 tahun terakhir, dari studi Alvina Hoffmann dalam buku The Urbanization of Warfare, konflik bersenjata terang-terangan menjadikan pusat kota dan permukiman sebagai medan perang.
Perang kini telah merasuki kehidupan, kota, dan rumah warga biasa dengan lebih kejam dari sebelumnya. Data ICRC menunjukkan, dua pertiga populasi global diperkirakan tinggal di kota pada 2030. Hampir semua kota tertekan karena harus menyerap pertumbuhan yang cepat tersebut. Sekitar 96 persen pertumbuhan perkotaan diperkirakan terjadi di negara berkembang dengan kota-kotanya yang masih bergelut dengan kerapuhannya.
Pada saat yang sama, konflik bersenjata semakin meningkat di lingkungan perkotaan dengan sekitar 50 juta orang menanggung akibatnya. Dari 65 juta orang yang terpaksa mengungsi, 75 persennya tinggal di daerah perkotaan. Krisis di Ukraina sekarang dengan Rusia yang dituding sebagai aktor penginvasi menambah parah data ICRC tersebut.
Antarnegara sampai kartel
Margarita Konaev, ahli hukum dan diplomasi dari Tufts University, dan John Spencer dari Institut Perang Modern, Amerika Serikat, dalam The Era of Urban Warfare is Already Here menyatakan, perang perkotaan di masa sekarang tidak lagi sekadar melibatkan dua negara atau lebih yang saling berseteru atau menginvasi. Perang kota juga pantas untuk menggambarkan area urban ataupun negara yang dikuasai mafia, kartel, pemberontak yang terus menebarkan kekerasan dan teror internal.
Konaev dan Spencer melihat, bagaimanapun kota adalah benteng kekuasaan negara. Sebagai pusat kegiatan politik, industri, ekonomi dan komersial, komunikasi, serta budaya, kota ada di pusat jaringan transportasi. Kota menawarkan target yang lebih mudah dikontrol daripada pengamanan daerah perdesaan besar di pinggiran wilayah negara. Siapa yang menguasai kota, terutama kota utama dan ibu kota, sudah pasti menjadi penguasa di negara itu.
Ketika sebuah kota diserang, kesempatan pendidikan dan pekerjaan hilang. Hal ini juga memicu efek ’penguras otak’ karena ahli-ahli dan spesialis dari berbagai bidang ilmu, seperti perencana kota dan staf medis, pun berkurang drastis atau bahkan lenyap.
Emma Elfversson dan Kristine Höglund dalam jurnal ”Are armed conflicts becoming more urban?” mendukung pendapat di atas dengan menggarisbawahi bahwa kota menjadi panggung pertikaian bersenjata karena kini kawasan urban sudah sedemikian menjamur.
Investigasi pola perang global pada kurun 1989-2017, keduanya menyimpulkan bahwa kota menawarkan kemudahan akses dan dampak besar untuk unjuk kekuasaan dibandingkan jika berkonflik di pedalaman. Gejala perang kota ini, menurut Elfversson dan Höglund, termasuk dijadikannya area urban sebagai target serangan terorisme ataupun meneguhkan kekuasaan pihak tertentu di kawasan atau negara tertentu.
Salah satu contohnya adalah ketika Pemerintah Brasil pada tahun 2018 menyerahkan tanggung jawab pengelolaan keamanan publik di Rio de Jainero kepada pihak militer dengan alasan demi menghindari potensi konflik hingga pemberontakan. Kebijakan ini, menurut catatan ICRC, menagih ”bayaran” cukup mengerikan. Sepanjang tahun ada peningkatan 7,5 persen kematian warga akibat kekerasan.
Konflik internal serupa di Brasil ataupun akibat pengaruh kuasa kartel narkoba cukup jamak ditemukan di negara-negara di Amerika Selatan, Afrika, dan Asia sejak lebih dari 50 tahun silam. Kondisi ini pun masuk dalam kategori perang perkotaan yang trennya muncul dan terus tumbuh di era modern atau setelah Perang Dunia II. Duo Konaev-Spencer meyakini jika tidak ada pencegahan dini, masa depan kekerasan global mendapat lahan suburnya di perkotaan.
Kondisi kota-kota di Ukraina seperti dilaporkan Bloomberg Citylab, perang tidak hanya soal jutaan jiwa melayang dan triliunan dollar AS fasilitas publik air bersih, pengolahan limbah, jaringan jalan, sistem transportasi publik, fasilitas kesehatan ataupun pendidikan rusak menjadi puing. Merusak sebuah kota berarti mengganggu konektivitas dan segala aliran barang, orang, maupun informasi di tingkat lokal hingga global.
Ketika sebuah kota diserang, kesempatan pendidikan dan pekerjaan hilang. Hal ini juga memicu efek ”penguras otak” karena ahli-ahli dan spesialis dari berbagai bidang ilmu, seperti perencana kota dan staf medis pun berkurang drastis atau bahkan lenyap. Ekonomi dan kesejahteraan global pun terusik.
Sekarang saja, menurut ICRC, ada lebih dari 1,5 miliar orang, termasuk 350 juta orang yang sangat miskin di dunia. Sebagian besar di antaranya kini hidup di perkotaan. Mereka hidup dalam lingkungan yang terus-menerus rentan, penuh kekerasan, dan beragam konflik yang tidak hanya terkait perang antarnegara.
”Semakin banyak yang dapat kita lakukan untuk memahami urbanisasi serta tantangan dan kompleksitasnya, semakin baik kita dapat menyesuaikan respons kemanusiaan kita,” kata Maurer menambahkan.
Seruan menghentikan perang dan meminta setiap bangsa berpikir ulang setiap kali tergoda untuk terlibat konflik bersenjata telah menjadi langkah wajib semua organisasi di dunia yang mengutamakan kemanusiaan. Penegakan hukum perlindungan masyarakat sipil atas nama pengutamaan kemanusiaan juga terus digaungkan oleh organisasi, seperti ICRC dan Persatuan Bangsa-Bangsa, dengan semua organisasi di bawah payungnya.
Di sisi lain, perlu terus dicari celah menekan korban manusia ataupun fasilitas publik ketika perang pecah.
Panduan untuk otoritas kota
Konaev dan Spencer menyarankan pihak militer mengembangkan taktik berperang di perkotaan yang tidak mengorbankan rakyat sipil serta kepentingan orang banyak. ”Jika ada militer yang ahli perang di gurun, di kawasan bersalju, di hutan, mengapa tidak ada ahli perang perkotaan yang sama-sama bertujuan meminimalkan kerugian di kedua belah pihak?” tulis keduanya.
ICRC mencoba menawarkan solusi yang pragmatis dan inovatif, disesuaikan dengan kebutuhan khusus masyarakat terdampak konflik serta dan dinamika khusus dari setiap konteks yang menyertainya.
Melalui mekanisme global, seperti New Urban Agenda dan Habitat III, bekerja sama dengan para pendonor di tingkat internasional, ICRC masih terus berproses membuat panduan kebijakan tentang aksi kemanusiaan perkotaan bagi pemerintah nasional dan otoritas kota dalam 20 tahun ke depan. Bagi negara berkembang dan miskin, salah satu targetnya adalah tercipta mekanisme global, yaitu bagaimana kota-kota dapat membangun layanan publik penting yang tangguh di kala kondisi normal ataupun saat konflik terjadi.
Mampu beradaptasi agar menjadi berketahanan dan berkelanjutan di tengah krisis iklim seperti sekarang bakal menyumbang kemampuan suatu negara mengatasi konflik. Sebab, jika suatu kota dapat menjalin kerja sama dengan kota-kota lain, bahkan antarnegara, untuk menangani isu kekeringan, banjir, dan kerusakan lingkungan, berarti cukup mampu menjamin keamanan warganya.
Dengan demikian, kota dapat menekan salah satu pemicu utama konflik, yaitu perebutan akses pada infrastruktur dasar, seperti air bersih, energi, dan sumber-sumber ekonomi. Kekerasan dan kesengsaraan di perkotaan pun diharapkan dapat pupus sebelum terjadi.