Berlayar di Antara Dua Karang G20
Indonesia harus melakukan kalkulasi mendalam bagi kepentingan nasional saat ini dan masa depan. Tak mungkin bagi Indonesia dalam merangkul kedua sisi: AS dan Rusia. Indonesia harus berlayar di antara dua karang.
Presidensi Indonesia 2022 dalam G20—yang meliputi 19 negara plus Uni Eropa, serta IMF dan Bank Dunia—tengah menghadapi ujian eksistensinya.
Legasi politik luar negeri pemerintahan Joko Widodo sedang bertaruh di kancah diplomasi internasional. Agresi Rusia menyerang Ukraina, 24 Februari 2022, disertai tuduhan kejahatan perang serta pelanggaran berat hak asasi manusia yang dilakukan terhadap masyarakat sipil Ukraina membuat berang AS dan sekutunya. AS meminta Rusia dikeluarkan dari keanggotaan G20.
Indonesia sebagai koordinator pelaksana konferensi tingkat tinggi (KTT) telanjur mengirimkan undangan kepada Presiden Rusia Vladimir Putin untuk hadir, dua hari sebelum Rusia menyerang Ukraina. Indonesia—dengan dalih sebagai Presiden G20 dan netralitas politik luar negeri (polugri) yang bebas aktif bernarasi kukuh menghadirkan Rusia—dihadapkan pada ancaman AS, Inggris, Australia, dan mungkin negara-negara lain untuk memboikot. Sejarah seolah berulang, Indonesia sedang berlayar kembali di tengah bahtera polugri-nya.
G20 yang dibentuk 1999 merupakan upaya solutif perekonomian global yang dilanda krisis keuangan pada kurun 1997-1999, bertujuan mencapai stabilitas keuangan internasional. Secara kolektif mewakili sekitar 65 persen penduduk dunia, 80 persen perdagangan global, dan 85 persen perekonomian dunia.
Kata kunci organisasi ini adalah kerja sama, saling percaya, aman, dan damai.
Kehadirannya merupakan kelanjutan berdirinya G7 (AS, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Perancis) yang dibentuk 1975 pascakrisis minyak bumi yang melanda dunia, dengan tujuan pemulihan ekonomi serta memimpin demokrasi industri. Dalam perkembangannya, mencakup isu perdamaian-keamanan, perubahan iklim dan kerja sama global, termasuk penanganan pandemi Covid-19. Prinsip-prinsip kerja sama global melandasi kehadiran G7 ataupun G20 untuk mengatasi masalah perekonomian global secara kolektif, yang mutlak membutuhkan perdamaian dunia, keamanan global, dan rasa saling percaya. Kata kunci organisasi ini adalah kerja sama, saling percaya, aman, dan damai.
Dari pemahaman sejarah dan filosofi kehadiran G20, dapat dipahami mengapa pada 1992 setelah Uni Soviet bubar, Rusia yang dianggap ahli waris Soviet—walau saat itu bukan masuk kategori negara kaya, dengan PDB ratusan miliar dollar AS saja—diadopsi kehadirannya di G7 karena diharapkan memberi kontribusi keamanan dan perdamaian dunia sebagai fondasi kerja sama global.
Pada 1999, kehadiran Rusia mengubah G7 jadi G8. Situasi sebaliknya, pada 2014, Rusia dikeluarkan atau ditangguhkan dari G8 karena mencaplok Semenanjung Crimea yang merupakan wilayah kedaulatan Ukraina. Resolusi PBB dikeluarkan agar Rusia menghormati kedaulatan negara lain. Rusia dianggap berbahaya bagi perdamaian dunia.
Baca juga : AS Batal Boikot Pertemuan Keuangan G20
Desakan AS yang didukung anggota G20 lain untuk mengeluarkan atau menangguhkan keanggotaan Rusia bukan hal baru. Rusia yang tak belajar dari pengalamannya berinteraksi dengan negara-negara besar lain mengulangi kesalahan serupa: menginvasi Ukraina dengan brutal. Pencaplokan Semenanjung Crimea tanpa darah, tanpa letusan senjata, menyebabkan Rusia dikeluarkan dari G8, diberi sanksi ekonomi, dan dikeluarkan resolusi PBB sebagai sebuah pelanggaran hukum internasional.
Terlebih lagi tindakannya menyerang Ukraina menyebabkan kehancuran kota, fasilitas publik, dan kematian ribuan warga sipil, di antaranya diduga sebagai kejahatan perang dan pelanggaran HAM. Rusia ditangguhkan (suspend) keanggotaannya di Dewan HAM PBB lewat voting. Mayoritas 93 negara setuju dengan tudingan pelanggaran HAM, 24 menentang, dan 58 suara abstain (termasuk Indonesia).
Rusia juga dinyatakan bersalah melanggar kedaulatan Ukraina oleh 134 dari 193 anggota PBB melalui resolusi Majelis Umum PBB, Maret lalu. Rusia, oleh mayoritas masyarakat internasional, dilihat sebagai ancaman keamanan dan perdamaian dunia, tak menghormati hukum internasional dan nilai kemanusiaan.
Makna strategis
Presidensi Indonesia di 2022 bermakna strategis. Sebagai tuan rumah perhelatan negara-negara adidaya perekonomian dunia yang akan berlangsung November tahun ini, Indonesia jadi pusat perhatian internasional, sekaligus magnet bisnis internasional dari berbagai side event yang sudah berjalan sejak serah terima dari Italia, akhir tahun lalu.
Di tengah kohesivitas kerja sama global menghadapi pandemi Covid-19, posisi presidensi dapat bermanfaat besar untuk promosi sukses Indonesia mengatasi pandemi. Sektor industri farmasi, manufaktur, pertanian, perikanan, pertambangan, pariwisata, hingga produk industri kreatif dapat memberikan keuntungan transaksional menambah devisa nasional berlipat ganda. Secara politik, keberhasilan penyelenggaraan KTT G20 yang dihadiri semua kepala pemerintahan akan meningkatkan daya tawar, membuka pintu kerja sama lebih lebar, terbangunnya kepercayaan lebih besar atas pengakuan kepemimpinan Indonesia di kancah internasional.
Terlebih lagi, jika Indonesia berhasil mewujudkan konsep kerja sama yang konkret dari motonya: ”Recover Together, Recover Stronger”.
Misalnya, mewujudkan pembangunan industri farmasi global berorientasi penanganan pandemi di setiap kawasan, kerja sama pariwisata masyarakat dunia melalui pembentukan korporasi global, penurunan pajak bea masuk bahan baku industri pangan, hingga merumuskan konsep menjaga keamanan transportasi global atas produk industri dari satu negara ke negara lain. Bahkan merumuskan kerja sama global di bidang ketersediaan energi dan membangun korporasi global produk energi terbarukan. Ini semua bisa jadi warisan Jokowi yang akan menempatkannya sebagai pemimpin berkelas dunia.
Persoalannya, tak semudah itu bisa diraih dalam situasi yang anomali dewasa ini.
Persoalannya, tak semudah itu bisa diraih dalam situasi yang anomali dewasa ini. Posisi politik Indonesia yang netral-bebas aktif tempo doeloe era 1960-an sudah berbeda masa di era milenial generasi Z saat ini. Paradigma melihat Perang Dingin AS-Soviet masa lalu dengan peristiwa krisis Teluk Babi di Kuba, 1961, yang menempatkan Indonesia netral, di mana Presiden Soekarno begitu lincah menjalin persahabatan dengan John F Kennedy (Presiden ke-35 AS, 1961-1963) bersamaan dengan Nikita Khrushchev (pemimpin tertinggi Soviet, 1953-1964) sulit dilakukan di zaman now. Latar belakang sejarah dan paradigma melihat situasinya berbeda jauh.
Kalkulasi mendalam
Kini, tak mungkin bagi Indonesia dalam ruang G20-nya merangkul kedua sisi: AS dan Rusia. Indonesia harus berlayar di antara dua karang, berlabuh di salah satunya, atau melewati saja keduanya tanpa harus berlabuh. Indonesia harus melakukan kalkulasi mendalam bagi kepentingan nasional saat ini dan masa depan. Kalkulasi ini bukan sekadar simulasi kedudukan Indonesia dalam hubungan internasional, melainkan juga kesinambungan pembangunan nasional, stabilitas ekonomi-politik, kesejahteraan dan kemakmuran Indonesia, berlandaskan perdamaian abadi dan kemanusiaan yang adil beradab, sebagai prinsip dasar.
Memilih kehadiran AS dan sekutu ekonominya di G20 berarti membatalkan undangan yang sudah dikirim ke Putin. Tetap mengundang Rusia berisiko ketidakhadiran AS dan G7-nya plus UE sebagai pemegang otoritas terbesar ekonomi dunia, sekitar 51,6 persen perekonomian global, belum termasuk sekutu AS lain, seperti Australia, Korsel, Turki, Afrika Selatan, dan Arab Saudi.
Baca juga : Membaca Perubahan Geostrategi Rusia dalam Konflik di Ukraina
Indonesia juga secara cermat harus melihat neraca perdagangannya dengan Rusia yang besarnya tak lebih dari 2,4 miliar dollar AS dibandingkan dengan AS serta negara lain. Dari sisi kemampuan mesin ekonomi nasional, PDB Rusia hanya selisih 430 miliar dollar AS dengan Indonesia yang menempati peringkat ke-16 G20 (Rusia 1,48 triliun dollar AS, Indonesia 1,05 triliun dollar AS tahun 2020), berbeda jauh kemampuannya dengan PDB AS yang mencapai 20,94 triliun dollar AS atau UE 15,73 triliun dollar AS, atau 1 triliun dollar AS di atas PDB China yang 14,72 triliun dollar AS.
Hal penting lain yang harus diperhatikan adalah interdependensi kedua negara dari sisi kebutuhan teknologi, keuangan, energi, bisnis-perdagangan, dan pendidikan dalam spektrum luas.
Dengan bekal pemahaman dan telaah mendalam, seharusnya Indonesia sudah bisa mengambil keputusan saat berlayar di antara dua karang. Kalaupun pada akhirnya nanti Indonesia tak berhasil menghadirkan semua kepala pemerintahan G20, bahkan dianggap gagal menyelenggarakan KTT, itu tak sepenuhnya kesalahan Indonesia. Ini semua akibat sebuah peristiwa dunia, di mana ulah satu negara yang tak memahami landasan dasar kerja sama ekonomi global, yaitu keamanan dan perdamaian.
Nonsens sebuah kerja sama tanpa rasa percaya dalam bayangan ancaman ketakutan. Indonesia perlu memahami cara pandang AS dan sekutunya terhadap Rusia. Di sisi lain, Indonesia perlu menunjukkan empatinya atas penderitaan rakyat Ukraina akibat invasi Rusia. Masih ada waktu bagi tuan rumah berbenah dan berbuat sesuatu yang berharga bagi perdamaian dunia dan kemanusiaan. Jangan berhenti berlayar hingga tahu di mana tempat berlabuh terbaik bagi masa depan negeri kita yang sarat beban utang luar negeri dan agenda-agenda masa depan yang belum terlaksana.
Pemerintah hendaknya memahami, G20 bukan sekadar masalah perekonomian. Membaca kembali buku Joseph Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi tahun 2001, Globalization and Its Discontents, akan membuat kita semakin mengerti apa sebenarnya yang dihadapi. Di era teknologi komunikasi canggih dewasa ini, informasi serba transparan, berbagai bahan untuk mengambil keputusan tersedia. Dunia terlihat datar seperti dikatakan Thomas L Friedman: The world is flat. Semua terlihat cukup jelas.
Yuddy Chrisnandi, Duta Besar RI di Kiev 2017-2021 dan Guru Besar Ilmu Politik Universitas Nasional