Memang mudah merumuskan penambahan kompetensi peserta didik dengan menambah jumlah mata pelajaran. Namun, ini membebani siswa. Semestinya penambahan kompetensi itu diintegrasikan dalam mata pelajaran yang sudah ada.
Oleh
R ARIFIN NUGROHO
·5 menit baca
Pemerintah China akhirnya menyadari dan memahami ”penderitaan” anak-anak karena beratnya beban akademik siswa di jenjang pendidikan sekolah dasar serta sekolah menengah pertama dan atas. Untuk mengurangi beban itu, Pemerintah China merombak kurikulum dan kegiatan belajar-mengajar siswa di sekolah serta luar sekolah (Kompas, 13/4/2022).
Dari hasil pengurangan mata pelajaran, sebuah sekolah di China melaporkan bahwa proporsi siswa dengan penglihatan yang buruk turun 8,6 poin persen sejak kebijakan diterapkan. Proporsi siswa yang kelebihan berat badan turun 1,8 poin persen dan nilai ujian sekolah naik hampir 10 poin persen. Rata-rata jumlah buku yang dipinjam siswa dari perpustakaan sekolah juga meningkat dari 1 atau 2 buku menjadi 5 buku.
Dari sisi kepribadian, kreativitas, dan tanggung jawab juga menjadi lebih baik. Dari ranah penilaian orangtua siswa, harian China Daily (5/1/2022) melaporkan bahwa sebanyak 97,3 persen dari 77,14 juta kuesioner yang diisi secara anonim oleh orangtua mengatakan bahwa mereka puas dengan upaya yang dilakukan sekolah untuk mengurangi beban siswa.
Alih-alih dari situasi ini, banyak sekolah di Indonesia justru berlomba menambah mata pelajaran. Beberapa hari lalu seorang siswi di sebuah sekolah menengah berkeluh kesah karena di tengah kesibukan drilling soal-soal latihan ujian sekolah dan asesmen daerah, masih ada tambahan jam pelajaran literasi di siang bolong sepulang sekolah. Berhari-hari di-bombardir latihan soal sudah sangat membosankan, masih ditambah lagi mata pelajaran baru bernama literasi.
Pembelajaran literasi dilakukan dengan cara membaca buku atau berita secara bergantian. Situasi semakin membuat dahi mengerut manakala pengambil kebijakan daerah mengumumkan sebuah tes penjajagan terstandardisasi yang di dalamnya, selain mata pelajaran pada umumnya, ada mata ujian baru bernama literasi, numerasi, dan penalaran.
Selain mata pelajaran pada umumnya, ada mata ujian baru bernama literasi, numerasi, dan penalaran.
Akar salah kaprah ini bermula dari respons spontan yang menyiratkan kekalutan dalam menyikapi hasil tes bernama PISA (Programme for International Student Assessment). Asesmen yang mendasarkan pengukuran pada kemampuan literasi dan numerasi menempatkan negara kita selalu pada level bawah dari banyak negara. Akibatnya, muncul kebijakan instan dengan menambah literasi dan numerasi di sekolah.
Dalam keseharian persekolahan, literasi hanya dimaknai dengan kemampuan membaca. Maka, untuk meningkatkan kemampan literasi hanya dilakukan dengan sepuluh menit membaca buku, entah buku apa, sebelum pelajaran jam pertama dimulai. Dimaknai pula dengan menjadikan literasi sebagai mata pelajaran baru. Jumlah mata pelajaran pun bertambah dari 16 menjadi 19 karena ada tambahan mata pelajaran literasi, numerasi, dan penalaran. Jumlah ini masih bisa bertambah ketika ada mata pelajaran muatan lokal yang disesuaikan dengan hasrat daerah.
Mengintegrasikan kompetensi
The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) telah mengubah konsep literasi konvensional yang merujuk seperangkat keterampilan membaca, menulis, dan berhitung. Literasi kini dipahami sebagai sarana identifikasi, pemahaman, interpretasi, kreasi, dan komunikasi di dunia yang semakin digital melalui media teks, kekayaan informasi, dan dunia yang cepat berubah.
Literasi adalah kemampuan memahami dan merenungkan teks untuk mencapai gagasan baru, bukan sekadar membaca. Literasi lebih diindikasikan dengan tindakan keseharian yang dilakukan setelah bisa memahami sebuah teks. Maka, orang dikategorikan illiterate ketika bisa membaca tanda dilarang parkir, tetapi tetap saja memarkir kendaraannya di tempat tersebut. Seperti halnya literasi, numerasi bukan berarti keterampilan yang melulu kompleks, seperti analisis statistik, melainkan kemampuan dan kepercayaan diri dalam menggunakan matematika dasar di kehidupan nyata.
Literasi adalah kemampuan memahami dan merenungkan teks untuk mencapai gagasan baru, bukan sekadar membaca.
Ada banyak jenis literasi, di antaranya literasi digital, literasi kesehatan, literasi lingkungan hidup, literasi komputasi/pemrograman/coding, literasi finansial, literasi pendidikan karier, dan literasi sosial. Jika berbagai literasi tersebut dilahirkan dalam bentuk mata pelajaran, jelas bukan kompetensi literasi yang diperoleh, tetapi kelelahan pikir peserta didik. Literasi harus diintegrasikan atau tertanam (embedded) dalam berbagai mata pelajaran dengan tema lintas kurikuler.
Sebagian besar negara-negara anggota OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) telah mengintegrasikan literasi lingkungan hidup dalam 20 persen kurikulum. China mengintegrasikannya dalam 45 persen dari kurikulum. Sementara Estonia dan Jepang menanamkannya di hampir 40 persen dari kurikulum mereka.
Literasi lingkungan hidup atau pembangunan berkelanjutan (literacy for sustainable development) banyak diintegrasikan dalam mata pelajaran bidang humaniora, sains, dan teknologi/ekonomi rumah tangga. Israel dan Portugal memasukkannya dalam bidang humaniora dan sains. Sementara China menanamkan literasi tersebut dalam enam dari tujuh area pembelajaran yang dipetakan.
Di Jepang dan Estonia, literasi kewirausahaan mendapat porsi besar dalam pengintegrasiaan kurikulum, yakni sebesar 56 persen dan 40 persen. Literasi kewirausahaan menggunakan platform mata pelajaran bidang sains, humaniora, teknologi, dan bahkan bahasa nasional.
Literasi hidup sehat tidak hanya terintegrasi dalam mata pelajaran pendidikan jasmani, tetapi juga terintegrasi sebagai tema lintas kurikuler ke dalam mata pelajaran yang ada. Di Portugal dan Federasi Rusia, sains adalah mata pelajaran yang membawa sebagian besar item yang terkait dengan literasi hidup sehat. Di Estonia, Irlandia Utara (Inggris Raya), dan Kazakhstan, literasi tersebut tersebar luas di seluruh mata pelajaran.
Akhirnya, memang mudah merumuskan penambahan kompetensi peserta didik dengan menambah jumlah mata pelajaran. Namun, cara instan tersebut bukanlah strategi yang bijak. Menambah jumlah mata pelajaran justru akan menambah beban dan kekalutan peserta didik. Mengintegrasikan berbagai kompetensi yang akan disasar dalam berbagai mata pelajar menjadi pilihan yang tepat. Kuncinya adalah kebijakan yang menghilangkan ego sektoral mata pelajaran dan dengan rendah hati mau berkolaborasi untuk mengintegrasikan tema kompetensi lintas kurikuler.
R Arifin Nugroho, Guru SMA Kolese De Britto Yogyakarta