Nelayan Kian Terancam
Privatisasi ruang laut mengakibatkan perampasan ruang laut dan sumber dayanya yang tak terkendali. Korban pertama yang paling menderita adalah nelayan miskin dan nelayan tradisional karena kehilangan hak menangkap ikan.
Dibandingkan dengan desa-desa agraris, desa-desa pesisir umumnya merupakan kantong-kantong kemiskinan struktural yang acap kali lebih kronis. Taraf kesejahteraan hidup sebagian besar masyarakat nelayan yang bertempat tinggal di desa-desa pantai sangat rendah dan tak menentu. Kesulitan mengatasi kebutuhan hidup sehari-hari dan kemiskinan di desa-desa pantai telah menjadikan penduduk di kawasan ini harus menanggung beban kehidupan yang berat, berkutat dengan perangkap utang yang sepertinya tak pernah ada habis-habisnya, dan tidak dapat dipastikan pula kapan masa berakhirnya.
Bagi masyarakat pesisir, saat ini tantangan yang mereka hadapi bukan hanya meningkatnya harga kebutuhan pokok sehari-hari, melainkan juga keterbatasan teknologi alat tangkap dan berkurangnya sumber daya laut yang bisa diakses (Kompas, 4 April 2022).
Bisa dipastikan, ketika ruang laut diprivatisasi, peluang masyarakat pesisir, khususnya nelayan miskin dan nelayan tradisional, untuk mengakses sumber daya laut menjadi makin terbatas. Yang dimaksud privatisasi di sini adalah proses mentransfer hak kepemilikan eksklusif atas barang, jasa, ruang, dan proses berharga kepada swasta, baik individu, perusahaan, maupun entitas non-pemerintah.
Baca juga : Pemerintah Jangan Abaikan Nelayan Tradisional
Memang di kalangan teoretisi modernisasi, privatisasi sering kali dianggap sebagai jalan terbaik untuk menyejahterahkan umat manusia dan mengefisienkan pengelolaan sumber daya alam. Caranya adalah dengan mengubah hak kepemilikan bersama menjadi hak milik pribadi, lewat mekanisme pasar ataupun perdagangan bebas (Knott dan Neis, 2016).
Dalam privatisasi ruang laut, apa yang terjadi umumnya adalah pengaturan dan pembatasan yang mencakup kepemilikan sumber daya ikan, akses ruang laut, kontrol tata kelola, dan pengetahuan perikanan (Schlüter et al, 2020). Akibat privatisasi, yang terjadi niscaya adalah perampasan ruang laut dan sumber dayanya (ocean grabbing) yang tak terkendali. Korban pertama yang paling menderita akibat privatisasi di sejumlah negara tak pelak adalah nelayan miskin dan nelayan tradisional yang sejak semula memiliki keterbatasan dalam memanfaatkan sumber daya laut.
Dampak sosial ekonomi yang dialami masyarakat pesisir akibat privatisasi sering kali menjejas dan membuat mereka berpotensi masuk dalam perangkap kemiskinan kronis. Utangnya meningkat, pendapatannya merosot, dan terjadi kerentanan keuangan karena mereka kehilangan hak menangkap ikan akibat dominasi kekuatan komersial terhadap aktivitas pencarian ikan di laut.
Nasib nelayan miskin
Di desa-desa pesisir, dari berbagai program pengentasan rakyat miskin dan program pembangunan untuk perbaikan kehidupan nelayan, sebagian besar belum mencapai hasil yang maksimal. Pemberian bantuan kredit bergulir acap kali macet di tengah jalan, program-program penanggulangan rakyat miskin yang digulirkan juga hanya bagus di tingkat rencana. Sementara itu, bantuan perahu bermotor atau mesin perahu yang dikemas dalam bentuk paket program modernisasi perikanan juga mengalami nasib yang sama: gagal meningkatkan kesejahteraan hidup nelayan. Bahkan, yang ironis, tidak sedikit program bantuan dari pemerintah justru jatuh pada pihak-pihak yang sebetulnya tidak berhak menerimanya sehingga hasilnya menjadi kontraproduktif.
Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa tidak mudah mengatasi kemiskinan masyarakat nelayan yang sudah berakar kuat di berbagai segi kehidupan. Dampak kemiskinan itu sendiri telah membatasi berbagai akses kepentingan rumah tangga nelayan. Selama ini, banyak bukti memperlihatkan bahwa program-program pembangunan yang telah digulirkan ternyata terbukti belum mampu menuntaskan persoalan kemiskinan yang dihadapi masyarakat desa pesisir. Hasil-hasil studi tentang tingkat kesejahteraan hidup di kalangan nelayan telah menunjukkan bahwa kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi atau ketimpangan pendapatan merupakan persoalan krusial yang dihadapi dan tidak mudah untuk diatasi (Suyanto, 2018).
Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa tidak mudah mengatasi kemiskinan masyarakat nelayan yang sudah berakar kuat di berbagai segi kehidupan.
Kelompok masyarakat nelayan yang tidak memiliki akses ke pusat-pusat kekuasaan dan pasar harus menerima kenyataan terhadap berlangsungnya marjinalisasi sosial-ekonomi yang deras terhadap keberadaannya. Akibatnya, proses kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi dengan segenap beban kehidupan yang menyertainya harus secara ikhlas dijalani oleh masyarakat nelayan dalam rentang masa yang tidak dapat ditentukan.
Modernisasi memerlukan biaya-biaya kemanusiaan (human costs) yang besar. Berbagai program pembangunan pemerintah untuk membantu kesulitan kehidupan masyarakat nelayan telah digulirkan, tetapi hasil yang dicapai belum sepadan dengan biaya yang telah dikorbankan dan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya (Kusnadi, 2002: 46). Siapakah yang harus dipersalahkan?
Bagi nelayan berskala besar dan memiliki teknologi penangkapan ikan yang sudah maju, mereka umumnya tidak banyak terpengaruh oleh kontestasi yang makin ketat dalam eksplorasi sumber daya laut. Nelayan berskala besar umumnya juga tidak terpengaruh oleh irama musim. Berkat daya jelajah kapal-kapal yang dimiliki, mereka dapat mencari ikan di wilayah mana pun sehingga secara sosial-ekonomi baik pemilik maupun anak buah kapal (ABK) relatif sudah mapan. Hal ini berbeda dengan nelayan-nelayan tradisional yang modalnya kecil dan teknologinya sederhana.
Karakteristik yang menandai kehidupan nelayan miskin umumnya adalah: pertama, pendapatan nelayan bersifat harian (daily increment) dan jumlahnya sulit ditentukan. Selain itu, pendapatannya juga tergantung pada musim dan status nelayan itu sendiri: apakah sebagai juragan kapal atau pandega. Kedua, tingkat pendidikan nelayan ataupun anak-anak nelayan umumnya rendah sehingga sulit bagi mereka untuk mencari pekerjaan alternatif.
Ketiga, sifat produk yang mudah rusak dan harus segera dipasarkan sering kali menimbulkan ketergantungan yang besar terhadap pedagang atau pengijon sehingga ujung-ujungnya menyebabkan harga ikan cenderung lebih dikuasai oleh pedagang atau pengijon. Keempat, kebutuhan investasi yang besar di bidang usaha perikanan sering kali menyebabkan nelayan lebih memilih mereduksi risiko dan hanya bergerak di bidang perikanan secara kecil-kecilan. Kelima, keluarga nelayan miskin umumnya sangat rentan dan mudah terjerumus dalam perangkap utang yang merugikan.
Baca juga : Darurat Nelayan Berjilid
Secara lebih rinci, beberapa persoalan pokok yang selama ini senantiasa dihadapi masyarakat nelayan tradisional adalah, pertama, posisi tawar-menawar nelayan terhadap para pedagang ikan atau tengkulak umumnya relatif lemah karena pasar yang oligopsoni dan sifat komoditas ikan nelayan yang rentan terhadap waktu. Sudah menjadi rahasia umum, akibat jumlah nelayan yang terlalu banyak dan daya tahan ikan yang cepat busuk, para pedagang atau tengkulak ikan mampu dengan leluasa mempermainkan harga.
Persaingan yang terjadi di dalam kelompok nelayan acap kali membuat pedagang atau tengkulak ikan berhasil memperoleh dan menekan harga beli ikan hingga ke tingkat yang paling murah. Di sisi lain, jumlah pedagang atau tengkulak ikan yang relatif sedikit dan penguasaan terhadap jaringan pemasaran dari tingkat hulu hingga ke hilir adalah beberapa faktor yang menyebabkan posisi tawar-menawar pedagang atau tengkulak ikan relatif lebih kuat daripada para nelayan.
Kedua, di dalam suatu komunitas nelayan di mana basis sosial-ekonomi massa relatif tidak seimbang, adanya penetrasi teknologi perikanan modern justru akan menyebabkan terjadinya polarisasi sosial-ekonomi yang semakin parah. Penetrasi motorisasi perahu nelayan dan proses komersialisasi adalah faktor utama yang menyebabkan munculnya polarisasi sosial-ekonomi antara nelayan modern dan nelayan tradisional.
Keterbatasan modal dan teknologi acap kali menyebabkan kondisi ekonomi nelayan tradisional semakin lama semakin tertinggal.
Keterbatasan modal dan teknologi acap kali menyebabkan kondisi ekonomi nelayan tradisional semakin lama semakin tertinggal apabila dibandingkan dengan kehidupan nelayan modern. Nelayan modern umumnya memiliki dan menguasai jaringan perdagangan ikan tersendiri yang dari segi harga lebih menguntungkan daripada apa yang dialami nelayan tradisional. Banyak nelayan modern atau juragan kapal merangkap sebagai pedagang atau tengkulak ikan yang menampung penjualan ikan dari nelayan tradisional atau nelayan kecil lainnya. Di desa-desa nelayan, nelayan modern kebanyakan menjadi ”tuan-tuan laut” yang merupakan elite-elite desa dan mereka secara sosial umumnya dihormati.
Ketiga, penggunaan teknologi perikanan dalam proses penangkapan ikan menyebabkan bagian yang diterima kelompok pandega cenderung semakin turun dan bahkan menyebabkan timbulnya ketergantungan pandega terhadap juragan kapal. Karena kurang atau tidak menguasai keterampilan lain selain melaut, tidak dimilikinya modal yang cukup, dan karena membutuhkan pendapatan yang rutin, banyak buruh nelayan atau pandega pada akhirnya memiliki ketergantungan yang kuat dengan nelayan modern atau juragan kapal. Meski pun tidak semua, cukup banyak pandega atau nelayan miskin umumnya terjerat utang budi atau utang uang dengan para juragan kapal sehingga secara sosiologis posisi tawar-menawar (bargaining position) mereka cenderung lemah ketika berhadapan dengan para juragan kapal atau nelayan modern.
Strategi pemberdayaan
Dalam rangka memperbaiki taraf hidup dan memberi peluang kepada nelayan tradisional agar dapat melakukan mobilitas vertikal, paling tidak ada dua jalan yang bisa ditempuh. Pertama, dengan cara mendorong pergeseran status nelayan tradisional menjadi nelayan modern. Kedua, dengan cara tetap membiarkan nelayan tradisional dalam status ”tradisional”, tetapi memfasilitasi mereka agar lebih berdaya dan memiliki kemampuan penyangga ekonomi keluarga yang kenyal terhadap tekanan krisis.
Pilihan mana yang diambil dari dua jalan di atas tentu sangat tergantung pada kemampuan sumber daya pemerintah dan kondisi internal nelayan tradisional yang bersangkutan. Yang jelas, pilihan apa pun yang bakal diambil, pertimbangan utama yang semestinya dijadikan dasar pengambilan keputusan adalah kepentingan dan nasib nelayan tradisional itu sendiri sebagai subyek pembangunan.
Pilihan apa pun yang bakal diambil, pertimbangan utama yang semestinya dijadikan dasar pengambilan keputusan adalah kepentingan dan nasib nelayan tradisional itu sendiri sebagai subyek pembangunan.
Berikut ini beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum melaksanakan program pemberantasan kemiskinan struktural nelayan tradisional.
Pertama, sejak awal harus disadari bahwa upaya pemberdayaan nelayan tradisional tidak mungkin dilakukan hanya dengan cara mentransplantasikan teknologi modern kepada kelompok nelayan tradisional itu secara top down. Pemberdayaan nelayan tradisional seyogianya mempertimbangkan dan bahkan harus bertumpu pada keberadaan pranata sosial-budaya di setiap komunitas lokal nelayan tradisional. Dalam proses pembentukan kelompok usaha bersama di kalangan nelayan tradisional, misalnya, niscaya akan jauh lebih efektif dan berkelanjutan jika bertumpu pada potensi sosial-budaya masyarakat setempat.
Kedua, mencoba memberdayakan dan meningkatkan kadar kekenyalan, serta sekaligus mengurangi kadar kerentanan nelayan tradisional yang miskin dengan cara mendorong terjadinya proses diversifikasi hasil tangkap dan diversifikasi usaha non-perikanan. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa makin lama areal penangkapan ikan nelayan tradisional makin terbatas akibat terjadinya overfishing dan keterbatasan teknologi penangkapan yang dimiliki.
Untuk mencari sumber-sumber pemasukan substitutif, dua hal yang bisa dilakukan nelayan tradisional adalah (1) mendorong terjadinya diversifikasi hasil tangkap ikan dengan cara mengembangkan alat tangkap alternatif di luar kebiasaan yan selama ini mereka lakukan dan (2) memfasilitasi proses diversifikasi usaha atau pencarian pekerjaan alternatif di ranah perekonomian darat, khususnya pada masa paceklik yang sering kali memberatkan kehidupan nelayan tradisional.
Baca juga : Publik Cemaskan Kondisi Nelayan
Ketiga, berusaha mengurangi kadar kerentanan keluarga nelayan tradisional dengan cara meningkatkan daya tahan dan nilai tawar dari produk yang mereka hasilkan. Di satu sisi, benar bahwa pola subsistensi yang dikembangkan keluarga nelayan tradisional akan dapat mengurangi kadar tekanan kebutuhan hidup sehari-hari yang terus melambung, tetapi sebagian hasil tangkap ikan yang lain akan lebih baik jika tidak dipasarkan dalam bentuk mentahan langsung sepulang dari melaut. Harga jual produk nelayan tradisional niscaya akan meningkat jika mereka dapat mengembangkan produk-produk alternatif yang berasal dari hasil pengolahan ikan mentah menjadi krupuk, petis, makanan alternatif, atau produk yang dapat dijadikan buah tangan warga masyarakat yang lain.
Keempat, perlu disadari bahwa yang namanya nelayan atau komunitas desa pantai sebetulnya bukanlah kelompok yang homogen. Buruh nelayan dan nelayan tradisional umumnya adalah golongan masyarakat pesisir yang berada pada lapisan sosial paling bawah, yang dalam banyak hal memiliki kadar keretanan, ketidakberdayaan, kelemahan jasmani, kemiskinan, dan keterisolasian yang lebih parah dibandingkan nelayan modern. Untuk mencegah agar program intervensi dan berbagai bantuan yang disalurkan tidak bersifat meritokratis (kelihatan di awal menghargai persamaan atau egaliter, tetapi menghasilkan sesuatu yang tidak adil), yang dibutuhkan adalah spesifikasi program, terutama program yang benar-benar bertujuan untuk memberdayakan nelayan tradisional.
Bagong Suyanto, Dekan FISIP Universitas Airlangga