Terorisme merupakan fenomena yang tampak di permukaan. Namun, di balik yang tampak itu terdapat bongkahan narasi yang perlu dimengerti dan dipahami sehingga solusi yang ditawarkan bisa tepat.
Oleh
ALI USMAN
·5 menit baca
Meski para pelaku dan atau orang-orang yang diduga sebagai teroris telah banyak ditangkap oleh aparat keamanan—baru-baru ini dokter Sunardi yang ditembak mati, kemudian pada 3 April 2022 Densus 88 Antiteror kembali meringkus lima terduga teroris Negara Islam Indonesia (NII) di Tangerang—naluri kita tetap mempertanyakan: mengapa mereka memilih menjadi teroris? Apa yang sebenarnya dipikirkan oleh kelompok teroris itu? Tidak adakah secuil kasih sayang antarsesama manusia sehingga mereka sampai tega melakukan tindakan nekat yang menyebabkan hingga pada kematian orang lain?
Terorisme, apa pun motifnya, jelas merupakan tindakan barbar dan biadab, yang mengacaukan keharmonisan serta kedamaian dalam sebuah negara, termasuk di Indonesia. Karena itu, John Horgan dalam The Psychology of Terrorism (2005) mengungkapkan hal yang menarik.
Kita, menurut Horgan, dihadapkan pada drama peristiwa teror bom. Drama peristiwa dapat sedemikian dahsyat sehingga kita berubah dari penonton menjadi pelibat aktif di dalamnya (personalization of event). Horgan mengingatkan agar jangan berhenti pada drama tragedi. Kita perlu beranjak dari drama tragedi ke uraian sistematis untuk memahami terorisme.
Pertama-tama, perlu dimengerti bahwa terorisme merupakan fenomena yang tampak di permukaan (events). Namun, di balik yang tampak itu terdapat bongkahan narasi yang perlu dimengerti. Sigmund Freud dan generasi para psikolog setelahnya, seperti Ernest Hemingway, menyebut dengan istilah ”gunung es” (iceberg). Dalam hal ini, setiap fakta, termasuk terorisme, dapat dipahami melalui beberapa elemen teori iceberg, atau iceberg analysis berikut.
Pertama, patterns of behavior, mengacu pada pola, tren, dan kecenderungan yang terjadi dalam masyarakat terkait langsung dengan fenomena terorisme. Di bagian ini ada banyak berita yang membingkai, seperti peristiwa terorisme diduga bermula dari indoktrinasi yang dilakukan melalui pengajian-pengajian oleh dai atau penceramah yang memiliki paham eksklusif, seolah pemahamannya paling benar, sementara yang lain salah.
Kedua, systems structure, yang mencerminkan karena pengaruh tradisi, budaya, dan kebiasaannya (habitus), serta termasuk pula kebijakan pemerintah yang dianggap tidak adil. Di sini, terdapat sistem sosial yang turut membentuk perilaku terorisme, dari pola pemahaman keagamaan yang cenderung absolut, konservatif, hingga pada kesenjangan sosial akibat kebijakan pemerintah yang cenderung diskriminatif, apalagi dugaan diskriminasi itu menyangkut golongan keagamaan tertentu.
Ketiga, mental models, berupa paradigma, perspektif, dan cara pandang pelaku/elemen sistem yang menyebabkan struktur dan sistem sosial bertahan, mengendap di kepala, seperti anggapan tidak ketaatan pada negara tagut, dan membenarkan penyerangan dalam sebuah negara yang tidak menjadikan agama sebagai ideologi bangsa. Di level ini, informasi yang diserap melalui systems structure dan patterns of behavior menggumpal menjadi sebuah keyakinan sehingga saat memperoleh momentum, terjadilah events berupa teror bom, kekerasan, persekusi, dan lain sebagainya.
Yang tidak disadari oleh kalangan teroris adalah pemahamannya tentang agama sesungguhnya merupakan tafsir terhadap agama, bukan agama itu sendiri.
Yang tidak disadari oleh kalangan teroris adalah pemahamannya tentang agama sesungguhnya merupakan tafsir terhadap agama, bukan agama itu sendiri. Ada ungkapan, the map is not the territory (jalan bukanlah wilayah/teritori).
Jadi, tafsir itu adalah jalan, sedangkan agama merupakan wilayah. Hal ini penting diinternalisasi, termasuk kita semua, untuk melakukan semacam ”udar asumsi”, agar tidak hanya sekadar secara egoistik menyeleksi informasi (selected data) berdasarkan kepentingan pribadi, lalu memberi makna (added meaning), muncul asumsi (assumption), dan penyimpulan (conclusion), hingga menjadi sebuah keyakinan (beliefs).
Moderasi beragama dan ”u-process”
Dari mental models itulah, keyakinan yang mengakar kuat, jelas tidak mudah untuk mengubahnya. Butuh waktu yang disertai dengan refleksi diri. Dan di antara strategi untuk keluar dari paham radikalisme agama sebagaimana ditunjukkan oleh kelompok teroris dengan cara memoderasi beragamanya.
Di sini, yang dimoderasi adalah cara ia beragama, bukan agama itu sendiri. Sebab agama, secara universal mengandung nilai-nilai moderatisme, yaitu kemanusiaan, keadilan, kasih sayang, perdamaian, dan lain sebagainya.
Argumen tekstual moderasi beragama, perspektif Islam, diartikulasikan sangat baik oleh Sahiron Syamsudin (2022), yang mengacu pada QS 1:6 (al-sirat al-mustaqim) (al-Razi, Mafati? al-Ghayb, 1: 258); QS 2:143 (ummat wasat) (al-Tabari, Jami‘ al-Bayan, 2:627); QS 49:13 (ta‘aruf) (al-Razi, Mafatih al-Ghayb, 28: 138); QS 2:111-113 (antiklaim kebenaran eksklusif) (al-Tabari, Jami‘ al-Bayan, 2:431-435); QS 5:48 (pluralitas agama) (Ibn Kasir, Tafsir, 5: 249); QS 2: 256 (tidak ada paksaan dalam beragama).
Di sini, yang dimoderasi adalah cara ia beragama, bukan agama itu sendiri.
Bagi Sahiron Syamsudin, moderasi beragama merupakan cara pandang, sikap, dan perilaku beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan, membangun kemaslahatan umum, berdasarkan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa.
Dalam konteks penanganan kasus terorisme, mereka para pelaku, simpatisan, ataupun kalangan yang terpapar perlu dipulihkan. Tidak hanya dilakukan oleh segelintir orang, tetapi melibatkan semua elemen, yang secara konseptual disebut teori sistem, dan oleh Otto Scharmer dipopulerkan sebagai teori U (u-process). Pendekatan ini fokus pada bagaimana melakukan transformasi ke arah yang lebih baik, dari negatif ke positif.
Berdasarkan iceberg analysis di atas, teori U memungkinkan untuk menyelam ke dasar laut pada permasalahan yang dihadapi kelompok teroris dan sekaligus berusaha menawarkan solusi, misalnya dengan melakukan rethinking, redesigning, reframing, dan reacting.
Rethinking yang bergerak di level mental models mengubah paradigma dan keyakinan, dari pandangan Pancasila yang dianggap sebagai tagut menjadi Pancasila yang sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran agama. Itulah moderasi beragama. Di level systems structure perlu redesigning, dari sinisme terhadap kebijakan pemerintah karena dianggap diskriminatif ke arah agar ke depan pemerintah melahirkan kebijakan yang lebih adil.
Sementara reframing, mengubah tren dan pola, dari yang semula pemahaman keagamaannya absolut-eksklusif menjadi moderat-inklusif. Terakhir, di level reacting, melakukan pembiasaan moderasi beragama dari diri sendiri, keluarga, lingkungan sekitar, tempat kerja, hingga masyarakat umum.
Semoga.
Ali Usman, Dosen Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam; Peneliti Pusat Studi Pancasila dan Bela Negara (PSPBN) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta