Kritik dan Demokrasi
Meskipun alam demokrasi semakin terbuka, tak sedikit pejabat bersikap resisten terhadap kritik. Padahal kritik dalam demokrasi merupakan manifestasi daulat rakyat. Sesungguhnya rakyat yang memberi kuasa ke pemerintah.

Heryunanto
Beberapa hasil survei terbaru memperlihatkan tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Ma’ruf Amin mencapai angka tertinggi.
Fenomena ini menarik di tengah maraknya kritik publik terhadap pemerintah. Selain itu, Indeks Demokrasi Indonesia 2021 naik setelah sejak 2016 cenderung menurun. Kemajuan demokrasi disumbang putusan berkualitas Mahkamah Konstitusi terkait Undang-Undang Cipta Kerja dan sikap adaptif Presiden terhadap suara-suara kritis rakyat.
Di sini kita melihat hubungan tersembunyi antara kritik dan demokrasi. Demokrasi lahir dari kritik kepada elite kekuasaan dan tumbuh kembangnya demokrasi karena hidupnya budaya kritik. Mustahil demokrasi tanpa kritik (Kwant, 1962:80-84). Kritik dalam demokrasi merupakan manifestasi daulat rakyat yang menyadari merekalah sesungguhnya pemberi kuasa kepada pemerintah.
Meskipun alam demokrasi semakin terbuka, resistensi pejabat terhadap kritik masih memakai paradigma lama.
Anatomi kritik
Meskipun alam demokrasi semakin terbuka, resistensi pejabat terhadap kritik masih memakai paradigma lama. Kritik harus membangun, bukan menjatuhkan (martabat); kritik harus memberikan solusi; tiada manusia (termasuk pejabat) yang sempurna. Kritik yang menyasar suatu kejelekan pun dimaknai pejabat terkait sebagai tindakan menjelek-jelekkan. Jerat hukum pencemaran nama baik akhirnya melayani kepentingan orang kuat.
Acuan kritik bukan ideal kesempurnaan. Sasaran kritik adalah realitas sosial produk (institusi) manusia, yang mestinya bisa lebih baik dan, untuk itu, ada pihak yang bertanggung jawab karena tidak melakukan yang seharusnya atau melakukan yang tidak seharusnya. Sasaran kritik adalah kebijakan publik yang direncanakan secara kurang matang (tergesa-gesa), malaadministrasi, dan korupsi terselubung.
Di era digital, kritik mudah dikapitalisasi di luar batas-batas wajar. Sekelompok masyarakat menjadikan apa saja rencana dan tindakan pemerintah sebagai sasaran kritik, menjadi over-kritik, memakai bahasa kasar, merusak reputasi pejabat. Namun, resistensi rakyat propemerintah pun dikapitalisasi dengan alasan bahwa kritik juga harus apresiatif. Sekelompok masyarakat membela mati-matian kebijakan pemerintah sampai hilang daya kritisnya. Padahal, kritik dari mereka yang mengambil jarak dari kekuasaan (tidak memusuhinya) sangat penting.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F03%2F07%2F061e3da6-dde6-485d-894c-8d3534f56793_jpg.jpg)
Ungkapan kekesalan masyarakat terhadap perilaku korup pejabat dituangkan dalam mural seperti terlihat di kawasan Pondok Petir, Depok, Jawa Barat, Senin (7/3/2022). Jika dirunut sejak 1 Juni 2005 atau saat pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung dimulai, jumlah kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi mencapai 443 kepala daerah.
Polarisasi di antara rakyat ini membuat masyarakat sipil terbelah. Pemerintah pun melenggang dengan kebijakannya dan jatuh ke dalam pragmatisme politik. Legislasi untuk hal-hal sensitif dilakukan terburu-buru. Yang penting keabsahan prosedural, ada kekurangan urusan belakangan (disempurnakan dalam aturan-aturan turunan).
Pemerintah dengan gaya father knows best merasa tahu apa yang terbaik untuk rakyat, tak perlu menyerap dengan baik aspirasi masyarakat sipil. Alat kekuasaan negara juga bergerak menekan suara kritis advokasi rakyat.
Anatomi demokrasi
Penguasa yang lahir dari proses demokratis tak selalu konsisten dan efektif membayar tunai janji-janji politik semasa kampanye. Lain janji sebelum berkuasa, lain laku sesudahnya. Bernegara tidak hanya soal niat atau rencana baik penguasa, tetapi juga apakah itu baik di lapangan. Karena itu, laku kekuasaan tetap perlu mendapat kontrol sejak proses perencanaan sampai pelaksanaan.
Namun, berdemokrasi di masa modern tidaklah sederhana. Cukup pelik persoalan-persoalan bangsa dan berbangsa terkait dengan hukum, politik dalam dan luar negeri, pertahanan negara, tata kelola sumber daya alam, tata niaga, dan seterusnya. Dibutuhkan pengetahuan dan wawasan khusus untuk kritik agar tepat sasaran.
Namun, kontrol parlemen bisa tidak efektif ketika mayoritas anggota Dewan justru berdiri di belakang eksekutif.
Rakyat hanya tahu mengeluh antre untuk minyak goreng, tetapi ada Dewan yang idealnya lebih mengerti tata kelola minyak goreng dan seharusnya menekan eksekutif untuk menyelesaikan krisis minyak goreng. Namun, kontrol parlemen bisa tidak efektif ketika mayoritas anggota Dewan justru berdiri di belakang eksekutif.
Dalam kasus minyak goreng, malah sebagian anggota legislatif mencuri kesempatan untuk mengambil hati rakyat dengan jalan membagi-bagikan komoditas itu, melakukan sesuatu yang bukan tugas pokok dan fungsi (tupoksi)-nya.
Kurang efektifnya fungsi kritik parlemen adalah buah dari Presiden merangkul suara mayoritas mutlak di DPR. Eksekutif menjadi terlalu percaya diri. Contoh mutakhir adalah Peraturan Menteri Tenaga Kerja No 2 Tahun 2022 tentang Pencairan Jaminan Hari Tua (JHT). Sebelum itu, RUU Komisi Pemberantasan Korupsi dan RUU Cipta Kerja yang menimbulkan gejolak nasional.
Baca juga: Kritik dan Ruang Publik
Karena itu, demokratisasi demokrasi sebuah keniscayaan untuk mencapai tujuan akhir bernegara (Giddens, 1999). Ada fenomena paradoksal di Barat yang demokrasinya sudah mapan bahwa sedikit saja rakyat memakai hak pilihnya saat pemilihan umum.
Kecewa terhadap demokrasi konvensional yang dipenuhi agenda kepentingan politik partisan, sebagian masyarakat lebih memercayakan urusan sehari-hari mereka kepada kelompok-kelompok kepentingan dengan isu tunggal (memperjuangkan penghapusan hak memiliki senjata api, antiaborsi, hak hidup hewan, hak imigran, isu lingkungan, dan seterusnya). Kelompok-kelompok tersebut berusaha memengaruhi opini publik melalui lobi-lobi politik dan ternyata ada hasilnya.
Substansi demokrasi adalah memperkuat posisi daya tawar rakyat untuk hidup sejahtera berhadapan dengan kekuasaan yang jika tak terkontrol cenderung menindas (over-kriminalisasi). Di era globalisasi, bisa ditambahkan juga pentingnya penguatan daya tawar rakyat berhadapan dengan kapitalisme transnasional, yang bahkan bisa mematikan demokrasi itu sendiri (Hertz, 2003).

Warga melintasi kritikan terhadap penguasa di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis (9/9/2021). Kritik demokrasi harusnya dijadikan momentum memperbaiki birokrasi bukan dibungkam dengan cara dihapus dan dihilangkan.
Seluruh rakyat berhak menikmati distribusi adil kekayaan negeri dan itulah alasan bernegara. Karena itu, harus dicermati potensi perselingkuhan penguasa dengan pengusaha (trans)nasional yang cenderung melahirkan pragmatisme politik, terlebih dengan hadirnya banyak pengusaha besar di jajaran kabinet. Lebih dari dua dekade silam, negeri kita nyaris bangkrut karena krisis multidimensi yang bersumber pada kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Laku elite politik kita hari-hari ini tak memperlihatkan sense of crisis. Padahal, kita belum lepas dari darurat pandemi Covid-19 dan, kini, dibayang-bayangi krisis pangan dan energi. Malah, krisis dimanfaatkan sebagai celah untuk korupsi, termasuk oleh mereka yang baru ikut berkuasa. Rakyat pun tak berdaya melihat negara dalam kekuasaan petualang politik.
Yonky Karman,Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2018%2F03%2F21%2F47552d72-1c43-49c3-b87e-d16b234ec92d_jpg.jpg)
Yonky Karman