Yang Bukan Penyair...
Dalam buku yang membahas Chairil Anwar, tak ditemukan pernyataan "Yang bukan penyair, tidak perlu ambil bagian!" yang konon dikatakan Chairil. Boleh jadi itu sekadar seloroh Chairil.
Chairil Anwar (26 Juli 1922-28 April 1949) konon pernah berhujah, ”Yang bukan penyair, tidak perlu ambil bagian!” Pernyataan itu sering dimanfaatkan para penyair kita untuk menegaskan wilayah kekuasaannya. Seolah-olah, hanya penyair yang berhak menceburi dunia puisi. Yang lain, cukup sebagai penonton saja. Jika benar Chairil Anwar mengatakan begitu—dan jika masih hidup—niscaya ia akan menyesali dan mencabut pernyataannya itu.
Chairil Anwar tak membayangkan, justru lantaran puisi-puisinya, para guru harus menghidupkan kembali puisinya di depan kelas; para siswa belajar puisi, mengikuti lomba-lomba baca puisi; dan sejumlah komunitas tampil di atas panggung dalam ajang musikalisasi puisi.
Siapa pun, kini, ramai-ramai menulis dan membaca puisi. Seniman lain, wartawan, dokter, guru besar, birokrat, pejabat negara, tak ragu-ragu lagi, menulis dan membaca puisi. Kini puisi dimasuki hampir semua profesi yang bukan penyair. Jadi, pesan Chairil Anwar tadi gagal mengantisipasi perkembangan zaman. Maka pernyataan itu pun sudah tidak relevan lagi.
Baca juga: Puisi Chairil Anwar, Bukan Puisi yang Iseng Sendiri
Pada zaman Pujangga Baru, Sutan Takdir Alisjahbana juga membuat klaim tentang konsep puisi baru. Dikatakannya, dalam perkembangan puisi Indonesia nanti, syair dan pantun sudah mati-sematinya. Faktanya, para penyair Pujangga Baru tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh pantun dan syair. Alih-alih dalam sejumlah puisi Chairil Anwar, kita menemukan pola pantun yang kuat. Sitor Situmorang dan Sutardji Calzoum Bachri malah secara sadar mengolah pantun secara kreatif.
Jejak pantun dan syair, sampai kini, masih dapat dijumpai bertebaran dalam puisi-puisi penyair mutakhir. Jika mencermati buku pantun—sebagai bukti penerbitan—yang diterima Perpustakaan Nasional setiap tahun yang mencapai ratusan judul, dapat dipastikan, pantun tetap semarak dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Klaim Sutan Takdir Alisjahbana—yang gagal menenggelamkan pantun dan syair—dapat kita pahami sebagai upayanya membangun paradigma baru tentang puisi yang berbeda dengan puisi-puisi zaman sebelumnya. Ia mengibarkan konsep puisi baru, yang dalam praktiknya gagal diwujudkan.
Bagaimana dengan pesan Chairil Anwar, jika benar itu pernyataannya? Boleh jadi orang mengutipnya sekadar mencomot begitu saja, tanpa menempatkan dalam konteks zamannya. Jangan-jangan, Chairil Anwar tidak pernah mengatakan begitu. Chairil Anwar rasanya tidak mungkin melarang orang menulis atau menceburi puisi. Jika pun sebagai bentuk keangkuhan, dia tidak akan berkhianat pada semangatnya mengobarkan kebebasan.
Memangnya puisi begitu sakral? Seperti yang diingatkan Bung Karno, ”Jas Merah!” (Jangan sekali-sekali melupakan sejarah), maka kita perlu menguak asbabunnuzulnya, kapan dan dalam konteks apa, muncul pernyataan Chairil Anwar itu.
Publik kerap abai pada sejarah. Kadang cenderung mengandalkan konon kabarnya. Sering juga terjebak pada semangat menggelegak membuat klaim. Akibatnya, ketika karyanya diyakini menampilkan sesuatu yang berbeda berdasarkan pengetahuan subyektifnya, ia merasa telah menemukan sesuatu yang baru. Ia merasa sebagai perintis, sebagai tokoh yang menawarkan aliran baru.
Publik kerap abai pada sejarah. Kadang cenderung mengandalkan konon kabarnya. Sering juga terjebak pada semangat menggelegak membuat klaim.
Sekadar contoh, ketika ada penyair yang puisinya sama sekali tidak menggunakan huruf kapital, tiba-tiba ia merasa telah menampilkan sesuatu yang baru. Padahal, Sutardji sudah melakukan itu. Bahkan, dalam tradisi penulisan huruf Jawi (Arab-Melayu) tidak dikenal adanya huruf kapital.
Satu contoh lagi, ketika ada yang menulis puisi dengan menyertakan catatan kaki, ia mengklaim sebagai kebaruan. Lalu seketika ia membaptis diri sebagai perintis. Periksalah sejumlah syair Hamzah Fansuri atau Abdullah Munsyi sampai ke puisi-puisi yang dimuat di surat kabar awal (1856-1900), catatan kaki sudah merupakan kelaziman. Bahkan, mahakarya Luís Vaz de Camões (1524—1580), Os Lusíadas (1572), Bapak Penyair Portugis (terjemahan Danny Susanto, Yayasan Obor Indonesia, 2022) yang awalnya ditulis di Ternate, kita disuguhi dengan begitu banyak catatan kaki.
Perlu ditelusuri
Pernyataan Chairil Anwar perlu ditelusuri dalam konteks apa ia mengatakan begitu. Dalam buku yang khusus membicarakan Chairil Anwar dan karya-karyanya, seperti buku Aoh K Hadimadja (1952), Jassin (1956), Asrul Sani (1997), Taufiq Ismail (1999), Ewith Bahar (2020), tak ditemukan pernyataan Chairil Anwar itu. Demikian juga, dalam beberapa esai yang dimuat majalah Siasat (1948), Gema Suasana (1948) atau Gema (1949), sebelum Chairil Anwar meninggal, tidak juga dijumpai pernyataan tersebut.
Mungkinkah pernyataan itu muncul dalam perdebatan penamaan Angkatan 45 selepas Chairil Awar dan beberapa seniman lain merumuskan sikap dalam memandang kebudayaan yang lalu dikenal dengan nama Gelanggang Seniman Merdeka? Dalam preamble-nya yang bertarikh 19 November 1946, dinyatakan: Generasi ”Gelanggang” terlahir dari pergolakan roh dan pikiran kita, yang sedang mencipta manusia Indonesia yang hidup. Generasi yang harus mempertanggungjawabkan dengan sesungguhnya penjadian dari bangsa kita ....
Pemuatan Surat Kepercayaan Gelanggang (kemungkinan ditulis Asrul Sani, Siasat, 22 Oktober 1950) disertakan “sejarah singkat” proses perumusannya. Pada pertengahan 1946, atas usaha Chairil Anwar, bertemu beberapa orang pendiri ”Gelanggang”. Dalam pengantar buku Chairil Anwar: Derai-Derai Cemara (Taufiq Ismail, 1999), Asrul Sani mengatakan, ”Semula dimaksudkan sebagai perkumpulan kesenian biasa (kunstkring)... Tapi pada pertukaran pikiran selanjutnya, terasa bahwa yang dibutuhkan bukan cuma satu kumpulan, tetapi juga satu angkatan. Angkatan yang tidak saja harus ada, tetapi juga harus mempunyai pandangan hidup. Suatu tujuan.”
Pernyataan Chairil Anwar perlu ditelusuri dalam konteks apa ia mengatakan begitu.
Sejak itulah muncul polemik tentang nama angkatan dengan spirit yang melatarbelakanginya, dengan gejolak sosial-politik yang terjadi saat itu, dan dengan harapan dan cita-cita yang melatardepaninya.
Berbagai nama bermunculan, seperti Angkatan Perang, Angkatan Merdeka, Angkatan Chairil Anwar, Angkatan Gelanggang (Seniman Merdeka), Angkatan 45, dan Angkatan Pembebasan. Ketika itu, peran Chairil Anwar sangat menonjol di antara seniman lain sehingga ada yang mengusulkan nama Angkatan Chairil Anwar. Yang terlibat dalam polemik itu, antara lain, Achadiat Karta Mihardja, Anas Ma’ruf, Hazil Tanzil, Pramoedya Ananta Toer, Rosihan Anwar, Sitor Situmorang, dan entah siapa lagi.
Sementara itu, dalam artikel Chairil Anwar, ”Angkatan 45” yang dimuat sebagai lampiran Kebudayaan Gelanggang (6 November 1949, setelah Chairil meninggal), Chairil Anwar menegaskan karakteristik dan spirit Angkatan 45. Pesan artikel itu dipertegas lagi oleh Sitor Situmorang. Dikatakannya, ”Sebutan ini berasal dari Chairil Anwar. Dia memilih angka 45. ... Pilihan ini sebenarnya hanya soal ”momentopname” sejarah bagi Chairil sendiri dan bagi angkatan yang dimaksudnya.”
Baca juga: Berkisar (Lagi) Sajak-sajak Anwar
Meski Rosihan Anwar menyebut nama Hazil Tanzil sebagai yang mula memperkenalkan nama Angkatan 45, artikel Chairil Anwar dan Sitor Situmorang menunjukkan bukti lain. Belakangan, Tentara Nasional Indonesia juga memakai nama Angkatan 45 untuk menyebut mereka yang terlibat dalam perang kemerdekaan.
Kembali, bagaimana dengan pernyataan Chairil Anwar, ”Yang bukan penyair, tidak perlu ambil bagian”? Berdasarkan sejumlah sumber, saya gagal berjumpa dengan pernyataan itu. Boleh jadi itu sekadar seloroh Chairil Anwar dalam perbincangan ringan dengan seniman lain. Tetapi, jangan-jangan, pernyataan itu fiktif belaka. Nah!
Maman S Mahayana, Ketua Yayasan Hari Puisi