Mengatasi Optimisme dan Pesimisme Teknologi
Kemajuan teknologi tidak selalu niscaya memperbaiki kehidupan. Ia juga bisa membahayakan. Ini tergantung pada kesadaran orang yang menciptakan dan menggunakannya.

Ilustrasi
Beberapa tahun belakangan ini, wacana publik di Indonesia dipenuhi oleh jargon-jargon teknologi, mulai dari revolusi industri 4.0, revolusi digital, big data, bukit algoritma, hingga yang paling mutakhir metaverse.
Frasa-frasa itu pun juga sudah mulai menjadi bagian dari tema-tema seminar, baik yang diselenggarakan oleh kampus ataupun oleh lembaga pemerintahan. Tak ketinggalan, Presiden Joko Widodo dalam beberapa kesempatan juga sering menyinggung soal teknologi digital.
Semua tampak optimistis bahwa kemajuan teknologi sama dengan perbaikan kehidupan. Jika teknologi semakin maju, kehidupan manusia, baik di level personal maupun sosial, juga akan semakin baik.
Baca juga: Kecakapan Era 4.0
Pesimisme dan teknofobia
Sementara optimisme terhadap perkembangan teknologi begitu ingar dalam wacana publik, apa yang terjadi di dalam diskursus filsafat justru sebaliknya. Sebagian besar filsuf, terutama yang dekat dengan tradisi filsafat kontinental, cenderung memiliki pandangan pesimistis dan negatif terhadap kemajuan teknologi.
Di Indonesia, salah satu orang yang merepresentasikan pandangan pesimistis itu adalah Franky Budi Hardiman. Di dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar filsafat di Universitas Pelita Harapan yang berjudul ”Tugas Filsafat di Era Komunikasi Digital”, Hardiman memaparkan pandangannya yang murung terhadap kemajuan teknologi komunikasi digital. Ia menunjuk media sosial sebagai contoh platform tempat munculnya segala keburukan akhir zaman, mulai dari hoaks hingga matinya kepakaran.
Hardiman kemudian menyebutkan bahwa teknologi komunikasi digital yang suram dan menyeramkan itu adalah medan baru bagi filsafat untuk melaksanakan tugas kenabiannya: mengajak berpikir dan memberikan pencerahan. Ini seolah menegaskan bahwa filsafat semakin dibutuhkan justru saat kondisi sekitar sedang suram.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2018%2F10%2F18%2F08d97f57-db2a-45c2-9656-8ea0fad755dd_jpg.jpg)
Peserta pertukaran mahasiswa dari Indonesia ke China mengamati kemajuan teknologi digital di perusahaan gim daring Netdragon, Fuzhou, Provinsi Fujian, Jumat (20/4/2018). China saat ini berambisi mendominasi teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).
Pandangan pesimistis dan suram terhadap kemajuan teknologi itu sudah disampaikan oleh banyak filsuf dalam sejarah filsafat. Martin Heidegger (1954), misalnya, menyebut esensi teknologi adalah pembingkaian (enframing). Bagi Heidegger, ini adalah ancaman untuk manusia karena menggunakan teknologi, berarti masuk ke dalam satu bentuk pembingkaian tertentu.
Saat seseorang menggunakan media sosial, misalnya, maka berarti ia masuk ke dalam satu bingkai tertentu yang akan menyingkapkan beberapa hal baru kepadanya, tetapi juga pada saat yang sama menyembunyikan lebih banyak hal lain darinya. Ia menemukan beberapa hal yang tak ditemui di dunia nyata, seperti kemudahan memperoleh teman baru, tetapi juga kehilangan beberapa hal yang sangat berharga dari dunia nyata, seperti sentuhan dan tatap muka.
Beberapa tokoh Mazhab Frankfurt, seperti Horkheimer dan Adorno dalam Dialectic of Enlightenment (1947) atau Herbert Marcuse dalam One-Dimensional Man (1964), juga memiliki pandangan yang suram tentang teknologi. Mereka berpandangan bahwa teknologi, alih-alih membebaskan, justru menjadi alat dominasi baru dan membatasi manusia.
Mereka berpandangan bahwa teknologi, alih-alih membebaskan, justru menjadi alat dominasi baru dan membatasi manusia.
Semua pesimisme, kekhawatiran, dan kemurungan beberapa filsuf dalam memandang teknologi itu layak diperhatikan sebagai suatu peringatan agar optimisme kita terhadap teknologi tidak berlebihan dan menyisakan sedikit rasa waspada bahwa kemajuan teknologi tidak selalu niscaya memperbaiki kehidupan. Ia juga bisa membahayakan. Ini penting untuk diperhatikan oleh kita semua, terlebih lagi oleh pemerintah yang memiliki sumber dana dan wewenang kebijakan untuk mengembangkan teknologi.
Namun, pesimisme dan kekhawatiran yang berlebihan juga sangat berbahaya karena akan membuat kita mengalami teknofobia. Segala bentuk kemajuan yang dihasilkan oleh perkembangan teknologi selalu dipandang secara negatif dan penuh kecurigaan sehingga tertanam pandangan bahwa teknologi adalah monster yang menyeramkan, layaknya monster ciptaan Victor Frankenstein dalam novel Mary Shelley.
Karena itu, agar optimisme kita tidak berlebihan dan pesimisme kita juga tidak terjatuh pada teknofobia, kita memerlukan pandangan ketiga: pandangan yang mampu melihat teknologi tidak semata negatif dan juga tidak semata positif.

Teknofilsafat dan netralitas teknologi
Salah satu pandangan yang menurut saya cukup representatif mewakili pandangan ketiga terkait teknologi adalah apa yang oleh David Chalmers (2022) disebut sebagai teknofilsafat (technophilosophy). Chalmers menggunakan istilah itu untuk memperkenalkan satu disiplin baru dalam filsafat, yaitu cabang filsafat yang berusaha mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang teknologi dan juga menggunakan teknologi untuk membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan tradisional filsafat.
Chalmers memperkenalkan teknofilsafat itu di dalam buku terbarunya yang terbit awal tahun ini dan berjudul Reality+. Dalam salah satu babnya, Chalmers bertanya: Can you lead a good life in a virtual world? Chalmers menjawab sendiri pertanyaan itu secara afirmatif.
Bagi Chalmers, hidup di dunia virtual itu memiliki nilai yang sama dengan hidup di dunia non-virtual. Ia bisa bernilai baik atau buruk, persis seperti hidup di dunia non-virtual. Jika ia buruk, maka ia buruk bukan karena ia bersifat virtual, melainkan karena ia memang memiliki dua kemungkinan nilai itu. Ini persis seperti hidup yang sekarang kita jalani. Jika hidup kita sekarang buruk, maka ia buruk bukan karena ia bersifat non-virtual, melainkan karena ia memang mungkin baik atau buruk.
Hidup di dunia virtual itu memiliki nilai yang sama dengan hidup di dunia non-virtual. Ia bisa bernilai baik atau buruk, persis seperti hidup di dunia non-virtual.
Lalu apa yang sebenarnya membuat hidup yang kita jalani, baik di dunia virtual ataupun non-virtual, menjadi baik atau buruk? Bagi Chalmers (2022), sumber segala nilai itu adalah kesadaran. Selama hidup di dunia virtual itu juga melibatkan kesadaran yang sama seperti hidup di dunia non-virtual, maka nilai baik atau buruk itu selalu ada. Sebab kesadaranlah yang menilai hidup itu baik atau buruk.
Dengan kata lain, pandangan teknofilsafat Chalmers ini menganggap teknologi di dalam dirinya itu bersifat netral. Ia bisa baik atau buruk, tergantung pada kesadaran orang yang menciptakan dan menggunakannya. Dunia virtual, yaitu dunia yang sepenuhnya dimediasi oleh teknologi, tak bisa dianggap baik atau buruk sebelum diciptakan dan digunakan oleh manusia yang sadar.
Beberapa orang mungkin akan mengatakan bahwa menganggap teknologi netral itu naif. Akan tetapi, menganggap teknologi sepenuhnya baik itu tak kalah naif; sementara menganggapnya sepenuhnya buruk tampak sangat munafik. Sebab, kita tak bisa menafikan begitu banyak kebaikan yang sudah diberikan oleh teknologi pada kehidupan manusia.
Baca juga: Jangan Jadi Budak Teknologi Digital
Karena itu, meski sudah banyak dikritik, pandangan netralitas teknologi ini menurut saya tetap merupakan pandangan yang paling kompatibel dan relevan dengan perkembangan zaman. Kita tidak mesti selalu murung melihat kemajuan teknologi, tetapi juga jangan terlalu optimistis dengannya. Dengan menerima asumsi netralitas teknologi, kita dapat optimistis, tetapi sekaligus menyisakan rasa waspada terhadap segala bentuk kemajuan teknologi. Sebab teknologi yang netral itu bisa dibajak oleh nilai tertentu untuk kepentingan kelompok tertentu.
Dengan asumsi netralitas teknologi, apa yang mesti dilakukan pemerintah ataupun filsuf bukan kampanye kebaikan-kebaikan teknologi atau meratapi dan merutuki keburukan-keburukannya. Apa yang mesti dilakukan adalah memperbaiki sistem nilai yang dipegang bersama agar dapat mendeterminasi penciptaan/penggunaan teknologi yang jauh dari membahayakan sesama. Sebab, dengan atau tanpa teknologi, jika sistem nilai yang dipegang bersama tetap memungkinkan eksploitasi dan dominasi, hidup tak akan pernah mudah untuk dijalani.
Taufiqurrahman, Peneliti, Pascasarjana Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada; Facebook: philtaufiq

Taufiqurrahman