Bersitegang Mempersoalkan Peristiwa yang Tak Mungkin Terjadi
Bersitegang melanjutkan pro dan kontra tentang isu penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden merupakan kegiatan yang sia-sia. Sebab, hal itu sesuatu yang tidak akan pernah terjadi.
Oleh
H WIRANTO
·4 menit baca
Belakangan ini masyarakat di Tanah Air dihebohkan oleh isu tentang tiga wacana: jabatan presiden tiga periode, perpanjangan masa jabatan presiden, dan penundaan Pemilu 2024. Ketiganya sudah bergulir menjadi bola liar, ditanggapi oleh berbagai pihak dengan sikap dan kepentingan yang beraneka ragam, terakumulasi ke dalam dua kelompok yang saling berhadapan.
Ada kelompok yang mendukung wacana tersebut, dengan alasan bahwa pemerintah yang dianggap telah berhasil mengatasi pandemi Covid-19 dan perekonomian yang sekarang ini tengah dalam pemulihan saat ini dihadapkan pada kondisi dunia yang cukup berat, yang sangat membutuhkan kesatuan dan persatuan bangsa. Pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 dikhawatirkan justru akan menimbulkan perpecahan, pada saat kita membutuhkan kebersamaan.
Di pihak lain, kelompok yang menolak menuntut pemerintah supaya bersikap lebih tegas untuk menyatakan penolakan terhadap wacana tersebut agar tidak mengingkari konstitusi dan tidak terjerumus menuju pemerintahan yang otoriter.
Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM).
Berwacana sebagian dari HAM
Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM). Salah satu indikatornya adalah memberikan kebebasan untuk berpendapat, berekspresi, dan berwacana, yang kemudian dikenal sebagai wacana publik (public sphere).
Dengan prinsip ini, semua warga negara mempunyai hak dan tidak dilarang berwacana, kecuali yang berniat menghasut untuk melakukan kejahatan. Demikian pula tentang wacana menyangkut pemilu oleh masyarakat umum, semua warga negara, termasuk Presiden sekalipun, tidak bisa melarangnya karena akan bertentangan dengan HAM yang dijamin konstitusi.
Oleh sebab itu, tuntutan agar Presiden melarang masyarakat umum mewacanakan isu perpanjangan masa jabatan presiden atau isu penundaan pemilu tidak layak untuk dilakukan.
Jawaban Presiden yang terpinggirkan
Beberapa kelompok masyarakat yang menolak wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden berspekulasi atau menuduh bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengetahui dan merestui ”orang-orang dekatnya” mengembangkan dan melakukan lobi-lobi politik untuk mendukung wacana tersebut.
Dapat dikatakan bahwa tuduhan dan anggapan itu kurang tepat karena sejak awal isu ini bergulir, Presiden Jokowi sudah merespons dengan cukup lugas terhadap wacana tiga periode. Sejak tahun 2019, Presiden Jokowi sangat tegas sudah menyampaikan penolakannya dengan kalimat: ”Kalau ada yang mengusulkan itu (jabatan presiden tiga periode), ada tiga motif menurut saya: ingin menampar muka saya, ingin cari muka, atau ingin menjerumuskan, itu saja!” (Kompas, 2/12/2019)
Terkait dengan isu perpanjangan masa jabatan presiden, Presiden Jokowi merespons dengan ucapan singkat, ”Saya tidak tertarik.” Sehubungan dengan wacana penundaan Pemilu 2024, Presiden mengatakan, ”Saya akan taat dengan konstitusi.”
Bahkan, pada kesempatan paling anyar, Presiden menginstruksikan kepada para menteri agar tidak lagi menyuarakan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden.
Tak akan pernah ada
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah wacana perpanjangan masa jabatan presiden atau penundaan Pemilu 2024 bisa terwujud? Jawabannya sangat jelas bahwa wacana penundaan pemilu, perpanjangan masa jabatan presiden, atau jabatan presiden tiga periode pasti tidak mungkin terwujud.
Ada empat argumen yang mendukung pendapat tersebut.
Pertama, untuk mewujudkan isu tersebut, perlu perubahan pasal Undang- Undang Dasar (UUD) 1945, di mana untuk itu dibutuhkan dukungan atau dikehendaki mayoritas anggota MPR. Fakta menunjukkan bahwa rasio yang mendukung ternyata lebih kecil, hanya tiga partai politik, yakni Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Golkar, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Adapun yang menolak terdiri atas enam partai politik, yakni PDI-P (PDI-P), Partai Nasdem, Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), ditambah Dewan Pertimbangan Daerah (DPD).
Kedua, sampai sejauh ini tidak tampak kegiatan apa pun dari lembaga-lembaga pemerintah, MPR, ataupun lembaga pemilu untuk melakukan persiapan dalam rangka perubahan jadwal pemilu dari jadwal yang sudah ditetapkan.
Ketiga, pemerintah saat ini sedang berkonsentrasi menangani pemulihan ekonomi nasional dan menuntaskan mitigasi Covid-19 sehingga tidak ada kehendak untuk mematangkan isu tersebut menjadi program nasional.
Keempat, tentunya kita sangat memahami bahwa Presiden Jokowi adalah figur pemimpin nasional yang berasal dari Jawa Tengah. Presiden sangat memahami salah satu filosofi sebagai pemimpin, yang dalam bahasa Jawa diungkapkan sebagai sabdo pandito ratu, tan keno wola-wali, yang artinya bahwa apa yang diucapkan oleh seorang pemimpin tidak akan berubah lagi. Larangan bagi para menterinya untuk tidak lagi menyuarakan isu perpanjangan jabatan presiden atau penundaan pemilu bisa meneguhkan sinyalemen ini.
Isu itu akan tetap tercatat sebagai isu yang akan melengkapi sejarah perkembangan demokrasi di Indonesia.
Dengan demikian, dapat disimpulkan melalui argumentasi-argumentasi di atas bahwa isu penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden tidak akan pernah terjadi. Isu itu akan tetap tercatat sebagai isu yang akan melengkapi sejarah perkembangan demokrasi di Indonesia.
Oleh sebab itu, bersitegang melanjutkan pro dan kontra—bahkan sampai melakukan unjuk rasa di bulan suci—merupakan kegiatan yang sia-sia dan hanya akan menghabiskan energi kita. Sebab, sejatinya hal itu hanya akan mempermasalahkan sesuatu yang tidak akan pernah terjadi.