Pelaku UMK menjadi target utama pemerintah dalam percepatan sertifikasi halal untuk mendukung pengembangan industri halal di Indonesia. Untuk ini, pemerintah wajib menyediakan fasilitas sertifikasi halal bagi UMK.
Oleh
MUHAMMAD SYAUGY ALGHIFARY
·5 menit baca
Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, mencapai 237 juta jiwa, Indonesia memiliki visi untuk menjadi pusat industri halal dunia. Ini dimanifestasikan dalam Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2019-2024.
Salah satu bentuk keseriusan pemerintah untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan mengatur bahwa semua produk yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia wajib bersertifikat halal. Hal ini ditetapkan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal dan dipertegas kembali dalam Pasal 2 Ayat 1 Peraturan Pemerintah No 39/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal.
Terbaru, yang dilakukan pemerintah berkaitan dengan industri halal adalah memperbarui logo yang akan digunakan dalam label halal. Logo ini menjadi identitas kehalalan produk yang wajib dicantumkan oleh pelaku usaha pada kemasan produknya sebagai bukti telah tersertifikasi halal.
Pembaruan logo halal sejatinya tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku, yakni Pasal 89 dan 90 PP No 39/2021. Dalam peraturan tersebut, sebuah logo halal dapat berupa kombinasi dari gambar dan tulisan yang menjadi kewenangan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) untuk menetapkannya. Terlepas dari pro-kontra yang muncul dari pembaruan logo tersebut, terdapat kebijakan lain yang perlu menjadi perhatian masyarakat berkaitan dengan sertifikasi halal.
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam acara kick-off program Sehati (Sertifikasi Halal Gratis) pada 8 September 2021 menargetkan 15 juta usaha mikro dan kecil (UMK) mendapat sertifikat halal dalam kurun waktu 2 tahun (Fahlevi, 2021). Namun, hingga 5 November 2021 atau 58 hari sejak peluncuran program Sehati, Sistem Informasi Halal BPJPH baru menerima 24.308 pengajuan sertifikasi halal dari pelaku UMK yang terdiri dari 19.209 usaha mikro dan 5.099 usaha kecil (Mastuki, 2021).
Jika dihitung, rata-rata pengajuan sertifikasi halal UMK mencapai 419 per hari. Dengan rata-rata tersebut, dalam 2 tahun hanya mampu mencapai setidaknya 305.870 sertifikasi halal bagi UMK atau hanya 2,03 persen dari target.
Target UMK
Pelaku UMK nyatanya menjadi target utama pemerintah dalam percepatan sertifikasi halal untuk mendukung pengembangan industri halal di Indonesia. Berdasarkan data terbaru yang dirilis Kementerian Koperasi dan UKM, jumlah usaha mikro di Indonesia mencapai 64,6 juta unit disertai usaha kecil yang tercatat sebanyak 786.000 unit. Kedua kelompok usaha tersebut mencakup 99,89 persen dari total unit usaha terdaftar di Indonesia.
Jumlah ini tentu perlu menjadi perhatian pemerintah dalam upaya percepatan sertifikasi halal. Sebagai langkah serius untuk membantu UMK, BPJPH merilis program ”10 Juta Produk UMK Bersertifikat Halal” dalam agenda Rapat Kerja Nasional yang dilaksanakan pada 27 Maret 2022 (Dewi, 2022).
Namun, di lain kesempatan, Muhammad Aqil Irham selaku Kepala BPJPH menyatakan bahwa tahun ini Kementerian Agama hanya menyediakan kuota 25.000 sertifikat halal gratis bagi UMK (Ratriani, 2022). Jumlah ini tentu terhitung sedikit dibandingkan target yang ingin dikejar BPJPH.
Dengan kapasitas sebatas 25.000 per tahun, pemerintah hanya mampu memfasilitasi kurang dari 100.000 UMK hingga tahun 2024.
Dengan kapasitas sebatas 25.000 per tahun, pemerintah hanya mampu memfasilitasi kurang dari 100.000 UMK hingga tahun 2024 yang merupakan akhir dari periode Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia. Bahkan dengan target 10 juta UMK per tahun, BPJPH belum mampu mencapai setengah dari total UMK di Indonesia dalam waktu 3 tahun ke depan.
Faktanya, penyediaan fasilitas berupa sertifikasi halal gratis bagi UMK merupakan kewajiban yang harus ditunaikan sebagaimana diamanahkan dalam Pasal 48 Ayat 20 UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja. Namun, jika ditelusuri dalam Keputusan Kepala BPJPH No 141/2021, permohonan sertifikat halal secara reguler bagi UMK dikenai tarif Rp 300.000.
Padahal dalam Pasal 79 Ayat 1 PP No 39/2021 mengatur bahwa kewajiban bersertifikat halal bagi pelaku UMK didasarkan atas pernyataan pelaku UMK (self declare). Hal ini diperkuat pula dalam Pasal 5 Ayat 1 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 57/2021 yang menggratiskan layanan sertifikasi halal secara self declare bagi pelaku UMK. Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut, BPJPH tidak perlu mengadakan layanan sertifikasi halal secara reguler dan berbayar bagi pelaku UMK.
Selain masalah tarif layanan sertifikasi halal, pemerintah juga kurang tegas dalam menyelenggarakan jaminan produk halal. Hal tersebut dinilai dari bagaimana sanksi yang diberikan pemerintah bagi pelaku usaha yang mengedarkan produk tidak halal.
Dalam Pasal 93 PP No 39/2021, pemerintah mewajibkan produk yang berasal dari bahan yang diharamkan untuk mencantumkan keterangan tidak halal. Namun, sanksi bagi pelanggar aturan tersebut hanya berupa peringatan tertulis yang merupakan sanksi teringan sebagaimana diatur dalam Pasal 150 Ayat 2 PP No 39/2021. Sanksi ini berbeda jauh dengan yang diberikan kepada pelaku usaha yang tidak menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat halal, yakni berupa pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp 2 miliar.
Berdasarkan permasalahan tersebut, pemerintah perlu mengevaluasi sejumlah kebijakan yang berkaitan dengan jaminan produk halal sebagai upaya mendorong perkembangan industri halal di Indonesia. Pertama, BPJPH sebagai representasi pemerintah diharapkan mampu meningkatkan kuota layanan sertifikasi halal gratis menjadi 15 juta-20 juta per tahun agar dapat mencapai lebih dari setengah jumlah UMK pada tahun 2024.
Kedua, BPJPH harus mengutamakan layanan sertifikasi halal bagi UMK melalui jalur self declare secara gratis serta menggencarkan sosialisasi mengenai tata cara melakukan self declare untuk memproses sertifikasi halal. Ketiga, pemerintah perlu mempertegas aturan terhadap pelaku usaha yang mengedarkan produk tidak halal dengan meningkatkan pengawasan serta memperkuat sanksi bagi pelaku usaha yang tidak melaksanakan aturan.
Muhammad Syauqy Alghifary, Presidium Nasional FoSSEI