Agama, Politik, dan Demokrasi
Islam telah menjadi kekuatan nilai dalam menumbuhkan etos pluralisme keagamaan sejak Indonesia merdeka. Namun, potensi untuk menjadi gerakan sosial yang mundur ke belakang dengan sentimen antiagama lain tetap terbuka.

”Mr President, I wish Indonesia a great success. A successful Indonesia will help to characterize the 21th century. Indonesia is now world’s third target democracy. Indonesia is the fourth largest population. Indonesia has the largest Muslim population in the world. Mr President, if Indonesia can show to the world that Islam and democracy are compatible, you show the way”.
Pernyataan itu merupakan pesan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton kepada Presiden RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam konteks hubungan demokrasi dan Islam di Indonesia. Jika umat Islam Indonesia mampu menghadirkan demokrasi di Indonesia, itu kesuksesan besar, di mana toleransi dan kebebasan beragama dijunjung tinggi. Clinton memang berharap besar kepada Gus Dur yang merupakan sosok pluralis dan pegiat demokrasi saat itu.
Namun sayang, Gus Dur tak sampai satu periode jadi presiden, keburu dilengserkan oleh lawan politiknya dan beberapa tahun kemudian dipanggil Tuhan. Bagaimana nasib hubungan keberagamaan dan demokrasi di Indonesia?
Relasi keberagamaan
Koordinator peneliti Imparsial, Ardimanto Adiputra, mencatat, ada 31 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) yang terjadi di 15 provinsi Indonesia menjelang akhir 2019. Temuan ini merupakan hasil pemantauan Imparsial lewat berbagai pemberitaan di media massa.
Rinciannya: 12 kasus pembubaran terhadap ritual/pengajian/ceramah/pelaksanaan ibadah agama atau kepercayaan tertentu. Lalu, 11 kasus pelarangan pendirian tempat ibadah, 3 kasus perusakan tempat ibadah, 2 kasus pelarangan perayaan Cap Go Meh, 1 kasus pengaturan tata cara berpakaian sesuai agama tertentu oleh pemerintah, dan 1 kasus imbauan pemerintah terkait aliran keagamaan tertentu dan 1 kasus penolakan untuk bertetangga dengan yang tidak seagama (Kompas, 17/11/2019).
Bill Clinton memang berharap besar kepada Gus Dur yang merupakan sosok pluralis dan pegiat demokrasi saat itu.
Di pengujung 2020, kasus intoleransi, ujaran kebencian, dan konflik intern umat beragama semakin merebak, begitu mewarnai media sosial dan sangat gaduh (noisy). Ini tantangan besar bagi Pemerintah Indonesia. Indonesia menjadi eksemplar praktik kehidupan beragama bagi bangsa lain.
Beberapa tantangan itu antara lain munculnya paham keagamaan yang intoleran dan ekstrem yang ingin menggantikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi Negara Islam Indonesia (NII) sebagaimana terjadi di Irak dan Suriah dengan Islamic State of Irak and Syria-nya, serta melahirkan terorisme dan bom bunuh diri di beberapa wilayah. Selain itu, kian meningkatnya ujaran kebencian (hate speech) yang dilakukan para dai dan aktivis ormas Islam tertentu.
Dalam konteks Indonesia modern, Abu Rabi’ (1998: 2) mengakui Islam telah menjadi kekuatan nilai dalam menumbuhkan etos pluralisme keagamaan sejak Indonesia merdeka. Namun, potensi untuk menjadi gerakan sosial yang mundur ke belakang dengan sentimen antiagama lain tetap terbuka.
Baca juga:Menyuburkan Toleransi
Berbagai kecenderungan dan pola pemikiran keislaman yang muncul akhir-akhir ini menggambarkan posisi Islam yang berbeda-beda dalam berhadapan dengan komunitas agama lain. Aspirasi politik keagamaan yang berkembang ini membuka peluang bagi tumbuhnya gerakan sosial Islam yang kurang menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi, keterbukaan, dan demokrasi. Semua ini menjadi tantangan yang semakin nyata seiring perkembangan wacana keagamaan pascamodern.
Jika ditinjau dari perspektif historis, kekerasan dan intoleransi yang terjadi selama ini justru dilakukan oleh pemeluk agama-agama monoteis. Pertanyaannya, kenapa pemeluk agama monoteis justru inheren dengan intoleransi dan kekerasan? Jawabannya, menurut Rodney Stark (2003: 171-173), karena adanya klaim yang partikularistik-subyektif, yang memandang rendah agama lain. Hal senada dikatakan John Hick (1985: 46). Untuk menghindari ini, agama harus dijauhkan dari hegemoni politik.

Mural menjadi salah satu media bagi masyarakat untuk menyerukan toleransi dalam kehidupan beragama. Hal itu salah satunya ditemui di Jalan Juanda, Kota Depok, Jawa Barat, Sabtu (22/2/2020). Mural itu menggambarkan karikatur sosok Gus Dur berpadu dengan gambar umat yang berbeda agama.
Untuk mengantisipasi dan menanggulangi problematika kehidupan beragama dan demokrasi di Indonesia, seperti konflik, intoleransi, ekstremisme, dan terorisme, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, perlunya reorientasi pemahaman ajaran agama. Kedua, depolitisasi agama. Ketiga, perlunya keberpihakan negara secara lebih serius.
Ajaran agama mesti dipahami secara benar dan digali makna substansinya. Isu-isu kontemporer mengenai demokrasi, keadilan, HAM, lingkungan, dan segala macam jenis pemihakan masyarakat seharusnya dijadikan indikator keberhasilan dakwah agama. Hal ini disebabkan dimensi agama tak hanya bersifat teosentris, tetapi juga sarat dimensi sosiologis dan kosmologis. Agama diturunkan Tuhan untuk manusia, sementara manusia tak bisa lepas dari ketergantungannya kepada manusia lain atau alam makro secara keseluruhan.
Di sinilah perlunya memahami tiga kesatuan relasi (three unity of relationship), yaitu relasi manusia dengan Tuhannya (hablun min Allah), relasi manusia dengan sesama manusia (hablun min al-nas), dan relasi manusia dengan alam semesta (hablun min al-’aam). Inilah akhlak karimah (al-akhlaq al-karamah) yang lebih dari sekadar bermakna sopan santun.
Agama diturunkan Tuhan untuk manusia, sementara manusia tak bisa lepas dari ketergantungannya kepada manusia lain atau alam makro secara keseluruhan.
Depolitisasi agama
Tantangan kedua yang dihadapi umat beragama adalah politisasi agama, yaitu agama dijadikan sebagai ajang kepentingan politik. Mark Jurgensmeyer (1993: 145-146) mengatakan, tatanan Dunia Baru yang menggantikan kekuatan-kekuatan bipolar Perang Dingin masa lalu tak hanya dicirikan oleh munculnya kekuatan-kekuatan ekonomi baru, ambruknya kerajaan-kerajaan kuno, dan melemahnya komunisme, melainkan juga oleh bangkitnya identitas-identitas parokial yang didasarkan pada etnik dan kesetiaan agama.
Senada dengan Jurgensmeyer, Abdul Karim Soroush (2003: 32-34) menilai bahwa salah satu penyakit teoretis di dunia Islam yang paling berat adalah bahwa orang lebih memahami Islam sebagai identitas daripada sebagai kebenaran.
Soroush juga mengatakan bahwa orang Islam mempunyai identitas dan peradaban, itu memang benar, tetapi mereka tidak boleh menggunakan Islam demi kepentingan identitas tersebut (baca: politisasi agama atau Islam politik). Islam identitas harus tunduk pada Islam sebagai kebenaran, karena Islam sebagai kebenaran bisa berdampingan dengan kebenaran lain, sedangkan Islam identitas cenderung berseteru. Islam identitas, menurut Soroush, adalah Islam perang, bukan Islam damai.

Pengunjung membubuhkan pesan damai dalam festival toleransi Convey Day 2020 di Jakarta, Senin (17/2/2020). Kegiatan yang mengambil tema Be Inspiring, Be Tolerant ini diisi dengan cerita dan pengalaman hidup mengenai toleransi dari aktor-aktor perdamaian yang sejak lama membangun perdamaian dari pinggiran dan tidak menjadi mainstream.
Mengikuti teori Berger, realitas sosial perang atau jihad dan negara Islam menjadi terpelihara dalam teks-teks agama bagi kelompok Islam radikal. Doktrin agama pun akhirnya berhasil melegitimasi wacana ”jihad dan negara Islam” tersebut, terlebih ketika agama dijadikan sebagai ideologi negara.
Walhasil, bagi Islam ”radikal”, jihad menjadi sebuah realitas sosial yang tak terbantahkan, bahkan mustahil untuk dihilangkan. Demikian pula wacana yang mengiringinya, ”negara Islam”. Di Indonesia, upaya-upaya semacam ini direpresentasikan beberapa kelompok organisasi Islam yang ingin mengubah NKRI menjadi NII.
Dalam masalah konflik yang mengusung isu keagamaan ini, tindakan preventif perlu lebih dikedepankan. Mengobati konflik yang berwajah agama sangat sulit dilakukan karena konflik ini menimbulkan luka mendalam di masyarakat yang terlanda konflik. Tindakan preventif yang perlu dilakukan adalah mengantisipasi gerakan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dengan menyiapkan regulasi dan perundang-undangan serta penjagaan ketat oleh keamanan negara bagi siapa pun yang hendak mengubah bentuk NKRI ke bentuk yang lain (termasuk NII).
Secara simultan pemerintah bersama masyarakat hendaknya berkomitmen menegakkan hukum untuk membendung bahaya ekstremisme dan terorisme.
Maka, dalam konteks ini, justru kehadiran pemerintah tidak hanya perlu, tetapi wajib demi terwujudnya toleransi dan terciptanya kohesivitas dan harmonisme masyarakat beragama. Secara simultan pemerintah bersama masyarakat hendaknya berkomitmen menegakkan hukum untuk membendung bahaya ekstremisme dan terorisme. Pemerintah tak bisa menolerir penetrasi ideologi asing yang tak sejalan dengan ideologi Pancasila.
Seiring dengan itu, hendaknya pemerintah juga menegakkan hukum keadilan dan demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara demi menekan kecemburuan sosial antarwarga, terutama dalam membuat regulasi terkait relasi antarumat beragama.
Di sinilah sesungguhnya Surat Edaran Menteri Agama Nomor 5 Tahun 2022 tentang pengaturan penggunaan pengeras suara masjid yang sangat kontroversial itu justru sudah tepat karena pesan substansinya adalah demi terciptanya kenyamanan dan kemaslahatan bersama.
M Zainuddin, Rektor dan Guru Besar Sosiologi Agama UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang