Terobosan pemerintah berupa peningkatan alokasi belanja APBN untuk produk lokal berpotensi memperlebar kesenjangan pendapatan antarwilayah jika sebaran industri masih sangat terkonsentrasi di Jawa.
Oleh
HARRY AGINTA
·4 menit baca
Presiden Joko Widodo kesal. Pasalnya, kementerian, lembaga negara, serta pemerintah daerah lebih banyak menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk belanja barang impor dibandingkan konsumsi produk lokal.
Hal ini dinilai berlawanan dengan misi transformasi ekonomi nasional yang ingin mengubah identitas dari pengekspor bahan mentah menjadi negara industri. Padahal, belanja pengadaan barang dan jasa APBN merupakan salah satu instrumen pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus meningkatkan konsumsi produk lokal guna mengakselerasi perkembangan industri dalam negeri.
Efek pengganda fiskal dan momentum suku bunga
Dalam teori ekonomi makro, belanja pemerintah mempunyai peran signifikan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui efek pengganda fiskal (fiscal multipliers). Besaran nilai pengganda fiskal bergantung pada porsi kenaikan pendapatan yang dibelanjakan kembali oleh agen ekonomi (marginal propensity to consume/MPC) dan yang disimpan (marginal propensity to save/MPS). Adapun, MPC dan MPS (penjumlahan keduanya= 1) dipengaruhi oleh tingkat suku bunga.
Umumnya, MPC akan naik jika suku bunga turun, dan akan semakin tinggi pula nilai pengganda fiskal. Demikian sebaliknya. Dalam kaitan ini, pemerintah sepertinya ingin memanfaatkan momentum suku bunga rendah Bank Indonesia (BI)—masih pada level terendah, yakni 3,5 persen—yang memungkinkan naiknya MPC dan menghasilkan nilai pengganda fiskal yang lebih besar.
Di sisi lain, sebagaimana kesimpulan studi empirik Dana Moneter Internasional International Monetary Fund (IMF) tahun 2008, negara dengan tingkat impor yang rendah cenderung memiliki nilai pengganda fiskal yang lebih besar. Logikanya sederhana; kebocoran permintaan melalui impor menjadi minimal. Jadi, keinginan Presiden Jokowi agar belanja APBN dioptimalkan untuk membeli produk dalam negeri sangatlah beralasan.
Memanfaatkan efek pengganda fiskal yang didukung suku bunga rendah, peningkatan alokasi belanja APBN untuk produk lokal diyakini akan memberi tambahan pertumbuhan ekonomi yang cukup besar. Presiden mengatakan, jika 40 persen belanja modal pemerintah pusat dan daerah serta badan usaha milik negara (BUMN) digunakan untuk membeli produk dalam negeri, akan terdapat tambahan pertumbuhan ekonomi nasional sekitar 2 persen.
Tantangan distribusi 2 persen
Jika mengacu pada nilai nominal produk domestik bruto (PDB) Indonesia tahun 2021, tambahan 2 persen pertumbuhan ekonomi tersebut setara dengan Rp 340 triliun. Bagi DKI Jakarta, provinsi dengan nilai produk domestik regional bruto (PDRB) tertinggi tahun 2021, angka ini setara 12 persen dari PDRB-nya. Di lain sisi, angka tersebut juga mendekati nilai penjumlahan PDRB enam provinsi terendah tahun 2021 (Gorontalo, Maluku, Sulawesi Barat, Maluku Utara, Bengkulu, dan Papua Barat). Perbandingan ini patut menjadi petunjuk awal bagi pemerintah pusat dalam menilai secara relatif signifikansi dari tambahan pertumbuhan ekonomi tersebut terhadap peningkatan pendapatan masyarakat di berbagai daerah.
Perlu diingat bahwa struktur spasial industri di Indonesia masih sangat terkonsentrasi di Jawa. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa proporsi jumlah industri besar dan sedang di Jawa pada tahun 2019 mencapai 80 persen dari total keseluruhan Indonesia. Tahun 2021, nilai tambah sektor industri di Jawa menguasai 84 persen total nilai tambah industri nasional. Potret sebaran usaha mikro dan kecil pun tak jauh berbeda. Jumlah usaha mikro di Jawa mencakup 61 persen total usaha mikro nasional, sedangkan pangsa jumlah usaha kecilnya mencapai 80 persen.
Postur sebaran industri antarwilayah yang timpang menjadi tantangan dalam mendistribusikan tambahan pertumbuhan ekonomi 2 persen agar tidak memperburuk kesenjangan pendapatan.
Postur sebaran industri antarwilayah yang timpang menjadi tantangan dalam mendistribusikan tambahan pertumbuhan ekonomi 2 persen agar tidak memperburuk kesenjangan pendapatan. Jika proses pengadaan barang dan jasa APBN untuk produk lokal sepenuhnya mengikuti mekanisme pasar (harga termurah, syarat kuantitas, dan sebagainya), besar kemungkinan keperluan di berbagai daerah akan dilayani industri di Pulau Jawa dan hanya menyisakan sedikit ruang bagi industri lokal daerah untuk berpartisipasi.
Kalkulasi sederhana menggunakan asumsi yang linear dengan sebaran industri di atas menunjukkan bahwa 80 persen dari tambahan PDB yang berasal dari alokasi belanja APBN untuk produk lokal akan terkonsentrasi di Jawa. Ini artinya 1,6 persen dari 2 persen tambahan pertumbuhan ekonomi akan terjadi di Jawa.
Dampaknya mudah ditebak: kesenjangan pendapatan antara Jawa dan luar Jawa akan semakin melebar. Sebagai catatan, pada tahun 2000, rasio rerata pendapatan per kapita provinsi di Jawa terhadap rerata provinsi di luar Jawa adalah 0,9. Pada tahun 2019, rasionya menjadi 1,4. Artinya, alih-alih berkurang, kesenjangan pendapatan antara Jawa dan luar Jawa justru semakin lebar selama hampir dua dekade usia desentralisasi.
Mengharapkan terjadinya efek limpahan antarwilayah (spatial spillover) dari Jawa ke luar Jawa juga tidak mudah. Hasil studi yang tengah dilakukan penulis setidaknya memberikan indikasi pendukung, yakni terjadi penurunan keterkaitan pendapatan antarwilayah di Indonesia.
Sebagaimana telah dibahas, dalam jangka pendek, terobosan pemerintah berupa peningkatan alokasi belanja APBN untuk produk lokal diyakini akan menghasilkan tambahan pertumbuhan ekonomi nasional yang cukup signifikan. Namun, dalam jangka panjang, terobosan ini berpotensi memperlebar kesenjangan pendapatan antarwilayah jika sebaran industri masih sangat terkonsentrasi di Jawa.
Karena itu, dalam jangka pendek, perlu disiapkan jurus untuk memastikan agar proses pengadaan barang dan jasa di daerah juga mengusung semangat pemberdayaan industri lokal, termasuk UMKM lokal di setiap daerah. Dalam jangka panjang, pemerintah perlu lebih mempercepat pembangunan industri di luar Jawa, dengan fokus pada bidang infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
Harry Aginta, Peneliti Ekonomi di Bank Indonesia; Mahasiswa Program Doktor di Nagoya University