Puasa, Asketisme, Keadaban Publik
Puasa menyadarkan manusia bahwa dirinya bukan sekadar sebagai ”human doing”, yang sibuk bahkan cenderung gila kerja untuk mengumpulkan harta benda yang banyak dan melimpah, tetapi juga sebagai manusia makhluk spiritual.
Ramadhan, bulan kesembilan dalam kalender Hijriah, disambut antusias oleh umat Islam. Bulan Ramadhan adalah bulan yang dipenuhi keberkahan, rahmat, dan ampunan (magfirah).
Ali bin Abi Thalib yang mendengarkan uraian keutamaan bulan Ramadhan yang disampaikan Nabi bertanya tentang amal yang paling utama pada bulan Ramadhan. Jawab Nabi, sebagaimana diceritakan dalam Minhaj al-Balaghah, ”Amal yang paling utama di bulan ini adalah menjaga diri dari apa yang diharamkan Allah.”
Selama satu bulan, umat Islam melaksanakan puasa pada siang hari. Kira-kira dalam rentang waktu 13-14 jam, dimulai dari subuh hingga magrib, umat Islam berpantang—karena dilarang atau diharamkan—dari makan, minum, dan berhubungan badan bagi pasangan suami istri.
Perintah wajib berpuasa pada bulan Ramadhan terjadi pada tahun kedua setelah Nabi hijrah ke Madinah. Sebelum puasa Ramadhan diwajibkan, Nabi biasanya berpuasa selama tiga hari secara berturut-turut setiap tanggal 13, 14, dan 15 pada bulan-bulan Qamariyah. Nabi juga berpuasa tiap tanggal 10 Muharam, yang dikenal juga sebagai hari Asyura.
Kalangan ulama berpandangan sama bahwa puasa merupakan tradisi perenial agama-agama berdasarkan tafsir surat Al-Baqarah Ayat 183, yang juga menjadi dasar kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan bagi umat Islam. Hamka dalam Tafsir al-Azhar, misalnya, menegaskan, ”Peraturan puasa bukanlah peraturan yang baru diperbuat setelah Nabi Muhammad SAW diutus saja, melainkan sudah diperintahkan kepada umat-umat terdahulu.”
Salah satu kandungan moral puasa adalah asketisme.
Setelah mengatakan demikian, Hamka, masih dalam Tafsir al-Azhar, menceritakan pengalaman Nabi Musa yang berpuasa selama 40 hari; puasa kaum Yahudi pada waktu tertentu; dan puasa yang dilakukan kaum Nasrani, seperti Puasa Besar, sebelum hari Paskah.
Menariknya lagi, Hamka mengutip pernyataan Nabi Isa sebagaimana juga terdapat dalam Perjanjian Baru, ”Ketika kamu berpuasa, janganlah menunjukkan muka yang sedih atau menggosok mukamu dengan lumpur, seperti yang dilakukan orang-orang yang hanya berpura-pura sebagai orang baik. Mereka yang melakukan hal seperti itu hanya mau pamer diri bahwa mereka sedang berpuasa.” Ajaran Nabi Isa tentang puasa ini, menurut Wahbah az-Zuhaili, penulis Tafsir al-Munir, sama dengan larangan riya (pamer ibadah) di Islam.
Baca juga: Puasa, Mosaik Spiritualitas Luhur
Asketisme
Salah satu kandungan moral puasa adalah asketisme. Dalam Islam disebut dengan zuhud. Asketisme atau zuhud tidak identik dengan kemiskinan. Kemiskinan justru dipandang oleh agama sebagai kondisi yang harus dihindari karena bisa mendorong pada tindakan, yang tidak hanya merugikan dirinya, tetapi juga terhadap orang lain dan lingkungan di sekitarnya.
Zuhud bersepadan dengan ugahari yang berarti sederhana dan bersahaja, atau sak madyo dalam ungkapan Jawa. Ada proses yang panjang dan menantang untuk sampai ke tahapan asketis atau zahid (orang yang melaksanakan praktik zuhud). Karena itu, tidak mudah pula mencari orang sebagai contoh eksemplar yang kepadanya setidaknya belajar zuhud. Lebih-lebih pada era yang kian pragmatis, materialistis, dan hedonis.
Belakangan, khalayak dikagetkan dengan gaya hidup kalangan yang mendadak superkaya, terkadang disebut crazy rich atau orang kaya gila, yang gemar melakukan flexing, memamerkan atau mempertontonkan kekayaan di media sosial. Hasrat untuk memiliki (to have) sesuatu dalam wujud material sebenarnya hal yang lazim dan manusiawi termasuk dalam pandangan agama. Islam bahkan menyebutnya sebagai watak alamiah manusia (state of nature) atau fitrah sebagaimana antara lain dikemukakan dalam surat Al-Imran Ayat 14.
Namun, diingatkan juga oleh Al Quran dalam surat Al-Hadid Ayat 120 akan kecenderungan manusia yang suka memperbanyak harta kekayaan (takatsur) dan membanggakannya (tafahur) di hadapan khalayak. Kaya, terkenal, dan menjadi pemengaruh, apalagi selagi muda, lalu menjadi cara mengada (mode of existence).
Bagaimana menekan hasrat berlebihan itu? Serangkaian perintah ibadah dalam agama, seperti puasa, menurut Ziauddin Sardar, seorang futurolog Muslim, bermakna sebagai barisan spiritual (a spiritual cardon) yang menjaga individu dan masyarakat agar tetap berperilaku secara berkeadaban. Secara harfiah, puasa memiliki arti menahan diri. Dalam sehari, kurang lebih selama 13-14 jam, dilatih berpantang dari makanan, minuman, dan hubungan biologis dengan suami atau istri.
Tiga hal yang harus dihindari selama melaksanakan puasa, itu merupakan aktivitas paling elementer semua makhluk hidup.
Tiga hal yang harus dihindari selama melaksanakan puasa, itu merupakan aktivitas paling elementer semua makhluk hidup. Namun, dalam kehidupan manusia, pemenuhan dan pencapaian terhadap tiga hal itu cenderung berlebihan dan melampaui batas, tidak cukup sekadar untuk memenuhi kebutuhan, tetapi bahkan memanjakan keinginan yang cenderung tidak terbatas.
Hasrat itulah yang menggerus spiritualitas manusia yang berakibat pada munculnya keinginan memperkaya diri dan orang-orang di sekitarnya melalui cara yang tidak berkeadaban. Maka, puasa merupakan momen memutus untuk sementara waktu dengan kesibukan duniawi (relaxing); melepaskan diri dari pikiran-pikiran negatif (releasing); dan mengingat kembali spiritualitas manusia (remembering); yang pada gilirannya manusia kembali kepada kualitas diri yang otentik; diri yang spiritual; diri yang suci (returning).
Puasa dengan demikian menyadarkan manusia bahwa dirinya bukan sekadar sebagai human doing, yang sibuk bahkan cenderung gila kerja (workalholic) untuk mengumpulkan harta benda yang banyak dan melimpah (human having), tetapi juga sebagai manusia makhluk spiritual yang akan mencari kebermaknaan hidup melalui ketundukan secara vertikal dengan Tuhan, dan berbagi dengan sesama.
Hasrat itulah yang menggerus spiritualitas manusia yang berakibat pada munculnya keinginan memperkaya diri dan orang-orang di sekitarnya melalui cara yang tidak berkeadaban.
Keadaban publik
Pada suatu bangunan, rumah misalnya, yang memberikan perlindungan dari terpaan angin dan hujan, serta menjadikan rumah terlihat lebih indah, agama juga demikian.
Sebagai kanopi, agama dapat memproteksi pemeluknya dari unsur-unsur negatif, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar. Agama juga dapat memberikan efek keindahan jika doktrin dan serangkaian ibadah di dalamnya dipahami secara benar dan dilaksanakan secara konsisten. Efek keindahan agama terlihat pada perilaku berkeadaban pemeluknya. Dalam Islam, perilaku berkeadaban merupakan perwujudan dari konsep ihsan. Ihsan mengandung pengertian berbuat baik yang kontras dengan fasad, berbuat kerusakan, sebagaimana ternyatakan dalam surat Al-Qashash Ayat 77: ”Dan, berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.”
Penjelasan ihsan yang dikaitkan dengan praktik keadaban merupakan elaborasi dari makna esoterisnya, yakni kesungguhan beribadah karena seakan-akan melihat Tuhan. Tentu manusia tak akan melihat-Nya. Namun, Tuhan selalu melihat manusia. Ihsan akan memperkuat keyakinan dan kesadaran manusia bahwa dirinya selalu berada dalam pengawasan Tuhan. Kesadaran spiritual-ilahiah semacam inilah yang akan mengondisikan manusia untuk selalu berperilaku secara berkedaban.
Elaborasi dan aktualisasi ihsan dalam wujud perilaku berkeadaban dalam kehidupan publik, menurut Husein Muhammad, seorang kiai progresif, dalam Islam: Cinta, Keindahan, Pencerahan, dan Kemanusiaan (2021), meliputi kejujuran, ketulusan, kesederhanaan, kesabaran, kedermawanan, menjaga kehormatan diri, menjaga kepercayaan, menghargai orang lain, tidak mencaci maki atau merendahkan, tidak melakukan penyelewengan terhadap hak orang lain, tidak kikir, tidak menipu, tidak berkhianat, tidak merusak alam.
Dimensi konsekuensi memberikan pemahaman tentang implikasi agama terhadap perilaku individual dan sosial dalam kehidupan yang nyata.
Ihsan, jika dipahami dari perspektif sosiologi, merupakan dimensi konsekuensial (consequence dimension), salah satu dimensi penting dalam agama selain dimensi keyakinan, pengetahuan, peribadatan, dan pengalaman. Dimensi konsekuensi memberikan pemahaman tentang implikasi agama terhadap perilaku individual dan sosial dalam kehidupan yang nyata. Jika menggunakan cara berpikir Weberian, dapat dirumuskan pertanyaan sebagai berikut: apakah terdapat hubungan elektif (elective affinity) antara agama dengan perilaku individual dan sosial pemeluknya, terutama pada pembentukan perilaku berkeadaban yang berdampak terhadap keadaban publik?
Jawabannya sangat tergantung pada cara memahami dan menghayati ajaran agama. Dengan pesan moral yang terkandung di dalamnya, puasa sebagai bagian dari ajaran agama diharapkan berimplikasi terhadap keadaban publik. Puasa dengan implikasi yang kuat pada dimensi konsekuensial adalah puasa sebagaimana tuntunan Nabi, lebih dari sekadar berpantang dari makan, minum, dan berhubungan badan bagi pasangan suami istri, melainkan juga sebagai aktivitas rohani yang akan membawa pelakunya pada jati dirinya yang suci.
Syamsul Arifin, Guru Besar Sosiologi Agama dan Wakil Rektor I Universitas Muhammadiyah Malang