Hutan menjadi muara kenihilan bunyi. Tak ada tafsir, tak ada konsep, tak ada penataan, ia alami. Bukan berarti tak berbunyi, melainkan memasrahkan diri untuk ditata oleh kehendak-Nya. Manusia agaknya mengadaptasi itu.
Oleh
SUPRIYADI
·4 menit baca
Hutan (di Jawa disebut wana atau alas) agaknya begitu karib dengan manusia Jawa. Sering kali sebuah daerah disemati dengan nama hutan: Wonogiri, Wonosari, Wonosobo, Randualas, dan lain sebagainya. Hijau, belantara, rimbun, satwa liar, terkadang tersurat mitos-mitos di dalamnya. Dalam pewayangan, lakon-lakon yang berkelindan ihwal hutan banyak ditemui. Misalnya, Alas (hutan) Dandaka yang melatari kisah Rama dan Shinta dalam Kitab Ramayana. Alas Wanamarta yang melatari kisah Pandawa dalam Kitab Mahabharata.
Di Jawa, serat-serat yang menyuratkan ihwal hutan juga ditemui. Misalnya Serat Tjemporet yang digubah oleh Ranggawarsita. Mengisahkan Dewi Suretna yang ditolong oleh hewan di hutan. Kemudian, Serat Dewa Ruci yang digubah oleh Yasadipura I. Secara eksplisit, hutan terlibat dalam lakon-lakon yang ada di Jawa. Tidak hanya itu, secara kultural, hutan juga menduduki posisi krusial.
Laku
Secara kultural, hutan bukan sekadar pepohonan yang asri, belantara, dan berbahaya. Hutan menjadi sebuah wahana bagi masyarakat Jawa untuk menempuh gerbang transendental. Tempat yang sunyi dan jauh dari kebisingan duniawi mengukuhkan hutan menjadi cawan ideal untuk mengheningkan diri, tirakat, dan bertapa. Kisah-kisah raja-raja dahulu senantiasa menjadikan hutan sebagai muara laku spiritual.
Dari kisah Airlangga misalnya. Sebelum naik takhta, Airlangga melarikan diri ke hutan. Menghilang dari kegaduhan kerajaan, menepi dari ingar bingar perseteruan atas penolakan yang diterimanya. Di hutan ia menyepi, mengheningkan diri, memohon wahyu ilahiah untuk mempertebal tumpuannya. Alhasil, ia mampu bertakhta dengan kemasyhurannya.
Kemudian, kisah tentang Patih Gadjah Mada. Seusai Perang Bubat (1357 M), Gadjah Mada mengundurkan diri. Ia memilih menyepi, menghilang dari sorak-sorai kekuasaan. Menghabiskan sisa hidup untuk moksa di hutan. Peristiwa menyepi dan bertapa adalah hal yang privat, wingit, dan gelap (tidak diketahui oleh orang lain). Perihal ini, terkaan atas peristiwa ini didasarkan pada pengalaman empirik.
Moksa menjadi sebuah tujuan dalam kepercayaan Jawa (manunggaling kawulo Gusti). Menyepi menjadi salah satu katalisatornya. Hening, kontemplatif, mencerap laku hidup yang telah dilalui kiranya menjadi aktivitas menyepi. Terkadang, derai tangis mengalir tanpa disadari. Kepasrahan akan diri terhadap Sang Esa adalah laku untuk menuntaskan hal ini. Kiranya, situasi inilah yang tercoretkan ketika menyepi dilakoni.
Di desa-desa, peristiwa serupa masih kerap dijumpai. Meskipun, di desa-desa banyak sekali tempat yang sepi, primadona untuk menunaikan lakunya tetaplah di hutan. Hutan menghadirkan kenyamanan tersendiri. Hutan menyuratkan cerita kultural tersendiri. Hutan menjadi ruang yang mengerti dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Denyut jantung, bunyi napas, bahkan kedipan mata acap kali terdengar. Keriuhan dan kebisingan tentu menjadi pantangan. Namun, hutan kerap dipandang lain. Hutan mewujud menjadi sebuah tempat yang angker, wingit, dan tidak lepas dari hal-hal ”klenik”. Tidak segan orang-orang menjauhinya, bahkan tidak mau menyentuhnya.
Hutan menghadirkan kenyamanan tersendiri. Hutan menyuratkan cerita kultural tersendiri.
Lihat saja cerita Alas Roban yang kerap dilekati dengan adanya lelembut. Ataupun hutan lain seperti Alas Purwo juga Alas Baluran. Padahal, secara historis, kisah-kisah ihwal keagungan hutan telah didengungkan. Namun, sekira pembabatan hutan untuk perihal keuntungan, cerita-cerita itu menjadi sirna. Wingit, angker, dan juga ”klenik” menjadi sebuah cerita tak bermakna. Ironi kiranya.
Bunyi
Hutan agaknya memberikan atmosfer ketenangan dan kenyamanan. Penyingkiran akan keriuhan sering kali memuarakan sesorang ke hutan. Laku-laku spiritual dan keidentikan dengan keilahian kiranya mempertebal peristiwa ini. Tidak hanya urusan transendental, tetapi juga imanen. Mengintrospeksi dan meretrospeksi diri juga lekat pada kisah-kisah yang tersurat. Keidealan hutan untuk menunaikan laku-laku ini barangkali terpaut akan atmosfer yang dilontarkan hutan.
Kicau burung, desiran angin, gemercik air, gesekan batang pohon kiranya menjadi pergelaran bunyi yang berkumandang dalam hutan. Bunyi-bunyi ini kiranya jarang kita temui kiwari, apalagi bagi masyarakat urban. Kepengapan, kejenuhan, kejengahan menjadi hal yang sering dihadapi.
Soundscape hutan menjadi salah satu antitesis yang mampu menyingkapnya. Soundscape ini menjadi pemandu untuk memercikkan atmosfer ketenteraman dalam diri. Hutan menawarkan sebuah ruang untuk menyatukan kohesi diri yang renggang atas kepengapan itu. Tak khayal jika hutan menjadi entitas yang dirindukan.
Secara musikal, soundscape alam laiknya hutan memang menjadi penuntun manusia menuju kesejahteraan mental. Bahkan, Rachel, dkk (2021) mengejawantahkan soundscape alam memberikan sebuah pertanda keselamatan atau dunia yang teratur tanpa bahaya. Hal ini memungkinkan manusia mampu mengontrol keadaan pikirannya.
Komposisi bunyi yang dihadirkan hutan ialah alami, otentik, dan orisinal. Tidak ada peranan manusia yang menyentuhnya.
Menarik kiranya, di tengah bangkrutnya ekologi hutan, di tengah terdegradasinya soundscape alam kiwari, soundscape alam justru menunjukkan kewibawaannya terhadap manusia. Komposisi bunyi yang dihadirkan hutan ialah alami, otentik, dan orisinal. Tidak ada peranan manusia yang menyentuhnya. Manusia hanya mampu berada dalam kuasa menikmati estetikanya.
Keotentikan bunyi ini kiranya melebur ke dalam peran hutan yang difungsikan manusia sebagai muara meditasi, tapa, ataupun brata pada kisah-kisah lampau. Kealamian bunyi mengejawantahkan kepasrahan hutan kepada Sang Esa. Pun untuk manusia. Ia berpasrah pada Sang Esa dalam laku yang dilakoninya. Dari keriuhan menuju kekosongan. Hutan mampu bekerja sama untuk menuntaskannya.
Hutan menjadi muara kenihilan bunyi. Tidak ada tafsir, tidak ada konsep, tidak ada penataan, ia alami. Bukan berarti tidak berbunyi, melainkan memasrahkan diri untuk ditata oleh kehendak-Nya. Manusia agaknya mengadaptasi itu. Syahdan, bunyi kekosongan hutan menjadi bertaut dengan laku-laku yang ditunaikan manusia. Hutan memegang peranan krusial. Pelestarian hutan tidak saja menopang kehidupan material, tetapi juga spiritual.