Jenama Lokal yang Otentik
Para pemilik merek harus paham bahwa konsumen saat ini secara aktif mencari sisi otentik dari jenama dalam bentuk yang paling dasar, yakni konsistensi dan kejujuran. Menjadi otentik adalah kewajiban bagi setiap jenama.
”The consumer is not a moron. She is your wife.” (David Ogilvy)
Sebulan terakhir, kegaduhan terjadi di dunia maya seputar kehadiran beberapa jenama lokal Indonesia di rangkaian perhelatan Paris Fashion Week pada 28 Februari hingga 8 Maret 2022. Publik terbelah. Sebagian mendukung, tetapi banyak pihak yang mengecam karena terbukti bahwa hanya dua jenama lokal yang diundang secara resmi ke pergelaran yang diselenggarakan oleh Fédération de la Haute Couture et de la Mode (FHCM) tersebut.
Sebagaimana diketahui, Paris merupakan jenama dan sekaligus (ibu) kota fesyen dunia dan acara Paris Fashion Week selalu menjadi magnet bagi penikmat mode dan jenama-jenama di seluruh penjuru dunia termasuk Indonesia.
Wajar apabila kemudian banyak jenama lokal berupaya mengasosiasikan dirinya dengan gelaran fesyen di Kota Paris tersebut. Mereka berupaya agar nilai-nilai (values) dan warisan (heritage) kota Paris sebagai pusat mode dunia dapat ditransfer ke produknya untuk meningkatkan keinginan membeli masyarakat di Tanah Air.
Baca juga: Gaung Sumbang dari Paris
Berbagai jenama tentu saja bebas untuk mengklaim kehadirannya di acara tingkat dunia tersebut. Dengan merekrut key-opinion leader, narasi tentang keikutsertaan merek di pentas dunia terbukti manjur dan viral.
Namun, pada akhirnya, publiklah yang akan melakukan verifikasi apakah klaim jenama tersebut otentik atau tidak. Jenama tidak lagi bebas melakukan manipulasi. Philip Kotler dalam buku Marketing 5.0: Technology for Humanity (2021) menegaskan bahwa kehadiran internet membuat publik semakin mudah memonitor aspek-aspek etis dari sebuah bisnis.
Keotentikan sebuah jenama pada hakikatnya adalah hasil interaksi antara entitas bisnis, para pemangku kepentingan, dan publik. Peran publik semakin penting—tidak lagi pasif sebagai obyek kepada siapa barang/jasa dijual, tetapi sebagai subyek aktif yang turut mencipta (co-creating) sebuah jenama.
Konsumen di era pascapandemi
Ada beberapa hal yang menarik dalam laporan Google bertajuk ”The Psychology of Consumer Behavior”(2021). Pertama, konsumen di berapa negara di Asia Tenggara cenderung untuk mendukung brand lokal di era pascapandemi. Di Indonesia, dukungan konsumen terhadap jenama lokal pun terus menguat meski masih berada di belakang negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.
Kedua, laporan tersebut lebih jauh memaparkan bahwa dukungan terhadap jenama lokal tersebut tetaplah didasari rasionalitas serta dilakukan dengan mengonsumsi konten daring (online).
Kecintaan terhadap jenama lokal bukanlah emosional yang buta, melainkan tetap melalui pertimbangan rasional dari konsumen (eksisting dan potensial).
Artinya, kecintaan terhadap jenama lokal bukanlah emosional yang buta, melainkan tetap melalui pertimbangan rasional dari konsumen (eksisting dan potensial). Para pemilik merek harus paham bahwa konsumen saat ini secara aktif mencari sisi otentik dari jenama dalam bentuk yang paling dasar, yakni konsistensi dan kejujuran.
Otentik tidaknya sebuah jenama dapat segera diketahui publik: apakah klaim yang disampaikan oleh entitas bisnis mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Jenama cukup untuk menjadi dirinya sendiri yang sejati di hadapan konsumen—tidak perlu overclaim atau underclaim.
Baca juga: ”Cuan” Manis dari Paris
Menjadi otentik
Kajian tentang nilai otentik berawal dari bidang seni budaya (termasuk fesyen) yang menghasilkan karya artisan serta dilakukan dengan proses kurasi yang ketat. Kemudian, topik tersebut diadopsi oleh ilmu pemasaran di awal tahun 2000 hingga kini konsep otentisitas jenama atau brand authenticity menjadi topik penelitian ilmiah yang sangat berkembang hingga saat ini.
Tidak mudah menjadi jenama yang otentik. Pertama, kualitas (quality) dari sebuah jenama yang menjadikannya tak tergantikan oleh jenama lain. Kedua, jenama harus konsisten (consistency) dari waktu ke waktu. Ketiga, jenama harus bersikap jujur (being honest) terhadap diri sendiri dan publik.
Jenama yang otentik dapat membuktikan kepada konsumen bahwa eksistensinya memiliki kredensial serta menjaga janji atau brand promise-nya yang dilakukan dengan komitmen dan kesabaran yang diuji oleh waktu yang cukup panjang. Menjadi otentik adalah kewajiban bagi setiap jenama saat ini apabila ingin bertahan.
Jika dikelola dengan baik, otentisitas sebuah jenama akan menjadi rute alternatif yang menjanjikan untuk meningkatkan keinginan membeli dari konsumen. Sebaliknya, mengabaikan otentisitas jenama akan berakibat pada tergerusnya eksistensi brand itu sendiri di mata konsumen.
Diperlukan upaya yang serius dari sejumlah pihak untuk mendorong jenama-jenama lokal yang otentik. Pemerintah melalui beberapa kementerian/lembaga telah memberikan perhatian besar bagi kemajuan jenama lokal. Presiden Joko Widodo meresmikan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI) pada 14 Mei 2020 untuk mendorong masyarakat membeli produk-produk buatan UMKM dan ultra mikro lokal demi keberlangsungan selama pandemi Covid-19.
Baca juga: Presiden Ancam Sanksi Instansi Pemerintah yang Lebih Suka Barang Impor
Sebagai komitmen lanjutan, Presiden Joko Widodo kembali memberikan pengarahan dalam Aksi Afirmasi Gernas BBI pada 25 Maret 2022 di Nusa Dua, Bali, yang harus dilihat sebagai momentum kebangkitan jenama lokal yang otentik. Dalam kesempatan tersebut, Presiden meminta seluruh anggota Kabinet Indonesia Maju, kepala lembaga, gubernur/wali kota/bupati, serta direksi BUMN untuk membeli produk-produk lokal.
Menjelang ulang tahun yang kedua dari Gernas BBI, pemerintah perlu membuat kluster-kluster pendampingan jenama lokal sehingga nanti akan memberikan manfaat yang optimal bagi jenama lokal, mulai dari kluster pendampingan usaha, kluster pengelolaan keuangan UMKM, kluster onboarding ekosistem digital, kluster business matching, hingga kluster manajemen merek/jenama dan kluster kurasi produk lokal. Setiap komponen dari tim Gernas BBI harus mengambil peran yang strategis untuk mengembangkan fokus klusternya.
Memelihara pasar
Aktivitas pemasaran (marketing) untuk mendongkrak jenama harus dilakukan secara strategis dan transparan serta bertanggung jawab sehingga memberikan hasil yang positif. Sebab, esensi dari sebuah merek adalah memenuhi promise/janji yang dilontarkan, tidak sekadar klaim yang dikemas apik.
Larry Weber dalam buku Authentic Marketing (2019) menyerukan pentingnya bagi jenama untuk bergerak dari sekadar story telling ke story doing untuk memenangi hati konsumen.
Saatnya jenama lokal untuk bebenah membangun otentisitasnya. Bangsa Indonesia tentu bangga apabila nanti banyak jenama lokal go international.
Lihat juga: Anak Muda Merintis Jenama Lokal
Namun, sebelum mengarah ke sana, alangkah baiknya apabila jenama-jenala lokal kita mampu menemukan nilai otentiknya di hati konsumen dalam negeri terlebih dahulu sehingga jenama-jenama lokal Indonesia akan menjadi tuan di negeri sendiri.
Pada akhirnya, sebagaimana dikatakan oleh Philip Kotler, jenama-jenama harus mengembangkan serta memelihara ekosistem pasar di mana mereka berkompetisi—tidak semata-mata mengeksploitasinya untuk profit.
Bachrul Sitanggang, Praktisi Brand Management dan Peminat Komunikasi Pemasaran; Master dalam Ilmu Advertising & Marketing dari Leeds University Business School (LUBS), Inggris