Setidaknya ada tiga sumber risiko baru akibat dinamika global yang bisa memicu instabilitas sistem keuangan, yaitu risiko siber, risiko aset kripto, dan risiko iklim. Otoritas keuangan perlu menyiapkan strategi mitigasi.
Oleh
ARDHIENUS
·5 menit baca
Dinamika global yang terus bergulir menciptakan berbagai ketidakpastian. Kondisi ini bisa berimbas pada stabilitas sistem keuangan. Karena itu, upaya menjaga sistem keuangan tetap stabil menjadi kian menantang.
Setidaknya ada tiga sumber risiko baru akibat dinamika global yang dapat memicu instabilitas sistem keuangan. Pertama, risiko siber. Kemunculan risiko siber ini tak lepas dari maraknya digitalisasi di berbagai sektor, terutama industri perbankan. Terjadi fenomena bank berlomba-lomba mendigitalkan layanan perbankannya. Bahkan beberapa bank menyatakan diri bertransformasi menjadi bank digital. Alhasil, nilai transaksi keuangan digital melesat.
Menurut data Bank Indonesia, pada Februari 2022 nilai transaksi uang elektronik tumbuh 41,35 persen (YOY) mencapai Rp 27,1 triliun dan transaksi digitalbanking meningkat 46,53 persen (YOY) menjadi Rp 3.732,8 triliun. Dengan demikian, sepanjang 2022 transaksi uang elektronik mencapai Rp 61,7 triliun dan digital banking Rp 8.047 triliun.
Nilai transaksi keuangan digital yang terus menggunung itu membuat perbankan jadi incaran para kriminal siber.
BI sendiri memproyeksikan transaksi uang elektronik meningkat 17,13 persen (YOY) hingga mencapai Rp 357,7 triliun di 2022 dan transaksi digital banking diproyeksikan tumbuh 24,83 persen (YOY) mencapai Rp 49.733,8 triliun. Nilai transaksi keuangan digital yang terus menggunung itu membuat perbankan jadi incaran para kriminal siber.
Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dalam Laporan Profil Risiko Sektor Perbankan Tahun 2020 menyebutkan, sektor perbankan merupakan sektor yang paling sering terkena serangan siber sehingga mengakibatkan kerugian, baik bagi industri perbankan maupun nasabah. Insiden siber perbankan lebih sering menyasar aplikasi yang digunakan nasabah, seperti internet dan mobile banking.
Kedua, risiko aset kripto. Selain transaksi keuangan digital, digitalisasi juga melahirkan aset digital berbasis kriptografi (aset kripto). Aset ini kian populer di kalangan investor dan sangat pesat pertumbuhannya. Berdasarkan data Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kemendag, jumlah investor aset kripto mencapai 11 juta orang selama 2021, naik 120 persen dari tahun 2020 yang baru 5 juta investor.
Jumlah investor aset kripto bahkan jauh melampaui investor pasar modal yang 7,86 juta per akhir Januari 2022. Begitu pula transaksi perdagangan aset kripto yang mencapai Rp 859 triliun pada 2021, melonjak signifikan dibandingkan pada 2020 yang sekitar Rp 65 triliun.
Tak pelak lagi, harga aset kripto terus naik dan cenderung bubble. Aset kripto sebenarnya investasi yang tak memiliki aset dasar. Keramaian di pasar aset kripto lebih ditentukan permintaan dan penawaran, serta cenderung spekulatif dan ponzi dengan harapan mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi. Harga aset kripto sangat fluktuatif dan dapat menurun dengan sangat tajam sehingga dapat merugikan investor.
Fenomena ini sesungguhnya juga terjadi di tingkal global. Asesmen Financial Stability Board (FSB) 16 Februari 2022 menyodorkan fakta bahwa pasar aset kripto global telah berkembang sangat pesat dan dapat mencapai batasan tertentu yang membawa ancaman terhadap stabilitas keuangan global karena skalanya, kerentanan struktural, dan meningkatnya keterkaitan dengan sistem keuangan tradisional. Hal yang patut diwaspadai, ternyata industri perbankan dan pemain pasar besar sudah mulai meningkatkan eksposur mereka terhadap aset kripto akibat tingginya permintaan nasabah. Gejala ini mirip sebelum terjadinya krisis subprime mortgage 2008/2009.
Ketiga, risiko iklim. Kemunculan risiko iklim terkait erat dengan perubahan iklim yang dipicu ulah manusia dalam mengelola alam yang kerap kali eksploitatif dengan mengatasnamakan pembangunan.
Dampak dari perubahan iklim tidak hanya mengancam keselamatan jiwa manusia, tetapi juga stabilitas sistem keuangan. Sebuah artikel The Financial Times bertajuk ”Threat from Climate Change to Financial Stability Bigger than Covid-19” (7/6/2020) menyebutkan, perubahan iklim menimbulkan ancaman yang lebih besar bagi stabilitas sistem keuangan daripada pandemi Covid-19 dan pengetatan aturan penyaluran kredit kepada sektor energi fosil.
Jalur gangguan pada stabilitas sistem keuangan akibat perubahan iklim melalui risiko fisik dan transisi. Risiko fisik berkaitan dengan kerusakan aset fisik akibat bencana alam. Biasanya kerusakan akibat bencana alam bersifat massal. Artinya, dalam satu wilayah yang terdampak akan banyak usaha debitor terhenti. Imbasnya, perbankan terpapar risiko kredit.
Hal yang patut diwaspadai, ternyata industri perbankan dan pemain pasar besar sudah mulai meningkatkan eksposur mereka terhadap aset kripto akibat tingginya permintaan nasabah.
Sementara risiko transisi merupakan risiko yang muncul akibat adanya transisi kebijakan ke kerangka kebijakan yang mengurangi emisi. Misalnya, ada keputusan pemerintah untuk menggantikan energi fosil ke energi terbarukan. Keputusan itu menimbulkan implikasi finansial, mulai dari ditutupnya kegiatan pertambangan, pabrik pengolahan hasil tambang, hingga terhentinya aktivitas ekonomi penunjang yang terkait pertambangan itu. Potensi gagal bayar kembali muncul.
Mitigasi risiko
Pada akhirnya ketiga risiko itu membuat perbankan kian terekspos risiko kredit, risiko pasar, dan risiko likuiditas.
Karena itu, sumber risiko itu perlu dimitigasi. Dalam menangani risiko siber, mutlak diperlukan sinergi antara BSSN, otoritas keuangan, perbankan, dan nasabah bank dengan berbagi peran. BSSN harus memimpin dalam menguatkan Indonesia dari serangan siber.
BSSN harus memimpin dalam menguatkan Indonesia dari serangan siber.
Otoritas keuangan menyiapkan berbagai peraturan dan pedoman, termasuk mendorong perbankan memiliki manajemen risiko siber yang andal. Adapun nasabah bank wajib meningkatkan literasi digital. Sebab, terkadang pintu masuk serangan siber justru berasal dari kelalaian nasabah.
Untuk memitigasi risiko aset kripto, perbankan mesti dilarang menanamkan dana dari masyarakat di aset kripto atau memberikan fasilitas kredit untuk membiayai nasabah bank bertransaksi di aset kripto. Hal ini sama halnya dengan penerapan larangan untuk tak berinvestasi di pasar saham atau memberikan kredit yang ditujukan untuk trading di pasar saham. Larangan ini akan membuat perbankan imun dari gejolak pasar aset kripto.
Sementara untuk risiko iklim, perbankan perlu memasukkan risiko perubahan iklim dalam strategi bisnis dan kerangka kerja manajemen risiko mereka. Perbankan juga terus didorong untuk mendukung ekonomi hijau melalui penyaluran kredit hijau. Sebagai langkah pamungkas, perbankan tetap diminta untuk menyediakan bantalan dalam bentuk modal dan likuiditas agar lebih resiliens menghadapi dinamika global sehingga kestabilan sistem keuangan terus terjaga.
Ardhienus,Analis Senior di Departemen Surveilans Sistem Keuangan Bank Indonesia.