Bagian tersulit dari transisi energi, yaitu mengubah cara pandang (mindset). Gelombang permintaan atas energi terbarukan perlu terus didorong oleh kebijakan yang menarik, yang mengarah pada langkah dekarbonisasi.
Oleh
MAXENSIUS TRI SAMBODO
·4 menit baca
Dalam pidato kunci di S20 High Level Policy Webinar on Just Energy Transition, Presiden Joko Widodo menyebut tiga tantangan besar transisi energi, yaitu akses energi bersih, kebutuhan pendanaan, serta dukungan riset dan teknologi (Kompas, 17/3/2022).
Tulisan ini menekankan proses transisi energi juga perlu dilakukan secara bertahap dan konsisten pada perbaikan lingkungan kebijakan dan birokrasi, serta refocusing anggaran subsidi energi.
Bertahap dan optimalisasi
Sektor energi akan menjadi penyumbang terbesar emisi karbon di Indonesia dan upaya untuk mendekarbonisasi di sektor energi bukanlah hal mudah, terlebih di sektor kelistrikan yang sudah sangat bergantung pada batubara. Peningkatan nilai ekonomi dan kualitas pemanfaatan batubara perlu jadi prioritas.
Data PLN 2021 memperlihatkan energi listrik yang diproduksi dari batubara sudah mencapai 75 persen dari total energi listrik yang diproduksi. Padahal, pada 2014, angkanya baru sekitar 51 persen. Intensitas penggunaan batubara yang meningkat juga telah mengganggu kesehatan warga masyarakat akibat pencemaran abu batubara.
Data PLN 2021 memperlihatkan energi listrik yang diproduksi dari batubara sudah mencapai 75 persen dari total energi listrik yang diproduksi.
Namun, di sisi lain, pemanfaatan energi batubara telah memberikan manfaat, misalnya mendorong peningkatan rasio elektrifikasi, konsumsi listrik yang terus meningkat, kondisi keandalan pasokan yang semakin baik, harga listrik yang lebih stabil dan berguna mengurangi beban subsidi listrik, dan sebagai sumber penerimaan negara.
Sisi negatif dari pemanfaatan energi batubara perlu dicarikan solusinya. Tampak upaya pemerintah untuk mengurangi penggunaan energi batubara di masa depan.
Umpamanya, kecepatan kenaikan produksi listrik dari batubara mulai berkurang. Pada periode 2021-2030, RI masih akan membangun pembangkit batubara baru, tetapi proporsinya diperkirakan 34 persen dari total tambahan kapasitas. Hal ini berbeda dengan kondisi pada 2000-2020, di mana tambahan kapasitas terpasang batubara sekitar 73 persen.
Pemerintah juga berupaya meningkatkan nilai ekonomi dan mengurangi emisi karbon dari energi batubara, misalnya lewat gasifikasi batubara, pencairan batubara, dan peningkatan mutu kalori batubara.
Thomas dkk (2022) menyatakan, transisi energi bukanlah hal mudah karena dua alasan. Pertama, energi fosil telah memberikan ekspektasi optimistis dalam menciptakan aktivitas ekonomi dan kesejahteraan. Kedua, pembangunan rendah karbon akan berhasil jika industri hijau dapat menciptakan banyak pekerjaan baru dan membantu merevitalisasi kondisi ekonomi.
Peran batubara yang penting dalam menjaga ketahanan energi dan pendapatan negara membuat pentingnya langkah bertahap untuk mengurangi ketergantungan akan batubara. Turunnya peran batubara perlu diimbangi dengan akselerasi transisi ke energi baru terbarukan (EBT) yang kian cepat. Paling tidak target bauran EBT sebesar 23 persen di 2025 dapat segera terwujud.
Karena itu, dukungan sektor swasta jadi penting dalam hal ini. Kementerian Keuangan siap memberikan insentif fiskal, seperti tax holiday, tax allowance, pembebasan bea masuk impor, pengurangan Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penghasilan Ditanggung Pemerintah, dan pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan.
Pemerintah juga perlu secara total mengubah proses perizinan atau birokrasi EBT yang sangat kompleks dan butuh waktu panjang.
Meski demikian, insentif saja belum cukup. Pemerintah juga perlu secara total mengubah proses perizinan atau birokrasi EBT yang sangat kompleks dan butuh waktu panjang. Ini sejalan dengan studi Sambodo dkk (2018) yang memperlihatkan tata kelola jadi penghambat utama untuk proses transisi energi. Misalnya saja pembangunan pembangkit listrik tenaga air Sulawesi Tengah, membutuhkan waktu negosiasi selama lima tahun dan ditambah tujuh tahun proses pengerjaan atau total selama 12 tahun, hanya untuk membangun 515 MW PLTA Poso dan 90 MW PLTA Malea (Kompas, 25/2/2022).
Perubahan cara pandang
Bagian tersulit dari transisi energi ialah mengubah cara pandang. Dalam perspektif ekonomi, hal ini dapat dilihat dari posisi permintaan atas energi terbarukan yang terus meningkat. Saat ini, misalnya, mulai banyak perusahaan yang membeli listrik energi terbarukan dari PLN melalui renewable energy certificate (REC). Gelombang permintaan atas REC perlu terus didorong oleh kebijakan yang menarik agar lebih banyak perusahaan melakukan langkah dekarbonisasi.
Selanjutnya, kebijakan subsidi energi fosil perlu terus dikurangi. Dalam Rancangan APBN 2022, subsidi energi direncanakan sekitar Rp 134 triliun. Sementara pemerintah menyatakan kebutuhan pendanaan untuk mengejar target penurunan karbon di 2030 mencapai Rp 266 triliun per tahun (Kompas, 21/3/2022). Artinya, perlu refocusing kebijakan subsidi energi fosil agar lebih mendukung kebijakan transisi energi.
Tantangan lain dari kebijakan subsidi energi fosil saat ini ialah data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memperlihatkan pada 2020 ada 1,8 juta lebih rumah tangga yang mendapatkan akses listrik bukan dari PLN dan mereka tentu saja tidak mendapat subsidi sebagaimana diterima pelanggan PLN lain.
Akhirnya, studi yang dilakukan Chen dkk (2022) menyimpulkan subsidi energi tidaklah efektif dalam mendorong transisi energi modern dan mereka menyarankan agar pemerintah memberikan perhatian pada mekanisme kebijakan bukan harga, seperti memberikan bantuan teknis terkait dengan mendorong penelitian dan pengembangan untuk mengembangkan teknologi baru dan memberikan beragam proyek percontohan.
Maxensius Tri SambodoPeneliti Ahli Utama BRIN, Researcher Scholar – Bank Indonesia Institute