Terhadap konflik Rusia-Ukraina, ASEAN belum terlihat satu suara meskipun ada pernyataan bersama menlu ASEAN. Negara-negara ASEAN perlu mengantisipasi dampak konflik bagi rakyat dan pelaku industri serta bisnis.
Oleh
BEGINDA PAKPAHAN
·4 menit baca
HERYUNANTO
Periode November 2021 hingga Februari 2022, hubungan Rusia dan Ukraina kembali memanas setelah konflik bersenjata berkepanjangan sejak 2014 di wilayah Crimea dan Donbas (Donetsk dan Luhansk) di Ukraina timur. Rusia mendesak Amerika Serikat dan NATO agar tak menerima Ukraina menjadi anggota NATO dan memindahkan persenjataan militer NATO dari negara-negara anggota NATO di kawasan timur Eropa.
Namun, AS dan Uni Eropa (UE) mendukung kedaulatan Ukraina. Ukraina bisa menentukan sendiri kebijakan luar negerinya untuk bergabung dengan organisasi internasional.
Pada 21 Februari 2022, Rusia mengakui proklamasi kemerdekaan sepihak Donetsk People’s Republic dan Luhansk People’s Republic (Al Jazeera, 2022). AS, Inggris, UE, dan Jepang menerapkan sanksi ekonomi dan pembekuan aset kepada para pemimpin Rusia, para anggota parlemen Rusia, dan sejumlah bank Rusia yang beroperasi di Eropa. Jerman menangguhkan proses persetujuan sertifikasi atas pipa gas Nord Stream 2 (DW, 2022).
Pada 24 Februari 2022, Presiden Vladimir Putin menggelar operasi militer khusus ke wilayah Donbas di Ukraina timur dan beberapa kota di Ukraina (Kharkiv, Kiev, dan Mariupol). AS dan UE mengecam operasi militer itu dan menjatuhkan sanksi ekonomi lanjutan kepada Rusia (BBC, 2022) seperti pengeluaran tujuh bank besar Rusia dari SWIFT dan embargo energi Rusia.
Negara-negara ASEAN merespons krisis Ukraina dengan posisi beragam.
Efek ke ASEAN
Konflik bersenjata Rusia-Ukraina memasuki minggu ketiga dan masih berlangsung sampai sekarang. Apa saja dampak krisis Ukraina terkini terhadap ASEAN dan Indonesia? Pertama, ASEAN belum terlihat satu suara dalam menyikapi konflik bersenjata Rusia-Ukraina meskipun ada pernyataan bersama menlu ASEAN terkait hal itu (ASEAN Secretariat, 2022).
Negara-negara ASEAN merespons krisis Ukraina dengan posisi beragam. Singapura mengecam operasi militer Rusia terhadap Ukraina dan ikut serta dengan AS dan UE menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Rusia. Indonesia, Thailand, Malaysia, dan Vietnam tidak memihak dalam konflik bersenjata Rusia-Ukraina dan tak ikut menjatuhkan sanksi unilateral terhadap Rusia.
Myanmar tak mengecam operasi militer Rusia karena kedekatan hubungan pertahanan dan militernya dengan Rusia. Rusia tetap menjaga hubungan bilateralnya dengan Myanmar pascakudeta militer di Myanmar pada 2021.
Kedua, rivalitas antara AS, UE, dan negara-negara pendukungnya versus Rusia akan meluas ke pelbagai forum multilateral dan regional, termasuk ASEAN. Persaingan kedua pihak berpotensi memperlemah pelbagai kerja sama yang diinisiasi ASEAN, seperti The ASEAN Regional Forum dan The East Asia Summit, karena AS, UE, Jepang, dan Rusia adalah bagian dari beragam kerja sama ASEAN itu.
Negara-negara ASEAN berada di tengah dari rivalitas geopolitik dan geoekonomi negara-negara besar di Asia Tenggara dan Indo-Pasifik sehingga mereka akan menjadi korban/obyek dari rivalitas tersebut dan cukup rentan serta terjepit posisinya.
Dampak lainnya ialah presidensi G20 Indonesia tahun 2022 menghadapi tantangan berat akibat krisis Ukraina dan meluasnya persaingan negara-negara besar tersebut ke Asia Tenggara dan Indo-Pasifik.
Saat pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara-negara G20 pada 17-18 Februari 2022 di Jakarta, ada tarik-menarik antaranggota G20 terkait eskalasi tensi geopolitik Rusia-Ukraina dalam perumusan komunike bersama G20. Ada perbedaan pandangan antara pendukung Ukraina (AS dan UE) yang juga anggota G20 dengan Rusia.
Situasi ini membayangi presidensi Indonesia di G20 di tahun 2022 dan dapat mengesampingkan beragam agenda yang diusung Indonesia, seperti pemulihan ekonomi global, penguatan arsitektur kesehatan dunia, transformasi digital, dan transisi energi.
Ada perbedaan pandangan antara pendukung Ukraina (AS dan UE) yang juga anggota G20 dengan Rusia.
Dampak ke energi dan pangan
Ketiga, pandemi Covid-19 tak menyurutkan negara-negara besar berkompetisi dan berkonflik di beragam isu politik, pertahanan, keamanan, ekonomi, dan lainnya di Eropa, Asia Tenggara, dan di Indo-Pasifik. Keadaan ini memperlemah dan memperlambat beragam upaya regional ASEAN dan negara-negara lain di belahan dunia lain untuk keluar dari pandemi.
ASEAN dan Indonesia perlu mengantisipasi ketidakpastian hubungan internasional dan dunia akibat pandemi, ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina, dan persaingan negara besar di Indo-Pasifik.
Keempat, krisis Ukraina membuat perang energi terjadi antara AS-UE versus Rusia. AS menghentikan impor minyak, gas, dan batubara dari Rusia sejak 8 Maret 2022. Respons Rusia adalah membuka kemungkinan penghentian ekspor migasnya. Akibatnya, pasar energi bergerak dinamis dan harga minyak dan gas dunia melonjak.
Sebelum perang pecah, harga minyak WTI adalah 92,10 dollar AS per barel dan awal Maret sekitar 120,9 dollar AS per barel. Brent yang awalnya 94,05 dollar AS per barel menjadi 125,73 dollar AS per barel. Harga minyak basket OPEC juga naik dari 96,10 dollar AS menjadi 126,51 dollar AS per barel.
Kelangkaan kontainer saat pandemi akan menambah harga barang logistik (khususnya pangan) yang dikirim ke dan diterima konsumen (Kompas, 2022). Semua itu memberikan dampak bagi rakyat serta pelaku industri dan bisnis di negara-negara ASEAN (termasuk Indonesia) karena mereka akan membayar lebih mahal untuk memenuhi kebutuhan minyak dan gas serta pangan.
Beginda PakpahanAnalis Politik dan Ekonomi Global, PhD dari University of Edinburgh, UK.