”Big Data”, Ke(tidak)cerdasan Buatan, dan Demokrasi Kita
Penggunaan big data sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan politik tanpa memedulikan mekanisme dan metodologi pengetahuan yang mendasarinya....
Oleh
MUNAWIR AZIZ
·5 menit baca
SUPRIYANTO
Ilustrasi
Belakangan ini, panggung politik Indonesia dengan riuh membahas mahadata (big data) sebagai ujung tombak kontestasi kekuasaan. Big data menjadi ”mantra” sejumlah politisi untuk melegitimasi argumentasi sekaligus nafsu untuk ekspansi kekuasaan. Ekspansi kekuasaan ini dimaksudkan dalam konteks periode ataupun skala. Pada posisi ini, big data digunakan sebagai alat untuk melegitimasi kuasa politik, tanpa memedulikan mekanisme dan metodologi pengetahuan yang mendasarinya.
Satu pihak mengklaim telah memiliki big data 110 juta netizen yang menginginkan pemilu ditunda. Sementara kelompok lain menampik bahwa data yang mereka tambang dari media sosial dan percakapan digital mengindikasikan hal yang berbeda. Perdebatan terkait big data ini belum menemukan titik temu karena masing-masing merasa menggunakan mekanisme yang sahih. Namun, belum ada uji terbuka untuk menganalisis metodologi dari crawling data, analisis, hingga pemodelan komputasi yang digunakan.
Lalu, apakah mungkin big data dibajak oleh para pelaku politik untuk melanggengkan kekuasaan atas nama demokrasi? Bagaimana inovasi digital dan sekaligus revolusi data seharusnya berperan dalam perbaikan tata kelola pemerintahan dalam skala dunia dan terkhusus di Indonesia?
Para petinggi politik Indonesia sedang mengalami masa gegap gempita penggunaan teknologi untuk politik. Ini tentu hal yang tidak buruk, mengingat banyak inovasi dan perbaikan pelayanan publik yang didorong oleh optimasi penggunaan teknologi. Namun, dari sisi wacana menuju eksekusi, masih ada rentang jalan yang cukup jauh. Istilah inovasi 4.0, literasi digital (digital literacy), blockchain, dan metaverse berhamburan dari pidato-pidato para pejabat dan pemimpin kita.
Kita tentu masih ingat bagaimana e-KTP masih menyisakan masalah hingga kini. Sistem pendaftaran catatan sipil kita masih terengah-engah, jauh dari perbaikan yang memadai. Keamanan data menjadi tantangan tersendiri mengingat pada Mei 2021 beredar info kebocoran lebih dari 270 juta data warga Indonesia. Pemerintah mendorong percepatan digitalisasi data, tetapi pada beberapa proses administrasi masih sering menggunakan foto kopi dokumen untuk pelbagai persyaratan.
Terkait dengan sistem pencatatan sipil, tentu kalau ada kerja keras dan komitmen bersama, proses ini bisa dibereskan secara komprehensif. Kita punya ahli-ahli di bidang data science, data architect, data analyst, serta para engineer yang mengurus infrastruktur digitalnya. Sumber daya manusia ada, anggaran untuk membiayai infrastruktur teknologinya juga tidak kurang. Maka, komitmen politik dari para pemimpin kita yang seharusnya menjadi kunci perbaikan utama. Inovasi digital jangan hanya berhenti sebagai jargon politik.
Keterbatasan teknologi
Euforia penggunaan istilah-istilah teknologi untuk kampanye politik perlu dibarengi dengan komitmen untuk mengeksekusi program perbaikan pelayanan masyarakat. Bahwa, sejatinya yang menjadi penting ialah hasil dari penggunaan teknologi itu untuk sepenuhnya peningkatan kesejahteraan rakyat. Bukan malah sebaliknya, teknologi dibajak sebagai jargon kampanye dan dimanipulasi untuk kepentingan politik. Inovasi digital memang membawa perbaikan massif di seluruh dunia, tetapi jangan lupa, ada sisi gelap dan keterbatasan yang menyertainya.
Di Inggris, di tengah kontestasi Brexit pada 2016, Vote Leave—sebuah gerakan politik yang mengampanyekan agar Inggris keluar dari Eropa—menegaskan bahwa big data punya peran sentral dalam kampanyenya. Hal yang sama terjadi dengan kampanye Donald Trump di Amerika Serikat ketika meraih kemenangan dalam pertarungan politiknya memperebutkan kursi presiden (Cummings, 2016; Macnish & Galliott, 2021).
Kasus Cambridge Analytica juga menjadi catatan penting betapa inovasi digital dan data bisa dimanipulasi untuk kepentingan politik sesuai dengan pesanan kelompok tertentu.
Kasus Cambridge Analytica juga menjadi catatan penting betapa inovasi digital dan data bisa dimanipulasi untuk kepentingan politik sesuai dengan pesanan kelompok tertentu. Bahwa, data yang dikelola bisa digunakan sebagai senjata untuk mengarahkan, membelokkan, bahkan memanipulasi pandangan politik seseorang.
Pada 2014, Cambridge Analytica menambang data 50 juta pengguna Facebook untuk kepentingan kontestasi politik Amerika Serikat. Waktu itu, perusahaan yang dimiliki Robert Mercer ini terkoneksi dengan penasihat ahli Donald Trump, Steve Bannon, yang memanfaatkan big data untuk menarget kelompok pemilih tertentu dengan iklan yang didesain khusus.
AFP/DANIEL LEAL-OLIVAS
Laptop yang menunjukkan logo Facebook diletakkan di depan tanda penunjuk kantor Cambridge Analytica di luar gedung kantor perusahaan tersebut di London, Inggris, 21 Maret 2018.
Ke(tidak)cerdasan buatan
Di tengah belantara kontestasi digital ini, penting bagaimana inovasi teknologi dan algoritme digital bekerja. Sejatinya, melihat dan mendeteksi bagaimana cara berpikir orang-orang yang bekerja di balik inovasi digital, juga merupakan kecerdasan. Internet dan media digital itu sejatinya alat, yang dikendalikan manusia. Jangan sampai manusia tertusuk oleh alat yang dibuatnya sendiri.
Meredith Broussard, ketika menulis buku Artificial Unintelligence (2018), menyampaikan sisi lain cara pandang yang acap keliru terhadap teknologi. Sebagai peneliti yang mengawali karir sebagai software developer di MIT Media Lab dan sekarang menjadi profesor jurnalisme data di New York University, Broussard berusaha membuka sisi gelap teknologi untuk publik agar tidak terjadi salah persepsi yang berkepanjangan.
Alih-alih kecerdasaran artifisial, jika tidak tepat sasaran atau salah menggunakan perangkat, justru yang didapatkan adalah ketidakcerdasan artifisial. Broussard berargumentasi bahwa antusiasme besar manusia untuk menggunakan teknologi sebagai solusi atas semua persoalan kompleks manusia justru membawa petaka. Bahwa, ada keterbatasan fundamental, di mana teknologi tidak bisa menyelesaikan tugas dan menjadi jawaban atas problem kompleks manusia. Maka, jangan pernah berasumsi bahwa sistem komputasi itu selalu benar. Problem kemanusiaan yang kompleks sering kali tidak sepenuhnya selesai dengan teknologi yang mekanis.
Pada konteks ini, Helen Margetts dan Cosmina Dorobantu—peneliti di Oxford Internet Institute (OII)—membantu kita memaknai kembali manfaat hadirnya kecerdasan buatan. Margets dan Dorobantu menegaskan, sejatinya penggunaan aritificial intelligence (AI) dan inovasi digital dalam pemerintahan ditujukan untuk mendorong perbaikan atas pelayanan terhadap warga negara. Pembuat kebijakan sudah seharusnya memanfaatkan data untuk menghadirkan pelayanan publik yang responsif, efisien, dan adil untuk semua (Margetts & Dorobantu, 2019).
Kita perlu melihat inovasi digital pada konteks yang lebih jernih bahwa pada ranah pemerintahan, teknologi seharusnya untuk meningkatkan pelayanan publik. Jangan sampai inovasi digital hanya berhenti sebagai jargon politik.
Munawir Aziz, Menekuni Bidang Digital Diplomacy; Sekretaris PCI Nahdlatul Ulama United Kingdom