Irisan ciri komoditas, instrumen finansial, hingga skema penukaran ”stablecoin” yang menyerupai transaksi valas mendorong urgensi menjaga integritas pasar agar masyarakat makin terlindungi.
Oleh
KRISTIANUS PRAMUDITO ISYUNANDA
·4 menit baca
”It ain’t what you don’t know that gets you into trouble. It’s what you know for sure that just ain’t so.” Ungkapan novelis Mark Twain ini kembali populer melalui film The Big Short, narasi bergaya komedi drama tentang krisis pasar keuangan Amerika Serikat (AS) tahun 2008.
Pesan Twain patut menjadi pedoman bagi respons otoritas atas fenomena stablecoin sebagai uang futuristis berbasis kriptografi yang nilainya diklaim terprediksi.
Stablecoin yang menjanjikan kestabilan nilai dengan dukungan aset cadangan dipercaya menjembatani uang kripto dan uang konvensional. Fluktuasi liar uang kripto berusaha dijawab dengan tautan aset riil.
Kapitalisasi pasar stablecoin global telah menembus 180 miliar dollar AS, meningkat signifikan pada 2021. Di balik nilainya yang relatif terjaga di pasar kripto, area abu-abu (grey area) aturan hukum stablecoin dapat membawa risiko.
Di Indonesia, stablecoin ditawarkan tidak hanya sebagai instrumen independen, tetapi juga media perolehan uang kripto lain.
Komitmen 1:1
Salah satu jenis aset cadangan stablecoin yang banyak digunakan adalah uang fiat, seperti dollar AS dan rupiah.
Stablecoin yang dipatok (peg) menggunakan dollar AS, seperti koin tether (USDT), USD coin (USDC), dan binance USD (BUSD) berhasil menembus daftar 15 besar kapitalisasi pasar kripto global. Daya tarik utamanya adalah komitmen menjaga nilai stablecoin setara (1:1) terhadap dollar AS.
Di Indonesia, stablecoin ditawarkan tidak hanya sebagai instrumen independen tetapi juga media perolehan uang kripto lain. Terdapat binance IDR (BIDR), stablecoin berbasis jaringan rantai blok keluaran Binance yang nilainya 1:1 dengan rupiah. Artinya, harga 1 BIDR setara Rp 1. Selain BIDR, ada pula IDR token (IDRT) berbasis ethereum yang diusung pengembang lain.
Manajemen nilai dan likuiditas aset cadangan stablecoin tidaklah sederhana. Tugas menjaga 1:1 atas aset cadangan, bahkan lebih berat di tengah ketidakpastian pasar. Realitas ini bisa mendorong kecenderungan pengelola stablecoin mengompromikan komitmennya.
Baca juga
Pada Februari 2021, Jaksa Agung Negara Bagian New York, AS, menemukan dua perusahaan pengelola stablecoin yang ternyata tidak mencadangkan dollar AS secara 1:1 sesuai janjinya. Hal itu dianggap menyesatkan pasar dan menjadi preseden urgensi pengawasan otoritas terhadap pemenuhan komitmen dan transparansi manajemen aset cadangan stablecoin.
Perspektif moneter
Sejarah mencatat kegagalan tautan nilai uang dengan aset riil. Perjanjian Bretton Woods 1944 yang melandasi peg nilai uang dengan emas (global monetary standard) diabaikan karena ketersediaan cadangan emas AS. Sejak itu, dunia beranjak ke tautan abstrak nilai uang, yaitu dengan kedaulatan negara mengelola kestabilan moneter.
Terdapat limitasi model penautan nilai stablecoin layaknya skema Bretton Woods. Keterbatasan kemampuan menjaga nilai cadangan, terutama oleh pihak non-otoritas, adalah risiko utama stablecoin.
Namun, keterbatasan itu cenderung tidak menimbulkan gangguan moneter karena level of playing field yang senjang antara pengelola stablecoin dan otoritas moneter. Tren stablecoin bahkan dapat memudar ketika central bank digital currency (CBDC) resmi diterbitkan oleh Bank Indonesia (BI).
Utopia penganut aliran libertarian mendesentralisasikan keputusan penciptaan uang melalui uang kripto telah menghadapi tantangan volatilitas nilai dan isu kepastian hukum.
Irisan klasifikasi
Saat ini, belum terdapat konsensus global status hukum uang kripto. Utopia penganut aliran libertarian mendesentralisasikan keputusan penciptaan uang melalui uang kripto telah menghadapi tantangan volatilitas nilai dan isu kepastian hukum. Akibatnya, muncul inovasi produk dan beragam interpretasi hukum.
Bappebti telah menetapkan aset kripto di Indonesia sebagai komoditas, termasuk untuk kelas beragun aset. Di sisi lain, perkembangan jenis aset kripto menimbulkan urgensi bagi otoritas lain dalam menjaga integritas pasar kripto.
Keberadaan stablecoin membuktikan perlunya diskursus irisan klasifikasi aset kripto sebagai komoditas dengan cakupan pasar keuangan.
Tautan stablecoin pada uang fiat yang sarat dengan kepentingan umum dapat menimbulkan persoalan sistemik, terlebih jika cadangannya dicampur dengan kelas aset lain. Skema penukaran antar-stablecoin yang mirip transaksi valas pun perlu dijaga, termasuk penerapan program anti-pencucian uang dan pendanaan teroris.
Model stablecoin dengan cadangan kelas aset selain uang fiat, seperti obligasi, juga tampak ekuivalen dengan skema sekuritisasi pada pasar keuangan konvensional yang dinamikanya perlu diantisipasi. Kita menyaksikan bagaimana efek beragun kredit perumahan (mortgage-backed securities) menghancurkan sistem keuangan AS tahun 2008 akibat permasalahan pada aset cadangannya.
Kunci kestabilan stablecoin adalah kepercayaan pemegangnya bahwa nilainya akan stabil.
Integritas pasar
Kunci kestabilan stablecoin adalah kepercayaan pemegangnya bahwa nilainya akan stabil. Ketika para pemegangnya kehilangan kepercayaan dan memulai aksi jual, maka berisiko pada tekanan nilainya.
Keseimbangan penjual dan pembeli di pasar lantas turut memengaruhi harga stablecoin. Konsekuensinya, aset cadangan dapat tidak efektif dalam meredam gejolak pasar, terutama karena kemampuan penerbit privat yang terbatas pada permodalan entitas.
Eksistensi stablecoin kembali menyingkap karakter multipolar uang kripto. Irisan ciri komoditas, instrumen finansial, hingga skema penukaran stablecoin yang menyerupai transaksi valas mendorong urgensi menjaga integritas pasar agar masyarakat makin terlindungi.
Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), BI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan otoritas terkait perlu mengambil langkah konkret bersama guna membentuk pengaturan yang kuat atas stablecoin di Indonesia, termasuk perdagangan, penerbitan, dan manajemen cadangan aset tautannya.
Kristianus Pramudito Isyunanda, Penasihat Hukum di Departemen Hukum, Bank Indonesia