Melawan Imajinasi ”Crazy Rich”
Fenomena ”crazy rich” dan budaya yang mengimajinasikan kekayaan harus dilawan. Moral pendidikan kita harus mendidik anak-anak kita agar berpikir jernih dan tidak mudah terperosok ke dalam imajinasi palsu orang lain.
Dua sosok yang dijuluki sebagai crazy rich kini berada dalam bui. Mereka tersangkut kasus penipuan. Keduanya diduga melakukan tindak pidana pencucian uang, menginvestasikan dana nasabah melalui bisnis judi, bahkan parahnya lagi, mereka menggunakan dana nasabah untuk kemudian memperkaya diri.
Kedua crazy rich tersebut sebelumnya kerap memamerkan keberhasilan atas investasi yang mereka tawarkan melalui akun media sosial. Berkedok investasi, mereka membangun branding mereka sebagai sosok yang muda, kaya, dan bisa mendapatkan kemewahan yang juga bisa didapatkan orang lain.
Mereka mengirimkan pesan kepada publik yang sebenarnya hanya membesar-besarkan imajinasi tentang siapa mereka. Maka tak heran ”bisnis” tersebut menyedot perhatian masyarakat, bahkan tidak sedikit yang bersedia berinvestasi ke bisnis yang mereka tawarkan. Dengar-dengar, mereka pun membuka kelas-kelas pelatihan, yang tentu semakin memperkuat posisi mereka sebagai crazy rich yang profesional.
Baca juga: ”Crazy Rich” di Medsos
Bayangkan, sebegitu berhasilnya mereka membangun panggung bagi diri mereka, dengan imajinasi sebagai crazy rich, mereka pernah diberikan panggung oleh sebuah media televisi di negeri ini. Di panggung itu, mereka dipuji-puji, bahkan dianggap memberikan inspirasi mengenai kisah sukses. Mereka dianggap ikon anak-anak muda yang bersinar dan bergelimang duit.
Aksi gembar-gembor kekayaan dan imajinasi mengenai sukses ala crazy rich ini memang telah menghipnotis banyak orang yang ingin mengikuti jejak mereka. Dengan dukungan internet dan media sosial yang diakses oleh banyak orang, imajinasi mengenai crazy rich ini menyebar. Apalagi, masyarakat kita umumnya tak dibekali kemampuan edukasi model finansial, maka apa pun yang disampaikan oleh para crazy rich ini dianggap sebagai sebuah kebenaran dengan tingkat keberhasilan 100 persen.
Kemajuan era digital belakangan ini memang sangat menumbuh-suburkan orientasi pada kesuksesan dan kekayaan. Dan, itu yang dieksploitasi habis-habisan oleh crazy rich ini. Coba lihat bagaimana pernyataan mereka ketika berhadapan dengan sebuah barang yang hendak dipakainya. ”Wow murah banget?” sebut crazy rich ini manakala melihat sebuah produk seharga ratusan juta, yang bagi banyak orang itu adalah kemustahilan untuk dapat dimiliki. Lalu, ketika ia bilang bahwa karena ia tidak bisa tidur, maka ia belanja miliaran rupiah.
Kemajuan era digital belakangan ini memang sangat menumbuh-suburkan orientasi kepada kesuksesan dan kekayaan.
Narasi yang mereka populerkan memang menunjukkan bahwa dengan uang, seseorang akan memiliki segalanya, memuaskan diri sendiri. Maka, cara tercepat untuk mencapai itu, ya, mengikuti jejak si crazy rich, yang sayangnya, apa yang mereka sebut sebagai keberhasilan dan investasi, hanyalah manipulasi. Korbannya terjerembab ke dalam utopia kesuksesan dan kekayaan.
Kesuksesan dan kekayaan memang sering diidentikkan dengan kebahagiaan. Bisa membeli apa saja, bisa pergi ke mana saja, bisa menyenangkan diri. Dengan uang melimpah, seseorang akan menikmati apapun. Memang tidak ada salahnya berfantasi mengenai uang sebagai sumber kebahagiaan ini.
Freud berkata bahwa hal itu adalah sebuah hal normal yang terbentuk sejak kita masih kecil. Hidup dalam fantasi, adalah sebuah hal normal, kata Freud. Termasuk berfantasi soal membahagiakan diri dengan uang. Tetapi di dalamnya kita tahu, seperti juga diperingatkan Freud, bahwa imajinasi kebahagiaan seharusnya memenuhi dua prinsip penting, yaitu pertama, berpijak pada realita, dan kedua, memiliki esensi pada nilai.
Realita
Pada titik ini, para crazy rich dan sebagian besar yang mempercayai mereka, justru merasa diri berada di atas realita. Mereka menempatkan imajinasi tanpa pijakan realita. Masyarakat yang telah terbiasa mendengar pameran kemewahan ala crazy rich, melupakan realita di mana seharusnya mereka berpijak, yaitu bahwa kekayaan tidaklah mungkin diperoleh serta merta dalam tempo singkat.
Mereka tidak curiga bahwa pengembalian investasi yang begitu besar, menempatkan uang mereka pada risiko yang begitu besar di depan mata. Mereka tak segan-segan menginvestasikan uangnya, bahkan pendapatan masa depannya, karena imajinasi pada kekayaan melebihi kalkulator realita.
Bayangan imajinasi akan rumah mewah, mobil mahal, baju mahal, serta kesenangan-kesenangan lain yang terimajinasi melalui hadirnya sosok para crazy rich, jauh melebihi realita-rasional mereka. Realitas untuk memeriksa kebenaran, berpikir menggunakan nalar, mengkaji dari berbagai sudut pandang, tak lagi digunakan.
Baca juga: Media Sosial, Kuasa Bahasa Siapa
Mereka hanya bermodalkan rasa percaya pada perkataan sosok-sosok yang disebut crazy rich, yang telah membuktikan kebahagiaannya melalui video dan kisah-kisah mereka. Bagi masyarakat, tontonan seperti itu telah cukup untuk menjadi alat bukti. Realita mengenai diri diabaikan, imajinasi crazy rich diserap, dan dijadikan imajinasi diri sendiri.
Inilah mirisnya kondisi masyarakat kita sekarang ini. Masyarakat terpengaruh oleh sumber kebahagiaan bernama uang. Masih ingat dengan warga masyarakat kita yang tanahnya dibeli dengan harga fantastis oleh Pertamina? Dalam sekejap mereka membeli kebahagiaan dengan mobil-mobil mewah dan peralatan yang mungkin sering mereka lihat atau tonton, dan dipakai oleh sosok-sosok yang kaya. Tak ingin kalah, mereka pun ingin membahagiaan diri mereka. Alhasil, kini mereka kebingungan karena hidup menjadi sulit sementara uang telah habis.
Imajinasi serupa, yaitu kehidupan bergelimang harta, telah mempengaruhi begitu banyak orang, sehingga bermimpi ingin mendapatkan kekayaan begitu cepat, dan akibatnya mereka pun berisiko tertipu. Laporan mengenai kerugian-kerugian yang dialami masyarakat akibat investasi bodong terus menerus terjadi, membuktikan betapa imajinasi mengenai kekayaan instan telah menggantikan realita.
Dorongan yang luar biasa pada kekayaan dan uang, sedikit banyaknya, dibawa oleh imajinasi yang dibawa oleh para crazy rich ini. Mereka-mereka yang umumnya menjadi figur publik ini sangat gemar mempertontonkan kekayaan di hadapan publik. Maka tak heran jika seperti dikatakan Freud, masyarakat kita pun membangun imajinasi ini, meniru figur publik yang dilihatnya setiap hari.
Esensi kekayaan
Lalu, perihal obyek imajinasi, yaitu uang. Kita sering mendengar perkataan bahwa “uang bukan segalanya, tetapi segalanya perlu uang”. Kita sependapat.
Di media sosial, para crazy rich ini menunjukkan bahwa uang adalah pencarian akhir, tujuan utama. Para crazy rich mengumpulkan uang untuk diri mereka sendiri. Dengan uang, meski diperoleh dengan cara yang tidak benar, mereka menunjukkan bahwa mereka bisa membeli apa saja. Segalanya, karena mereka bergelimang harta, dapat dibeli.
Tetapi benarkah uang hanya berakhir seperti itu? Rasanya miris, jika manusia ditempatkan pada tingkat yang sangat rendah jika hanya menilai diri sebatas dengan uang. Segalanya memang perlu uang, tetapi segalanya tidak dapat dibeli dengan uang.
Bayangkan seperti ini. Dengan kekayaan, orang memang bisa membeli tempat tidur paling mewah, tetapi tidak disertai dengan kemampuan membeli tidur yang nyenyak. Dengan uang melimpah, orang memang bisa berlibur kemana pun, tetapi itu tidak disertai kenyamanan batin. Dengan uang melimpah, orang bisa membeli apartemen, tetapi mereka tidak bisa mendapatkan rasa aman begitu saja. Jadi uang tidak menyediakan segala sesuatu sehingga meletakkan imajinasi pada mendapatkan uang melimpah, bukanlah sebuah imajinasi yang mutlak benar, seperti diingatkan Freud.
Uang tidak menyediakan segala sesuatu sehingga meletakkan imajinasi pada mendapatkan uang melimpah, bukanlah sebuah imajinasi yang mutlak benar.
Justru, crazy rich ini kehilangan nilai moral bahwa kekayaan justru dapat menjadi sumber kebahagiaan ketika dapat digunakan tidak hanya berakhir untuk menyenangkan diri sendiri. Kebahagiaan pun bisa didapatkan tanpa melulu menikmati duit sendiri.
Banyak orang memiliki kebahagiaan yang tidak tergantikan ketika menggunakan uangnya untuk kepentingan di luar diri sendiri. Membantu sesama yang membutuhkan, membangun gedung sekolah yang telah rusak, menyumbang untuk pendidikan anak di wilayah terpencil, mendirikan WC umum, membeli generator listrik bagi masyarakat pedalaman, dan masih banyak lagi, adalah praktik-praktik menggunakan uang melebihi nilai uang tersebut, dan mendapatkan kebahagiaan yang tak ternilai dengan uang. Uang dan kekayaan seharusnya tidak berhenti pada diri sendiri, karena jika ukuran hidup hanya senilai uang dan tujuan hidup hanyalah untuk mencari kekayaan sebesar-besarnya, maka manusia berhentilah seseorang menjadi manusia yang memiliki nilai di atas materi.
Tetapi itulah yang terjadi. Banyak orang yang demi uang justru kehilangan kesempatan untuk berbagi harapan kepada orang lain. Uangnya hanya untuk memuaskan diri.
Rekonstruksi
Fenomena crazy rich dan budaya yang mengimajinasikan kekayaan harus dilawan. Moral pendidikan kita harus mendidik anak-anak kita agar berpikir jernih dan tidak mudah terperosok ke dalam imajinasi palsu orang lain. Kaum agamawan harus mengembalikan roh kebenaran agar setiap orang lebih menyukai menolong orang lain, meski dengan uang yang terbatas.
Pesan ”adalah lebih berbahagia memberi daripada menerima” harus terus menerus disuarakan. Pemerintah dalam mengontrol imajinasi penuh kepalsuan ini dengan mendeteksi dan memperingatkan penyedia layanan, baik televisi maupun media sosial. Jika imajinasi mengenai uang ini dibiarkan liar, daya rusaknya akan sangat mengerikan.
Fotarisman Zaluchu, Pengajar di Prodi Antropologi Sosial, FISIP, Universitas Sumatera Utara; Pegiat di Perkamen