Tantangan Pemerataan Pembangunan Ekonomi
Kritikal aspek pertumbuhan ekonomi inklusif terletak pada pertumbuhan, stabilitas, dan pemerataan. Menurut data Kementerian PPN/Bappenas, pada 2020 Indeks Pembangunan Inklusif Indonesia turun dan terjadi ketimpangan.
Dalam visi Indonesia Emas 2045, Indonesia bermimpi menjadi salah satu negara dengan perekonomian terbesar dunia. Penerimaan produk domestik bruto Indonesia ditargetkan mencapai 7 triliun dollar AS pada 2045.
Pertumbuhan ekonomi tinggi dan inklusif diyakini merupakan kunci sukses menjadi negara dengan produk domestik bruto (PDB) terbesar kelima dunia. Standard Chartered Bank dalam publikasinya, The Super Cycle Report (November 2010), memperkirakan Indonesia pada 2030 di posisi kelima ekonomi dunia.
Lembaga PricewaterhouseCoopers (PwC) dalam kajian ilmiahnya, The Long View, How Will the Global Economic Order Change by 2050 (Februari 2017), memproyeksikan Indonesia di peringkat kelima pada 2030 dan posisi keempat negara ekonomi terbesar pada 2050.
Lembaga konsultan McKinsey & Company dalam kajian empirisnya, The archipelago economy: Unleashing Indonesia’s Potential (September 2012), turut memproyeksikan Indonesia menjadi negara dengan perekonomian terbesar ketujuh dunia pada 2030 setelah China, Amerika Serikat, India, Jepang, Brasil, dan Rusia. Indonesia diproyeksikan menggusur Jerman dan Inggris.
Meski demikian, kita harus tetap melihat realitas agar tetap berpijak di Bumi. Berdasarkan data BPS, tingkat perekonomian RI (PDB) 2021 berdasarkan PDB atas dasar harga berlaku (ATDB) Rp 16.970,8 triliun atau setara 1,17 triliun dollar AS (kurs 14.500 per dollar AS). Untuk mencapai lompatan PDB hingga 7 kali lipat dari posisi saat ini, dibutuhkan tingkat pertumbuhan ekonomi 8-9 persen per tahun selama 20 tahun.
Realisasi pertumbuhan PDB selama pemerintahan Jokowi bahkan belum pernah mencapai pagu APBN.
Tidak mudah mencapai pertumbuhan PDB 8 persen. Realisasi pertumbuhan PDB selama pemerintahan Jokowi bahkan belum pernah mencapai pagu APBN. Pertumbuhan PDB Indonesia 4,88 persen (2015), 5,03 persen (2016), 5,07 persen (2017), 5,17 persen (2018), 5,02 persen (2019), minus 2,07 persen (2020) dan 3,69 persen (2021). Pertumbuhan PDB turun dramatis pada 2020 dan 2021 sebagai dampak pandemi Covid-19.
Pemerintah dan semua pemangku kepentingan berfokus pada pembenahan aneka masalah ekonomi domestik yang belum tuntas, bahkan sebelum pandemi Covid-19. Transformasi struktural ekonomi serta reformasi regulasi dan tata kelola/birokrasi sangat vital untuk menciptakan iklim bisnis dan investasi yang kondusif. Kepercayaan investor, pasar, dan dunia usaha sangat vital dalam percepatan laju pertumbuhan ekonomi inklusif hingga pelosok negeri.
Jebakan paradigma ekonomi eksklusif yang hanya mengejar target pertumbuhan PDB tinggi harus dihindari. Ekonomi eksklusif lebih mendorong pertumbuhan sektor tersier (jasa). Sektor primer (pertanian) dan sekunder (manufaktur) kerap tertinggal, padahal menyerap banyak tenaga kerja. Terjadilah ketimpangan ekonomi daerah.
Baca juga Kritik Menyelamatkan Pembangunan
Ekonomi inklusif
Kritikal aspek pertumbuhan ekonomi inklusif terletak pada pertumbuhan, stabilitas dan pemerataan. Indeks pembangunan ekonomi inklusif menjadi indikator tingkat inklusivitas pembangunan Indonesia pada level nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
Ada tiga pilar utama, yakni pilar I (pertumbuhan dan perkembangan ekonomi) dengan subpilar pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, dan infrastruktur ekonomi. Pilar II (pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan) dengan subpilar ketimpangan dan kemiskinan. Pilar III (perluasan akses dan kesempatan) dengan subpilar kapabilitas manusia, infrastruktur dasar, dan keuangan inklusif.
Berdasarkan data Kementerian PPN/Bappenas, pada 2020 Indeks Pembangunan Inklusif Indonesia 5,52, menurun dibandingkan dengan 2019 (5,95), 2018 (5,75), dan 2017 (5,75). Nilai indeks 2020 pilar I (4,46), pilar II (6,57), dan pilar III (6,56). Skala skor indeks dari 0 sampai 10. Daerah dengan indeks tertinggi DKI Jakarta (7,18), Kepri (6,16), dan DI Yogyakarta (6,1). Indeks terendah Sulbar (4,99), NTT (4,64), dan Papua (3,59).
Poin pertama dan terpenting adalah pertumbuhan ekonomi inklusif. Manfaat pertumbuhan ekonomi harus dinikmati seluruh rakyat Indonesia. Apalagi, pemerintahan Jokowi sudah mengucurkan banyak dana.
Heryunanto
Berdasarkan data Kemenkeu, anggaran infrastruktur APBN 2016-2021 telah dialokasikan Rp 269,1 triliun, Rp 381,2 triliun, Rp 394 triliun, Rp 394,1 triliun, Rp 281,1 triliun, dan Rp 417,4 triliun. Anggaran dana desa dan transfer daerah periode 2016-2021 Rp 710,3 triliun, Rp 742 triliun, Rp 757,8 triliun, Rp 813 triliun, Rp 763,9 triliun, dan Rp 795,5 triliun. Tahun 2022, alokasi anggaran infrastruktur, dana desa, transfer daerah Rp 365,8 triliun dan Rp 769,6 triliun.
Kontribusi antardaerah dalam pembentukan PDB nasional masih mencerminkan ketimpangan. Daerah luar Jawa memang mencatat pertumbuhan PDB tinggi. Berdasarkan data BPS, pertumbuhan PDB regional 2021 di Maluku dan Papua (10,09 persen YOY), Sulawesi (5,67 persen), Jawa (3,66 persen), Sumatera (3,18 persen), dan Kalimantan (3,18 persen). Namun, struktur ekonomi Indonesia 2021 masih didominasi Jawa (57,89 persen) dan Sumatera (21,7 persen). Diikuti Kalimantan (8,25 persen), Sulawesi (6,89 persen), Bali dan Nusra (2,78 persen), serta Maluku dan Papua (2,49 persen).
Belum ada perubahan signifikan dalam hal kontribusi antarwilayah dalam struktur ekonomi dibanding 2018-2020.
Belum ada perubahan signifikan dalam hal kontribusi antarwilayah dalam struktur ekonomi dibandingkan dengan 2018-2020. Kontribusi dalam ekonomi nasional tahun 2020 dari Jawa (58,75 persen), Sumatera (21,36 persen), Kalimantan (7,94 persen), Sulawesi (6,66 persen), Bali dan Nusra (2,94 persen), serta Maluku dan Papua (2,35 persen). Tahun 2019 masih didominasi Jawa (59 persen) dan Sumatera (21,32 persen) serta tahun 2018 Jawa (58,48 persen) dan Sumatera (21,58 persen).
Ketidakmerataan dalam kontribusi struktur PDB membawa implikasi serius terhadap kemiskinan dan kesenjangan ekonomi. Hal itu menjadi persoalan struktural dan tak kunjung tuntas. Wajib waspada karena kemiskinan dapat menimbulkan gangguan sosial dan stabilitas ekonomi dan politik di Tanah Air. Pembangunan masif infrastruktur fisik menjadi percuma jika tidak dibarengi dengan pembangunan SDM yang sehat dan cerdas. Pertumbuhan ekonomi tinggi tidaklah mencerminkan pemerataan pendapatan, penyerapan tenaga kerja, dan pengentasan orang miskin.
Ketimpangan dalam kontribusi PDB wajib diperkecil agar permasalahan kemiskinan dan ketimpangan dapat dituntaskan. Tingkat kemiskinan Indonesia per September 2021 mencapai 9,71 persen, membaik dari 10,19 persen (September 2020). Masih terdapat 26,5 juta jiwa penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan (Rp 486.168 per kapita per bulan). Provinsi dengan kemiskinan tertinggi per September 2021, NTT (20,44 persen), Papua Barat (21,82 persen), dan Papua (27,38 persen).
Baca juga: Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi 2022
Ekonom dan peraih Nobel Ekonomi 2007, Eric Stark Maskin, berpendapat bahwa mengukur hasil pembangunan hanya dari pertumbuhan ekonomi akan meniadakan pemerataan dalam menikmati hasil pembangunan. Kebijakan pemerataan pembangunan daerah harus terus ditingkatkan.
Pengembangan daerah
Bappenas telah mencanangkan arah pengembangan daerah berdasarkan potensi lokal. Papua ditargetkan menjadi basis pangan nasional dan sektor ekonomi ekstraktif SDA. Kalimantan menjadi lumbung energi nasional dan pengembangan manufaktur.
Sulawesi dikembangkan menjadi basis industri pangan sekaligus menjadi gerbang kawasan Indonesia timur. Bali, Nusra, dan Maluku sebagai lokasi wisata bertaraf internasional serta sentra perikanan nasional. Pulau Jawa tetap menjadi penyokong sektor perdagangan, industri, dan jasa. Sumatera sebagai sentra industri baru sekaligus gerbang Asia.
Kedua, memacu pertumbuhan, kualitas, dan pemerataan penerimaan investasi. Target penerimaan investasi tahun 2022 Rp 1.200 triliun atau ditingkatkan 33,3 persen dari target investasi tahun 2021 (Rp 900 triliun).
Berdasarkan data BKPM, realisasi penerimaan investasi tahun 2021 sebesar Rp 901 triliun atau 100,1 persen dari target. Terdiri atas PMA (Rp 454 triliun) dan PMDN (Rp 447 triliun). Investasi meningkat 9 persen (YOY) dengan serapan tenaga kerja 1,2 juta orang, meningkat dari 1,15 juta orang (2020).
Penerimaan investasi harus dipacu hingga luar Jawa. Pemerintah daerah dituntut menggali potensi daerah dalam menarik minat investor. Provinsi dengan penerimaan investasi terbesar 2021 adalah Jabar (Rp 136,1 triliun atau 15,1 persen), DKI Jakarta (11,5 persen), dan Jatim (8,8 persen). Dibandingkan tahun 2020, Jabar (14,6 persen), DKI Jakarta (11,5 persen), dan Jatim (9,5 persen).
Ketiga, pembenahan terkait aspek politik dan memperkuat pemberantasan korupsi. Otonomi daerah sejak awal reformasi melalui kebijakan UU Pemda No 22/1999 telah mendorong kemandirian dan keleluasaan daerah dalam pengambilan keputusan dan penggunaan anggaran. Desentralisasi menggantikan sentralisasi. Celakanya juga melahirkan praktik koruptif.
Penilaian indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia versi lembaga Transparency International relatif stagnan. Tahun 2021, skor indeks IPK Indonesia 38, di posisi ke-96 dari 180 negara, naik tipis dari skor 37 (2020), tetapi di bawah rata-rata IPK dunia 43.
Perlu evaluasi dan revisi UU Pilkada dan UU Otonomi Daerah. Indonesia akan selalu sulit keluar dari lorong gelap ketidakmerataan selama korupsi dan pungutan liar masih marak.
Santo Rizal Samuelson Ekonom, Analis Ekonomi dan Keuangan, Pemerhati Ekonomi dan Politik Indonesia.
Santo Rizal Samuelson