Survei evaluasi pemerintahan yang dilakukan Litbang ”Kompas” tidak lepas dari kebijakan editorial yang memosisikan survei sebagai bagian dari pemantauan tata kelola pemerintahan.
Oleh
Bestian Nainggolan
·4 menit baca
Pertanyaan klasik, sepanjang kehadiran survei opini publik di negeri ini, selalu mengemuka, ”apakah survei patut dipercaya?”. Gugatan sejenis kembali muncul sesaat setelah Kompas memublikasikan rangkaian hasil survei opini publik, 21-23 Februari 2022. Tiga tema pokok yang menjadi bahasan survei, penilaian publik terhadap kinerja kabinet pemerintahan Presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin, dinamika persaingan partai politik, dan popularitas sejumlah tokoh yang menjadi rujukan calon presiden, mencuatkan tanggapan pro dan kontra.
Bagi yang merasa sepakat dengan hasil survei, apresiasi terlontarkan.
Namun, sebaliknya yang tidak sepakat. Hasil survei dinilai rekaan semata. Ilusif, tidak mencerminkan kondisi masyarakat. Sebagian meragukan sisi metodologi. Ada pula yang menggugat motif editorial Kompas.
Kritik dan apresiasi jamak menyertai publikasi survei. Lebih dari tiga dekade Kompas, melalui unit Litbang Kompas, memproduksi dan memublikasikan survei, ketidakpuasan pada hasil surveinya biasa tersampaikan. Pada momen tertentu, ketidakpuasan kadang beralih menjadi ekspresi ketidakpercayaan. Tidak jarang pula dalam balutan kecaman upaya pengeksklusian terhadap produk pemberitaan Kompas dilontarkan.
Ajang Pemilu Presiden 2019, misalnya, menjadi catatan tersendiri. Lantaran tidak percaya terhadap hasil survei, tidak hanya satu pihak menolak, tetapi juga semua pihak yang bersaing politik kompak menegasikan survei Kompas.
Tersadari, inilah bagian dari risiko memanggungkan opini publik. Agregasi opini sekalipun dilakukan dalam prosedur yang semestinya kadang belum sepenuhnya dipercaya. Apalagi pada kekinian era keterbukaan di mana setiap kalangan berupaya mencari legitimasi pembenaran yang sesuai dengan keinginannya. Kebenaran menjadi semakin relatif. Namun, percayalah, bibit yang ditabur dalam prosedur semestinya tidak berbuah kesia-siaan. Terbukti pula, berjalannya waktu, sesaat hasil penghitungan suara Pemilu 2019 diumumkan, ketidakpercayaan terhadap survei Kompas luruh.
Survei Kompas tengah menjejak fase maturitas. Fase di mana kematangan metodologi, analisis hasil, dan interpretasi bertaut.
Dengan pengalaman yang dilalui, sejatinya survei Kompas tengah menjejak fase maturitas. Fase di mana kematangan metodologi, analisis hasil, dan interpretasi bertaut. Namun, sebagai langkah pembelajaran, kematangan semacam ini harus selalu siap diuji. Sejauh mana, misalnya, survei menemukan relevansinya di tengah mencuatnya sanggahan belakangan ini.
Forum ombudsman, yang dibentuk sebagai bagian kontrol publik terhadap praktik editorial Kompas, menjajakinya. Dalam diskusi terkait hasil survei, Jumat (18/3/2022), segenap persoalan terjelaskan. Keberadaan survei evaluasi pemerintahan, misalnya, tidak lepas dari kebijakan editorial yang memosisikan survei sebagai bagian dari pemantauan tata kelola pemerintahan. Pada setiap periode kepemimpinan negara, sejak era Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, hingga era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, hal ini konsisten dilakukan.
Dari sisi metodologi, survei periodik semacam ini relatif baku. Berbagai indikator persepsi publik dibangun dan dicermati perubahannya dalam satu satuan waktu tertentu (longitudinal survey). Acuan kriteria kualitas penelitian, baik terkait dengan validitas eksternal maupun internalnya, relatif ajek. Berbagai sisi keterbatasan survei, baik yang terkategorikan sampling error maupun non-sampling error, disadari.
Dalam publikasinya, seluruh temuan survei terurai pada 26 artikel pemberitaan yang bertaut satu sama lain pada semua platform media Kompas. Bagi pembaca Kompas edisi cetak, misalnya, 10 artikel tersajikan. Sementara sajian artikel survei bertambah menjadi 23 artikel pada Kompas e-paper. Semakin lengkap lagi menjadi 26 artikel yang termuat dalam Kompas.id. Jumlah itu belum termasuk 78 grafik.
Besaran jumlah artikel dan grafik survei yang terpublikasikan semata-mata didasarkan pada kelengkapan teks dan konteks persoalan yang dibahas. Terkait dengan penilaian kinerja kepemimpinan, misalnya, hasil survei menunjukkan adanya peningkatan kepuasan saat survei dilakukan (Januari 2022) dibandingkan dengan periode survei sebelumnya (Oktober 2021).
Pesan yang coba disampaikan, sekalipun kepuasan publik di saat survei dilakukan tinggi, bahkan tertinggi dibandingkan dengan periode penilaian sebelumnya, masih terdapat celah persoalan yang penting dibenahi di setiap bidang persoalan yang disurvei.
Dikatakan demikian lantaran dalam pencermatan survei, apresiasi publik yang tinggi tidak lepas dari pereduksian dampak pandemi yang semakin memungkinkan normalnya aktivitas keseharian masyarakat. Itulah mengapa selepas penanganan pandemi menjadi suatu tantangan yang tidak ringan dihadapi pemerintah, terutama tatkala menghadapi tuntutan penyelesaian masalah dalam standar kenormalan baru, seperti tren kenaikan harga barang kebutuhan pokok, kemiskinan, dan penegakan hukum yang problematik.
Hanya sayangnya, dalam pencatatan ombudsman, tidak semua pesan utuh tersampaikan. Diskontinuitas agenda setting terjadi. Tak semua pembaca pula dapat menyerap pesan bertaut yang tertabur pada setiap medium konvergen. Dalam keterbatasan semacam inilah penginterpretasian sepihak berlangsung. Setiap pembaca leluasa menafsirkan dan mengadili survei dengan perspektif yang dibangunnya.
Di tengah arus perdebatan survei, bagaimanapun penyelenggara survei layak menikmati buah pembelajaran ini. Bukankah jejak-jejak pendewasaan surveinya itu hanya akan tampak dari beragam tekanan persoalan yang dihadapinya?