Tanggung Jawab Partai Agama
Partai-partai agama perlu mengambil tanggung jawab secara nyata ke depan, salah satunya dengan tidak menggunakan isu-isu agama untuk memenangi pertarungan politik.
Memasuki tahun-tahun politik seperti sekarang, beberapa pertanyaan terkait partai-partai agama di Indonesia datang silih berganti di benak penulis; sejauh mana partai-partai agama akan menerapkan ”apa yang diyakini” oleh sebagian pihak sebagai kewajiban keagamaan dalam konteks bernegara? Apakah sampai pada tahap menjadikan ”beberapa hukum agama” sebagai hukum negara, seperti hukum potong tangan bagi pencuri, hukum rajam, hukum kisas, dan yang lainnya? Atau mungkin justru sampai ingin mengubah Indonesia sebagai negara Pancasila menjadi negara agama? Atau mungkin partai-partai agama hanya ingin mendapatkan dukungan dari umat dengan menggunakan isu-isu agama atau menjadikan agama sebagai asas partai?
Partai-partai agama yang dimaksud dalam tulisan ini tentu tidak hanya ditujukan untuk partai-partai berasaskan agama yang berhasil meloloskan para wakilnya menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Senayan, melainkan juga partai-partai berasaskan agama yang baru akan ikut serta dalam pemilu mendatang atau bahkan partai-partai berasaskan agama yang pernah ikut serta dalam pemilu-pemilu terdahulu (sebagai refleksi).
Mungkinkan ada beberapa pihak yang menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas secara positif. Dengan kata lain, ada pihak tertentu di kalangan partai-partai agama yang mungkin ingin menjadikan ”beberapa hukum agama” seperti di atas sebagai hukum negara. Begitu juga ada sebagian pihak di kalangan partai-partai agama yang mungkin ingin mengubah Indonesia sebagai negara Pancasila menjadi negara agama? Juga mungkin ada pihak tertentu di kalangan partai-partai agama yang hanya ingin mendapatkan dukungan dari umat dengan menggunakan isu-isu agama atau menjadikan agama sebagai asas partai. Berapa jumlah persisnya dari elite atau konstituen partai yang menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas secara positif? Mungkin hanya Allah dan pihak bersangkutan yang tahu pasti.
Baca juga: Tantangan Partai Islam
Dengan kata lain, sangat mungkin ada pihak tertentu di kalangan partai agama yang secara ideologis menginginkan penerapan beberapa hukum agama sebagai hukum negara dan atau bahkan sampai pada tahap ingin mengubah Indonesia menjadi negara agama. Keinginan ini tidak cukup hanya dipahami sebagai aspirasi belaka yang akan hilang ditimbun janji-janji surga elite partai, mengingat keinginan seperti ini acap dipahami sebagai kewajiban agama yang harus ditunaikan di mana pun, kapan pun, bahkan dengan cara apa pun (termasuk dengan cara-cara jihad). Meminjam istilah yang pernah disampaikan oleh seorang mantan pelaku terorisme, kewajiban menegakkan negara agama tak ada bedanya dengan kewajiban melakukan shalat bagi umat Islam.
Sementara di sisi yang lain, mungkin ada pihak tertentu di kalangan partai agama yang secara pragmatis hanya ingin mendapatkan kemenangan semata. Daripada terlibat perdebatan berkepanjangan terkait dengan hukum-hukum agama dalam konteks negara ataupun terkait bentuk negara menurut agama, lebih baik memanfaatkan ”keyakinan politik agama” yang sudah ada untuk mendapatkan dukungan secara elektoral dan meraih kemenangan secara politik. Hal terpenting partai menang dan masuk ke Senayan.
Mungkin ada pihak tertentu di kalangan partai agama yang secara pragmatis hanya ingin mendapatkan kemenangan semata.
Jawaban dengan nuansa ideologis ataupun pragmatis atas pertanyaan-pertanyaan di atas sama-sama negatif dan destruktif. Dalam hal ideologis, contohnya, hampir pasti Indonesia berada dalam bayang-bayang perpecahan (sebagaimana akan diuraikan di bawah ini). Sementara dalam hal pragmatis, hal ini hanya akan memupus harapan, tidak hanya kepada elite partai-partai agama, tetapi juga kepada elite-elite bangsa secara umum. Mengingat pragmatisme hanya akan memperkaya diri sendiri dan kelompoknya yang tak jarang membuat pelakunya masuk penjara karena korupsi.
Bagi kelompok yang belum menerima NKRI-Pancasila, semua ini tidak membuktikan apa pun kecuali kegagalan konsep sekaligus praktik NKRI-Pancasila yang menjamin religiusitas secara personal dan keadilan sosial secara komunal. Dikatakan demikian karena kelompok ekstrem selama ini kerap menganggap NKRI-Pancasila sebagai thaghut secara konsep. Sementara pragmatisme bisa membuat ke-thaghut-an NKRI-Pancasila terbukti secara praktik.
Indonesia rapuh
Dalam konteks keterbukaan informasi seperti sekarang, elemen ideologis seperti di atas sangat berbahaya. Sebab, dimensi ideologis seperti ini bisa dikemas menjadi narasi yang membenturkan hal-hal yang bersifat keagamaan dengan hal-hal yang bersifat kebangsaan; agama versus negara, kitab suci versus konstitusi, hukum Tuhan versus hukum manusia, dan seterusnya. Keterbukaan informasi yang tidak diimbangi dengan penguatan wawasan serta kesadaran kritis hanya menjadi lapangan luas untuk adu domba tak terbatas di antara elemen masyarakat hingga terjadi pro-kontra yang tidak pernah berkesudahan dengan keterbelahan masyarakat yang semakin hari terlihat semakin nyata.
Hal yang harus diperhatikan, kelompok-kelompok yang menginginkan Indonesia menjadi negara agama bukanlah hanya muncul belakangan, melainkan sudah ada semenjak awal Indonesia dirumuskan dan diperjuangkan. Tantangan yang ada pun lebih kurang sama antara di masa-masa awal kemerdekaan dan di masa-masa sekarang; yaitu bahwa negara agama akan mengakhiri Republik ini. Keberadaan Piagam Jakarta yang seumur jagung bisa menjadi salah satu contoh nyata dari ancaman di atas; di mana Piagam Jakarta akhirnya tidak diberlakukan lagi setelah adanya ancaman untuk mendirikan Indonesia tersendiri.
Kelompok-kelompok yang menginginkan Indonesia menjadi negara agama bukanlah hanya muncul belakangan, melainkan sudah ada semenjak awal Indonesia dirumuskan dan diperjuangkan.
Persoalannya adalah kelompok yang menginginkan Indonesia menjadi negara agama akhirnya menerima dibuangnya tujuh kata dari konstitusi bukan semata-mata karena perubahan ideologis (menerima bahwa negara agama bukan sebuah keharusan secara agama), melainkan karena ”janji perjuangan” di kemudian hari, yaitu bahwa hal itu bisa diperjuangkan kembali di kemudian hari. ”Bukankah undang-undang ini bersifat sementara”, demikian lebih kurang bujukan Kasman kepada Ki Bagus Hadikusumo yang menolak keras usulan mengganti atau menghapus tujuh kata dari konstitusi (Solahudin, NII Sampai JI: 2011; 57).
Dalam hemat penulis, inilah sisi rapuh Indonesia yang selama ini terus diperkuat oleh para pendiri bangsa melalui dialog dan kompromi, setahap demi setahap. Dalam konteks sekarang, kerapuhan ini akan semakin rawan manakala ada pihak yang mengesankan paling NKRI daripada yang lain, lebih Pancasilais daripada yang lain. Padahal, NKRI dan Pancasila yang sesungguhnya adalah manakala semua pihak tetap berada di bawah naungan NKRI dan Pancasila seperti sekarang, termasuk kelompok-kelompok yang mungkin menentang Pancasila atau NKRI itu sendiri.
Persis di sinilah, keberadaan partai-partai agama bisa menambah kerapuhan Indonesia, khususnya manakala menggunakan isu-isu agama dalam pertarungan politik. Terlebih lagi jika sampai memberikan kesan bahwa pada saatnya nanti negara agama bisa ditegakkan di Indonesia.
Tanggung jawab
Oleh karena itu, dalam hemat penulis, partai-partai agama perlu mengambil tanggung jawab secara nyata ke depan. Minimal dalam bentuk tiga hal utama. Pertama, tidak menggunakan isu-isu agama untuk memenangi pertarungan politik yang ada, baik dalam konteks pemilu legislatif di semua tingkatan maupun pemilu presiden/kepala daerah di semua tingkatan. Sebab, sebagaimana pernah disampaikan oleh kritikus gerakan politik Islam di Mesir, Muhammad Said Asymawi, walaupun kemasannya agama, isi di dalamnya tetaplah politik. Walaupun jargonnya tentang syariat atau hukum Islam, hakikatnya tetap tentang kekuasaan (Al-Islam As-Siyasiy, 1996: 24).
Kedua, merevisi asas partai. Sejatinya partai-partai agama merevisi sendiri asas partainya, dari asas agama ke asas non-agama. Hal ini bukan dimaksudkan untuk meninggalkan agama, melainkan untuk menghindarkan potensi munculnya narasi yang membenturkan agama dan negara atau antara kitab suci dan konstitusi sebagaimana dijelaskan di atas.
Revisi ini sejatinya dilakukan sendiri oleh internal partai agama, tidak boleh diwajibkan oleh negara di semua lembaganya. Hal ini penting dilakukan agar tidak menimbulkan kesan pemaksaan ataupun pewajiban dari negara kepada warganya yang bisa dianggap memasung kebebasan warga.
Baca juga: Negara, Agama dan Rakyat
Ketiga, partai politik melakukan edukasi yang terencana dan terus-menerus terkait hubungan antara negara dan agama, sesuai dengan keyakinan agama masing-masing. Hal ini penting dilakukan untuk memermanenkan hubungan yang harmonis antara agama dan negara dalam bingkai Pancasila dan NKRI.
Dalam Islam, misalnya, tidak ada larangan spesifik untuk mendirikan negara agama (Islam), baik dalam Al Quran maupun Hadis Nabi Muhammad SAW. Namun, juga tidak ada perintah spesifik untuk menegakkan negara agama (Islam), baik dalam Al Quran maupun dalam Hadis Nabi Muhammad SAW.
Dengan kata lain, negara agama dalam Islam tidak diwajibkan laiknya shalat ataupun ibadah lainnya. Tetapi, negara agama juga tidak diharamkan laiknya minuman keras ataupun makanan terlarang lainnya. Negara dalam Islam masuk dalam kategori ijtihady (persoalan ijtihad) yang dibangun bukan atas dasar wajib atau haram, melainkan atas pertimbangan kemaslahatan atau menghindari mafsadat (mana yang lebih banyak manfaatnya).
Partai politik melakukan edukasi yang terencana dan terus-menerus terkait hubungan antara negara dan agama.
Karena kalau ada ayat Al Quran ataupun hadis yang mengharamkan atau mewajibkan bentuk negara agama maka para ulama akan melakukan ini secara mufakat. Faktanya tidak ada dalil demikian dalam Al Quran ataupun Hadis. Karena itu, para ulama masuk ke ranah ijtihad dan menghasilkan pelbagai macam perbedaan pandangan. Singkat kata, dalam persoalan bentuk negara, yang menjadi pertimbangan dalam Islam bukan soal wajib atau haram, melainkan soal kemaslahatan yang lebih banyak (jalbul manfaah) atau menghindari potensi kemudaratan (daf’u ad-dharor).
Inilah lebih kurang yang bisa dipahami ketika para tokoh Islam pendiri bangsa menerima NKRI dan bahkan merelakan penghapusan tujuh kata dari konstitusi. Mengingat tanpa NKRI maka yang hampir terjadi adalah perpecahan. Pun demikian, apabila Piagam Jakarta dilanjutkan, perpecahan sangat terbayang di depan mata.
Baca juga: Menghindari Jebakan Eskatologis
Oleh karena itu, partai-partai agama, partai-partai nasionalis, konstituen partai, dan para elite bangsa secara umum harus melakukan upaya agar NKRI dan Pancasila bisa semakin kokoh diterima di kalangan pengikut agama-agama yang ada di Indonesia. Bukan justru membenturkan NKRI-Pancasila dengan agama yang ada, bersikap represif semata-mata terhadap kelompok agama yang belum menerima NKRI-Pancasila, terlebih lagi mengklaim diri sendiri lebih NKRI dan lebih Pancasilais daripada kelompok lain.
Hasibullah Satrawi, Alumnus Al-Azhar Kairo, Mesir; Pengamat Terorisme dan Dunia Islam