Rekonstruksi Indikator Kesejahteraan
Ukuran kesejahteraan internasional, seperti Human Development Index dan SDGs, harus ditinjau kembali. Indeks-indeks itu dikembangkan berdasarkan asumsi yang tak begitu relevan lagi dalam situasi ketidakpastian ini.
Pandemi Covid-19 membawa perubahan besar dalam banyak aspek di banyak negara di dunia. Berbagai strata ekonomi terkena dampak penurunan pendapatan karena pembatasan kegiatan. Penurunan pendapatan ini mempengaruhi daya beli dan jangkauan pelayanan dasar.
Sudah banyak data yang mengangkat ketimpangan akses pendidikan dan perlindungan kesehatan diri dari penularan, seperti sanitasi dan air bersih, yang mudah terjangkau. Bank Dunia, misalnya, menunjukkan pada 2020 ada tambahan 100 juta orang miskin secara global. Di Indonesia, laporan BPS September 2020 menunjukkan peningkatan kemiskinan lebih dari 10 persen. Golongan yang paling terdampak adalah yang berdesakan di sektor ekonomi informal di perkotaan. Data dari Bank Dunia 2021 menunjukkan 40 persen berpenghasilan terendah belum dapat bangkit.
Pemerintahan di pelbagai belakang dunia harus fokus pada paradoks ganda mengontrol pandemi dan menjaga perputaran roda ekonomi serta mengatasi keadaan deprivasi akibat pandemi. Tekanan kondisi ini membuat banyak negara belum dapat fokus pada strategi baru pengembangan ekonomi untuk kesejahteraan lebih luas, apalagi bicara mengenai strategi global menciptakan pembangunan global. Ini menimbulkan masa depan kesejahteraan bangsa-bangsa, dalam perspektif kesejahteraan yang inklusif, berada dalam ketidakpastian,
Baca juga: Jurang Ketimpangan Pascapandemi Covid-19
Pandemi pasti mengubah basis sosial ekonomi yang ada. Perubahan kebutuhan masyarakat jelas terjadi karena menyesuaikan dengan tekanan pada aspek kesehatan. Juga terjadi tekanan penggunaan digital dalam berbagai bentuk kegiatan ekonomi. Terjadi penciutan di banyak sektor ekonomi yang sebagian di antaranya tidak dapat bangkit lagi, tetapi juga menimbulkan kesempatan besar bagi golongan ekonomi lain yang karena kekuatan modal atau sektornya menjadi sangat diuntungkan pada masa pandemi.
Perdagangan biasanya menjadi penyelamat ekonomi di negara berkembang, seperti sektor informal pada masa krisis ekonomi Indonesia. Namun, saat ini pandemi yang mempercepat digitalisasi bisa membuat situasi ketimpangan. Hal ini disebabkan bahwa ekonomi platform cenderung menghasilkan ”the winners take all”, sedangkan basis ekonomi lain di sektor riil tertahan perkembangnya. Sebagian ini merupakan alasan di balik fenomena mengecilnya ”golongan menengah”.
Namun, saat ini pandemi yang mempercepat digitalisasi bisa membuat situasi ketimpangan.
Jika di waktu yang lalu upaya pemerataan pendidikan, antara lain, dengan menyediakan akses terhadap sekolah, saat ini bahkan akses pada sekolah melalui digital saja tidak cukup. Persoalannya adalah di luar kesenjangan digital. Anak-anak membutuhkan kecakapan memanfaatkan tehnologi untuk hidup di masyarakat digital, yang tidak diperolehnya dari sekadar kurikulum sekolah. Kondisi rumah tangga golongan ekonomi lemah banyak yang tidak mendukung situasi berkembangnya kecakapan di atas.
Perlu ditinjau
Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa ukuran kesejahteraan internasional, seperti Human Development Index dan Sustainable Development Goals, harus ditinjau kembali. Indeks-indeks tersebut dikembangkan berdasarkan asumsi-asumsi yang tidak begitu relevan lagi.
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) mempunyai 17 tujuan kesejahteraan. Banyak dari 17 tujuan tersebut yang langsung terdampak oleh pandemi, seperti pendapatan, kesempatan kerja yang layak, kesehatan dan sanitasi, serta pendidikan yang baik. SDGs merupakan indikator kesepakatan yang dianggap realistis untuk suatu kondisi pendanaan di banyak negara. Tentu kesepakatan memiliki beberapa kegunaan, yang terpenting adalah dengan adanya ukuran dapat mendorong komitmen dan akuntabilitas para pengambil kebijakan. Namun, kelemahannya adalah pemaknaan indikator.
Persoalan pertama adalah SDGs itu sendiri sebenarnya tidak mempunyai basis ilmiah yang kuat yang dapat bagaimana antartujuan memperkuat satu sama lain. SDGs tidak menyediakan pemikiran ilmiah yang kuat bagaimana peningkatan pencapaian memang sungguh berarti kesejahteraan.
Baca juga: Pembangunan Berkelanjutan
Persoalan kedua, validitas dari indikator. Sebagai contoh, dalam SDGs terdapat tujuan peningkatan pendidikan yang diukur dari partisipasi dan level pendidikan. Dalam kenyataannya, seberapa jauh keduanya membawa kesejahteraan terkait pada kualitas dan relevansi pendidikan dalam konteks persoalan masyarakat tersebut. Indonesia mencatat peningkatan angka partisipasi sekolah, tetapi kualitasnya terlihat buruk di indikator internasional, seperti Programme for International Student Assessment (PISA). Indikator PISA banyak terkait dengan kemampuan memahami masalah.
Tetapi, itu pun hanya satu dari tiga komponen yang dibutuhkan jika pendidikan bisa menjadi pendorong perubahan: pengetahuan memahami persoalan dan perbaikannya; sikap sosial seperti kolaborasi, integritas, moral; dan sikap kreatif dan inovatif. Pembangunan itu adalah proses, apalagi untuk negara berkembang seperti Indonesia. Ketiga komponen itu bekerja dalam organisasi/lembaga yang ada untuk berbagai macam perbaikan.
Global Innovation Index menempatkan Indonesia 85 dari 131 negara yang diukur dari alokasi riset dan pengembangan. Perhatian pada riset yang sistematis juga sangat rendah, menunjuk pada tata kelola riset dan alokasi dana (hanya sekitar 0,3 persen APBN, kurang dari seperempat alokasi yang dimiliki Malaysia).
Persoalan ketiga adalah penyesuaian pada konteks. Tiap negara, bahkan satu negara dengan kompleksitas besar seperti Indonesia, tidak bisa mengambil satu model dari pencapaian tujuan kesejahteraan. Kembali pada konteks pendidikan, keragaman menurut daerah menuntut keragaman isi dan metode pengajaran, agar para siswa menjadi kekuatan perubahan di daerahnya sendiri, bukan menjadi beban di tingkat lokal. Mungkin satu daerah membutuhkan sekolah kejuruan lebih banyak dari daerah lain.
Keragaman ini juga dibutuhkan pada tingkat akademi/universitas. Sebagian universias dikembangkan untuk dapat terlibat dalam persoalan riset isu global (industri, kesehatan, lingkungan). Tetapi sebagian lagi harus diperkuat agar dapat memecahkan masalah lokal, seperti pemahaman karakter kemiskinan, akar konflik, dan pengelolaan sumber daya lokal.
Barangkali ada yang beragumen bahwa indikator semacam yang ada di SDGs tetap dapat digunakan dalam masa dan setelah pandemi. Namun, selain berbagai persoalan yang disebut di atas, kerangka SDGs dibuat dalam situasi kelembagaan di dunia yang lebih stabil. Saat ini terjadi guncangan dan penyesuaian besar akibat pandemi dan penggunaan digital. Artinya, bentuk-bentuk pengorganisasian dan lembaga baru di bidang sosial, ekonomi, bahkan tata kelola pemerintahan sedang atau harus berubah.
Kerangka SDGs dibuat dalam situasi kelembagaan di dunia yang lebih stabil. Saat ini terjadi guncangan dan penyesuaian besar akibat pandemi dan penggunaan digital.
Sudah saatnya Indonesia dan negara lain merekonstruksi indikator kesejahteraan dalam situasi ketidakpastian ini. Selain memperbaiki masalah validitas dan keragaman konteks, ada satu hal mendasar yang perlu sekali dimasukkan, yaitu perspektif penanganan risiko, dengan berbagai tingatannya. Tujuannya adalah menghasilkan ketahanan sosial ekonomi. Dalam skala guncangan yang dihadapi saat ini, risiko yang dihadapi banyak negara adalah risiko kesehatan publik, pengangguran, dan eksklusi ketenagakerjaan (termasuk prekariat), kerentanan rantai pasok, dan kerusakan lingkungan (akibat semakin tidak solidnya penanganan).
Negara-negara maju mempunyai sumber daya dan kematangan institusional untuk melakukan penyesuaian organisasi dan kelembagaan, seperti membangun rantai pasok di tingkat wilayah. Beberapa negara, contohnya China, bahkan menerapkan resiliensi tingkat perencanaan (trajectory), bukan lagi resiliensi adaptif, yang hanya bisa dilakukan pada negara dengan kapasitas riset yang kuat dan negara yang mampu memfasilitasi. Negara ini, misalnya, menyiapkan penggunaan kecerdasan buatan untuk pelayanan kesehatan yang lebih luas ke depan.
Baca juga: Mengukur Efektivitas Kebijakan Fiskal Ekspansif di Masa Pandemi
Untuk Indonesia, di tingkat lokal sangat dibutuhkan resiliensi adaptif lokal untuk penanganan kesehatan dan pembangunan ekonomi. Saat ini levelnya umumnya daerah baru berada pada membangun ketahanan dasar. Kontrol risiko baru meliputi upaya pencegahan meluasnya pandemi dengan menggunakan apa yang sudah ada (termasuk digitalisasi pelayanan).
Pemerintah daerah masih belum mampu memperhitungkan risiko lanjutan akibat pandemi, seperti pengulangan serangan virus, munculnya “generasi yang hilang”, frustasi sosial kaum muda, atau hilangnya basis sumber daya kegiatan ekonomi sebelum pandemi tanpa bisa bangkit. Resiliensi adaptif membutuhkan karakter birokrasi yang mampu membangun energi mayarakat, lalu menyesuaikan kebijakan sosial ekonominya.
Resiliensi tingkat perencanaan diharapkan datang dari pemerintah pusat karena sumber daya dan wewenang yang lebih luas. Misalnya, pemerintah pusat sudah punya rancangan untuk memperkirakan risiko tertinggalnya Indonesia dalam struktur ekonomi yang baru.
Meuthia Ganie Rochman, Sosiolog Organisasi; Mengajar di Universitas Indonesia