Takdir geografis seperti ini, perspektif geopolitik dan geoekonomi menempatkan Ukraina di posisi terjepit antara Rusia dan UE. Mengingatkan pada pepatah lama: dua gajah berkelahi, pelanduk mati di tengah.
Oleh
DARMANSJAH DJUMALA
Β·5 menit baca
Heryunanto
Kekhawatiran itu akhirnya terjadi: Rusia menyerang Ukraina. Tatkala fajar menyingsing di langit Ukraina, 24 Februari lalu, militer Rusia menyerbu dari darat, laut, dan udara. Tentara Rusia merangsek ke Ukraina dari tiga titik: dari utara di perbatasan Belarus, dari selatan melalui Crimea dan Odessa, dari timur melalui Luhansk, Sumy, dan Kharkiv.
Menembakkan rudal jelajah dan balistik ke titik sasaran strategis, instalasi militer, dan pangkalan udara di 17 wilayah di sekujur Ukraina. Banyak pihak sudah menduga pecahnya perang yang merupakan kulminasi konflik yang sudah berjalan delapan tahun. Konflik sejatinya berpusar pada tarikan kepentingan dua kekuatan besar yang memengaruhi orientasi politik luar negeri Ukraina: Rusia di timur dan Uni Eropa (UE) di barat.
Kepentingan dua gajah
Takdir geografis seperti ini, perspektif geopolitik dan geoekonomi, menempatkan Ukraina di posisi terjepit antara Rusia dan UE. Mengingatkan pada pepatah lama: dua gajah berkelahi, pelanduk mati di tengah. Jika dua gajah (Rusia dan UE) berkompetisi, si pelanduk (Ukraina) salah langkah bisa mati.
Tarikan kepentingan dua gajah itu di Ukraina bisa dipindai setidaknya dari tiga sudut amatan. Pertama, terkait pergulatan kepentingan politik domestik. Publik internasional mafhum, setelah merdeka dari Uni Soviet, elite Ukraina terbelah dalam orientasi politik luar negeri: pro-Moskwa dan pro-UE. Tengok saja demonstrasi anti-Victor Yanukovich, presiden kala itu yang pro-Moskwa, akhir 2013.
Jika dua gajah (Rusia dan UE) berkompetisi, si pelanduk (Ukraina) salah langkah bisa mati.
Ia menolak kerja sama perdagangan dengan UE. Dia lebih memilih dekat ke Rusia. Akibatnya, dia digulingkan oleh demonstrasi yang menuntut Ukraina lebih dekat ke UE. Yanukovich digantikan Petro Poroshenko, yang segera melakukan langkah politik yang sangat krusial: jadi anggota UE dan NATO. Bandul politik luar negeri Ukraina mengayun ke barat, jatuh dalam orbit pengaruh UE.
Kedua, dalam timbangan geostrategis, Ukraina sangat penting bagi UE, terutama dalam konteks perluasan keanggotaan ke Eropa Timur. Ukraina bisa jadi garda terdepan menghadapi pengaruh Rusia. Dengan wilayah hampir dua kali luas Polandia dan penduduk 47 juta dan kaya sumber alam, Ukraina terlalu penting untuk dibiarkan di bawah bayang-bayang Rusia.
Jika Ukraina jadi anggota, posisi tawar UE vis a vis Rusia jadi lebih kuat. Tampaknya ambisi UE mendekap Ukraina tak hanya sebatas bidang politik dan ekonomi. Ukraina harus ditarik ke dalam NATO untuk jadi buffer zone menghadapi ancaman militer Rusia. Dalam konteks ini bisa dimengerti mengapa UE, didukung AS, ngebet menarik Ukraina jadi anggota NATO.
Ketiga, pun sebaliknya bagi Rusia, Ukraina tak boleh dibiarkan jatuh ke dalam pengaruh UE. Dari pecahan Soviet, Ukraina adalah salah satu negara besar dan kaya sumber alam. Sampai 2014, Ukraina bersama Belarus penopang utama gengsi politik Rusia di Eropa.
Setelah negara bekas sosialis-komunis, seperti Polandia, Hongaria, Ceko, Slowakia, Romania, Bulgaria, negara Balkan, dan negara Baltik, menjadi anggota UE, reputasi politik Rusia seakan-akan terlecehkan. Jatuh ke titik nadir. Dari takaran geopolitik, lepasnya pengaruh atas negara bekas sosialis-komunis itu masih bisa ditoleransi.
Namun, tidak untuk Ukraina. Bagi Rusia, Ukraina dan Belarus adalah batas toleransi terhadap perluasan keanggotaan UE ke timur. Rusia juga sangat butuh Ukraina, yang di bagian selatannya ada Crimea di tepi Laut Hitam. Laut Hitam memberi Rusia akses untuk lalu lintas perdagangan ke Laut Tengah, yang menghubungkannya dengan Eropa belahan barat serta ke Afrika dan Timteng.
Dari Laut Hitam ini armada laut Rusia bisa leluasa mengawasi UE dari tepi barat Laut Hitam, melalui Romania dan Bulgaria. Dalam konteks kepentingan geostrategis inilah Rusia langsung mencaplok Crimea segera setelah Ukraina dipimpin presiden yang pro-UE.
Tindakan tak bersahabat Kiev pada orang dekat Putin ini kian menegaskan bandul politik luar negeri Ukraina makin berayun ke UE.
Mengapa sekarang?
Selain pertimbangan geopolitik, dalam observasi pengamat politik Johns Hopkins University, Maria Snegovaya, paling tidak ada tiga perkembangan politik di Ukraina yang membuat Rusia tak sabar menginvasi Ukraina (βWhy is Putin Acting Now?β, Foreign Policy, 26/1/2022).
Pertama, indikasi Ukraina bakal jatuh ke pangkuan NATO kian jelas. Pada 2016, NATO memberikan comprehensive assistance package untuk Ukraina, berisi 16 jenis bantuan keamanan dan pertahanan. Pada 2018, AS mengirim rudal antitank jenis Javelin, diikuti Turki menyuplai pesawat tempur nirawak (combat drones) Bayraktar TB2. Pasokan senjata pembunuh dari NATO untuk Ukraina ini dipandang Rusia merupakan ancaman nyata bagi keamanannya.
Kedua, hubungan Ukraina-Rusia diperburuk oleh perlakuan Kiev terhadap tokoh kepercayaan Putin di Ukraina, Viktor Medvedchuk. Ia miliuner Ukraina pro-Rusia yang dicurigai mendukung pendudukan Rusia atas Crimea dan gerakan separatisme di Ukraina Timur.
Akibat sikap politiknya itu, Ukraina membekukan asetnya dan melarangnya berbisnis. Bahkan tiga stasiun televisinya yang kerap menayangkan propaganda pro-Rusia ditutup. Tindakan tak bersahabat Kiev pada orang dekat Putin ini kian menegaskan bandul politik luar negeri Ukraina makin berayun ke UE. Ini tak disukai Putin.
Ketiga, sejak Ukraina berubah haluan ke UE pada 2014, Rusia langsung menduduki Crimea dan mencaplok dua provinsi di timur Ukraina, Luhansk dan Donetsk, dan mendukung pejuang separatisme di sana. Rusia mendesak Ukraina agar dua provinsi ini diberi hak otonomi khusus, baik di bidang ekonomi maupun sosial-budaya.
KOMPAS/SUPRIYANTO
Supriyanto
Mengingat mayoritas penduduk dua provinsi itu keturunan Rusia, Ukraina melihat usul otonomi khusus untuk kedua provinsi itu dalam jangka panjang menyimpan bom waktu: pemisahan diri dari Ukraina dan pro-Rusia. Tak ayal, Ukraina menolak usul otonomi. Pada titik ini rasa saling curiga makin membuhul, mendorong Rusia mempercepat mengakui kemerdekaan kedua provinsi itu dan kemudian menyerang Ukraina.
Sepertinya pemimpin Ukraina gamang menghadapi tarikan politik dua kekuatan itu. Pelajaran apa yang bisa ditarik dari konflik Ukraina-Rusia ini? Satu hal yang pasti: justru pada saat terjepit di antara dua gajah, politik bebas-aktif menampakkan relevansinya. Konstelasi politik global memang berubah dari saat ketika politik bebas-aktif mulai dipakai Indonesia. Namun, yang berubah itu hanya aktornya, yaitu negara-negara yang berpengaruh dalam politik global.
Adapun sifat dan karakter hubungan antarnegara tetap, tak berubah: saling memengaruhi, tarik-menarik kepentingan dan kekuatan antarnegara. Tak terkecuali di Eropa. Jika pemimpin Ukraina tak cermat dan bijak menempatkan diri dalam tarikan kepentingan dua gajah, bukan tak mungkin dunia akan menyaksikan Ukraina menjadi pelanduk di bumi Eropa.
Darmansjah Djumala, Dubes RI untuk Austria dan PBB (2017-2021), Dosen Hubungan Internasional FISIP Unpad, Bandung