Kecanggihan teknologi membawa kita dihadapkan pada perang generasi ke-6, yaitu perang yang melibatkan teknologi terkini, kecerdasan buatan, satelit, dan robotik. Peningkatan kualitas SDM mutlak.
Oleh
ADJIE SURADJI
·5 menit baca
Kekhawatiran ketegangan geopolitik di Ukraina telah berubah menjadi ketakutan, menyusul invasi skala besar Rusia (24/2/2022), hingga memicu terjadinya perang. Di era postmodernisme ini, perang fisik seperti yang terjadi di Afghanistan, Suriah dan beberapa negara Timur Tengah lainnya sebenarnya sudah mulai ditinggalkan. Kecanggihan teknologi membawa masyarakat dunia akan dihadapkan pada perang generasi ke-6, yaitu perang yang melibatkan teknologi terkini, kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), satelit, dan robotik.
Ini mengisyaratkan bahwa perang sudah melampaui cara-cara konvensional, tak harus lagi saling berhadapan atau face to face seperti terjadi dalam perang generasi pertama. Meskipun di beberapa belahan dunia masih terjadi perang ”klasik” tersebut, itu lebih bersifat sektoral dan hanya dalam konflik skala lokal (Afghanistan, Suriah, Yaman, hingga Sudan, dan Etiopia).
Bagaimana Indonesia?
Seperti negara-negara lainnya, Indonesia diniscayakan juga akan dihadapkan atau menghadapi ancaman perang generasi ke-6, yang merupakan perang generasi terbaru. Salah satu ciri perang generasi ke-6 adalah kendali sensor C4ISR (command, control, communication, computer, intelligence, surveillance, and reconnaissance), yang merupakan sistem pertahanan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan penginderaan (radar dan satelit), termasuk penguasaan mindset dan opini masyarakat.
Oleh sebab itu, perang generasi ke-6 tak hanya berbicara peralatan perang dan perlengkapan militer semata (electronik intelijen, siber, satelit/ELINT, electronic control and measurement/ECM, network EW/electronic warfare, dan remotely operated), tetapi juga war over space of mind (perang generasi ke-5). Yaitu, mempengaruhi opini dan pikiran rakyat lewat penyesatan, pengelabuan informasi, hingga blackpropaganda juga menjadi esensi primer dalam konteks strategi memenangi perang.
Karena sasaran war over space of mind adalah manusia (Indonesia), membentengi sumber daya manusia (SDM) dengan meningkatkan kualitas pemahaman Pancasila sebagai ideologi negara dan UUD 1945 sebagai konstitusi dan sumber hukum tertinggi dalam berbangsa dan bernegara menjadi penting.
Sayang, rendahnya tingkat literasi (Program for International Student Assessment/PISA: Organization for Economic Co-operation and Development/OECD, 2019, menempatkan Indonesia berada di peringkat ke-62 dari 70 negara), tak hanya membawa bangsa Indonesia tertinggal dalam kompetisi global dan daya saing (The Global Competitiveness Report: World Economic Forum, 2019), menempatkan Indonesia berada di peringkat ke-50 dari 141 negara, di bawah Malaysia, Thailand, dan Singapura), namun untuk beradaptasi saja bangsa Indonesia masih membutuhkan proses panjang.
Namun untuk beradaptasi saja bangsa Indonesia masih membutuhkan proses panjang.
Padahal ke depan, penguasaan teknologi dan informasi adalah mutlak diperlukan seiring dengan perkembangan persenjataan militer yang menuntut standardisasi dan spesialisasi dalam mengoperasikan suatu produk (sistem senjata).
Dengan demikian, SDM berkualitas atau SDM profesional, di dukung industri pertahanan memadai, teknologi persenjataan modern, dan stabilitas sosial politik, dan kekuatan ekonomi menjadi kata kunci yang mencerminkan kesiapan suatu negara (Indonesia) dalam menghadapi perang generasi ke-6.
Pelajaran berharga
Pelajaran berharga yang bisa dipetik dari perang di Eropa Timur antara Ukraina dan Rusia adalah momentum untuk preparadness (kesiapsiagaan) bangsa Indonesia dalam memanfaatkan waktu ”di masa damai” ini untuk mempersiapkan diri menghadapi perang generasi ke-6.
Tentu bukan hanya peralatan dan perlengkapan militer saja yang dibangun (alutsista/alat utama sistem persenjataan), melainkan juga stabilitas sosial politik dan SDM.
Bagaimanapun, realitas yang ada, sebagai negara yang mewakili demokrasi dan pluralitas agama di dunia, Indonesia justru terjebak (atau dijebak?) dalam persoalan internal (social problem) yang tak produktif dan menguras energi. Tampilnya kelompok keagamaan konservatif dan radikal belakangan ini merupakan bukti nyata betapa sulit dan beratnya mengubah ”mindset bangsa” agar menjadi bangsa yang merdeka dalam arti seutuhnya, yaitu merdeka yang mewadahi empat dimensi, yaitu secara fisik, mental, sosial emosional, dan spiritual (Brosur Kearah Indonesia Merdeka, Bung Hatta, 1932).
Terlepas dari kebijakan politik, kehidupan keberagamaan bangsa Indonesia belakangan ini justru semakin menakutkan dan mengerikan, dalam konteks heterogenitas dalam masyarakat demokrasi. Eksistensi agama untuk senjata politik dan komoditas bisnis sudah bukan rahasia lagi. Persatuan Indonesia, seperti yang termaktub dalam sila ke-3 dari Pancasila yang sering digambarkan dalam bentuk toleransi, realitasnya hanya ”indah” jika dilihat dari jendela menara gading.
Tak hanya toleransi berbasis keagamaan di level grassroots (akar rumput) yang masih buruk, belakangan ini narasi-narasi politik yang berbasis agama selalu menjadi polemik, trending topic, hingga pemantik gerakan massa jalanan (demonstrasi).
Dari pernyataan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tentang 198 pondok pesantren (ponpes) yang terafiliasi dengan jaringan terorisme hingga pernyataan Menteri Agama terkait azan dan volume pengeras suara (rumah ibadah) telah menimbulkan polemik yang tak berujung.
Pertanyaan rasional, kenapa akhir-akhir ini bangsa Indonesia menjadi sangat ”sensitif” jika dihadapkan pada pernyataan-pernyataan yang menyangkut persoalan agama?
Professor Robert W Hefner, Director of the Institute on Culture, Religion, and World Affairs in the Pardee School of Global Studies Boston University, Amerika Serikat, dalam bukunya berjudul Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia (2000) menuliskan bahwa di Indonesia, agama (Islam) memiliki posisi strategis karena telah menjadi bagian integral dalam kehidupan masyarakat, layaknya makanan pokok mereka, beras.
Oleh sebab itu jika eksistensi agama (Islam) selalu menjadi isu politik yang sensitif, itu sebenarnya bukan hal aneh. Dan, barangkali, pernyataan Robert W Hefner, benar.
Hanya, yang sulit dipahami dengan akal sehat adalah ketika seluruh bangsa di dunia terus berjuang meningkatkan kualitas SDM untuk memenangi kompetisi global dan daya saing dalam menghadapi perang generasi ke-6, kenapa bangsa Indonesia justru semakin menenggelamkan diri dengan urusan pengeras suara masjid!
Adjie Suradji,Alumnus Fakultas Sains, Universitas Karachi, Pakistan