Muda(h) Bekerja di Laut
Anak muda, perempuan, dan ekonomi hijau akan menjadi penggerak ekonomi Indonesia ke depan. Pembenahan ekosistem bekerja di laut menjadi kunci.
Salah satu tantangan terbesar Indonesia ke depan ialah menyediakan sebesar-besarnya lapangan pekerjaan untuk menyerap sebanyak-banyaknya generasi muda di Tanah Air. Peluangnya ada di laut.
Laporan Badan Pusat Statistik menunjukkan angka pengangguran di Indonesia per Agustus 2021 sebanyak 9,10 juta orang atau bertambah lebih dari 2 juta orang sejak Covid-19 memasuki kepulauan Indonesia. Dalam kondisi normal, setiap tahun ada sekitar 2,9 juta usia kerja-baru masuk ke pasar tenaga kerja.
Tanpa memperbaiki ekosistem tenaga kerja di laut, mustahil ”ekonomi darat” cukup untuk menyerap derasnya arus tenaga kerja nasional ke depan. Data Badan Informasi Geospasial (BIG) merinci, luas laut Indonesia 6,4 juta kilometer persegi atau tiga kali lebih besar daripada luas darat.
Baca juga: Tantangan Tiada Henti Pekerja Muda di Masa Pandemi
Terdapat 11 subsektor ekonomi kelautan Indonesia dengan potensi keseluruhan diperkirakan mencapai 1.338 miliar dollar AS per tahun. Tiga di antaranya sudah digarap meski belum optimal, masing-masing adalah subsektor perikanan, pariwisata, dan transportasi.
Di pariwisata bahari, misalnya, laporan Ocean Health Index termutakhir mencatat skor laut Indonesia hanya 36—untuk rentang pengukuran 1 sampai 100. Artinya, kontribusi kegiatan pariwisata pantai di Tanah Air belum optimal dalam penyerapan tenaga kerja dan keberlanjutan usaha. Lalu, bagaimana dengan 8 subsektor lainnya? Juga belum banyak mendapat perhatian.
Dua perkara
Rendahnya penyerapan tenaga kerja di sektor kelautan setidaknya terhubung ke dalam dua perkara. Pertama, kenyataan bahwa Indonesia terlambat menyiapkan sumber daya manusia unggul kelautan. Lembaga pendidikan di Indonesia baru meluluskan sarjana kelautan untuk pertama kali pada awal 1990-an, atau 30 tahun setelah Indonesia mengumumkan kepada dunia klaimnya atas kedaulatan perairan laut di antara pulau-pulau melalui Deklarasi Djuanda 1957.
Perguruan tingginya juga terbatas hanya di enam lokasi, yaitu Universitas Diponegoro di Semarang, Universitas Hasanuddin di Makassar, Universitas Pattimura di Ambon, Universitas Riau di Pekan Baru, Universitas Sam Ratulangi di Manado, dan Institut Pertanian Bogor di Bogor. Baru setelah reformasi hingga saat ini, jumlahnya bertambah menjadi 61 perguruan tinggi tersebar di seluruh Indonesia. Kedua, kenyataan bahwa lingkungan bekerja di laut belum mendukung.
Indonesia terlambat menyiapkan sumber daya manusia unggul kelautan.
Indikasi paling jamak dapat dilihat dari rendahnya standar penggajian dan perekrutan SDM kelautan. Sistem penggajian pekerja di atas kapal ikan, misalnya, belum memiliki standar baku atau bahkan kerap diseragamkan dengan pendekatan upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten/kota (UMK) yang berlaku di darat. Padahal, menjadi pelaut tidak saja membutuhkan keahlian khusus (skill), tetapi juga berisiko tinggi.
Indikasi lain, adanya keterbatasan sertifikasi keahlian di bidang kelautan. Terdapat lebih dari 20 profesi utama ilmu kelautan di dunia, tetapi sertifikasi keahlian di Indonesia masih berkutat di dua bidang saja, yaitu penyelaman dengan sederet cabang-cabang keahliannya dan biologi laut. Itu pun masih harus bersaing dengan lembaga sertifikasi asing—sekalipun untuk bekerja di negeri sendiri.
Baca juga: Kapal Perikanan China, Kuburan Terapung Pekerja Migran Indonesia
Di luar itu, kredit perbankan juga belum cukup ramah untuk menopang kebangkitan ekonomi kelautan di Tanah Air. Lihat saja kredit usaha rakyat (KUR) untuk pelaku UMKM perikanan dan kelautan, serapannya tidak lebih dari 2 persen dari total alokasi setiap tahunnya.
Di 2021, penyaluran KUR pada sektor perikanan Rp 5,15 triliun atau hanya 1,85 persen dari total penyaluran per 16 Desember 2021 sebesar Rp 277,7 triliun. Penyaluran KUR perikanan jauh di bawah sektor perdagangan yang sebesar Rp 124,4 triliun (44,79 persen) dan pertanian yang sebesar Rp 82,9 tiliun (29,85 persen). Lembaga pembiayaan masih melihat usaha perikanan dan kelautan berisiko tinggi.
Mudah
Konstitusi UUD 1945 menjamin setiap warga negara mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Ikhtiar kebangsaan ini hanya mungkin dilunasi dengan segera menggerakkan 11 subsektor ekonomi kelautan nasional secara adil dan lestari. Peluangnya ada di anak muda.
Badan Pusat Statistik mencatat, lebih dari 64 persen penduduk Indonesia adalah anak muda. Lembaga Penelitian dan Kajian Kebijakan Publik SMERU (2020) menyebut 73 persen anak muda Indonesia berminat berwirausaha. Selanjutnya, sekitar 64 persen pelaku UMKM adalah perempuan. Teraktual, masing-masing sebanyak 95 persen dan 90 persen pelaku UMKM tertarik dengan praktik usaha ramah lingkungan dan inklusif (UNDP, Indosat, dan KemenkopUKM, 2021). Anak muda, perempuan, dan ekonomi hijau akan menjadi penggerak ekonomi Indonesia ke depan. Pembenahan ekosistem bekerja di laut menjadi kunci.
Strategi paling awal ialah melakukan pemantapan sistem perekrutan dan penggajian tenaga kerja di bidang kelautan.
Strategi paling awal ialah melakukan pemantapan sistem perekrutan dan penggajian tenaga kerja di bidang kelautan. Penyelenggaraan bursa kerja dan inovasi kelautan secara periodik dapat merangsang lahirnya standar baru pasar tenaga kerja kelautan di dalam negeri. Setidaknya ada potensi lulusan baru sekitar 3.000 sarjana kelautan dan 5.000 pelaut setiap tahun.
Maka, bursa ini tidak hanya mempertemukan antara pencari dan penerima kerja, lebih dari itu, yakni untuk menghubungkan para inovator kelautan dengan sumber pembiayaan dan industrinya. Di sinilah pentingnya perluasan sertifikasi profesi kelautan. Inovasi dan teknologi harus tumbuh subur di dalam ekosistem kerja kelautan itu sendiri.
Norwegia, misalnya, menjadi salah satu eksportir ikan di dunia dengan mengandalkan hanya satu komoditas perikanan: salmon. Prestasi mereka ditopang penguasaan inovasi dan teknologi pakan, pembenihan, dan jaring apung. Terakhir, peningkatan dukungan pembiayaan.
Baca juga: Menyeimbangkan Ekologi dan Ekonomi di Ruang Laut
Presiden Joko Widodo telah mematok target kenaikan rasio kredit perbankan untuk UMKM dari sebelumnya hanya 20 persen menjadi 30 persen di 2024. Sejalan dengan itu, kebijakan KUR berbasis kluster—melalui pendampingan, kemitraan, introdusir teknologi dan offtaker—menjadi peluang untuk mereduksi pelbagai ketidakpastian usaha perikanan dan kelautan di Tanah Air. Hanya dengan cara itu, generasi muda Indonesia menjadi lebih mudah bekerja dan berkarya di laut.
M Riza Damanik, Ketua Umum Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia; Staf Khusus Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah; Skype: riza.damanik; Twitter: @riza_damanik