Masyarakat penuh kecurigaan dipengaruhi oleh politik dan media. Politik bertanggung jawab karena ia mengobyektivasi individu untuk menuntut sesuatu yang dianggap penting atau tidak, mengganggu atau tdak, dan seterusnya.
Oleh
RACHMAD DWI SUSILO
·5 menit baca
DIDIE SW
-
Pelaporan atau pengaduan kasus marak terjadi akhir-akhir ini. Mulai dari kasus pernyataan Edy Mulyadi tentang ”jin buang anak” sampai pernyataan Menteri Agama soal penggunaan pengeras suara di masjid dan mushala. ”Jin buang anak”, seperti disampaikan pembuat statement, untuk menggambarkan wilayah yang jauh dan terpencil. Pernyataan ini pun memicu protes warga Kalimantan. Kelompok-kelompok adat melaporkan tindakan ini sebagai tindakan melecehkan.
Selesai kasus ini, pelaporan lain menyusul. Tanggapan Ustaz Khalid Basamalah tentang wayang memancing reaksi keras kelompok kesenian. Pernyataan ini dianggap sebagai mengharamkan wayang yang sama artinya melecehkan warisan budaya leluhur. Sekalipun telah minta maaf dan klarifikasi, kasus ini menggelinding liar.
Kemudian, yang terakhir kebijakan pengaturan pengeras suara masjid/mushala yang disampaikan oleh Menag. Niat baik kebijakan ini adalah membangun ketertiban umum. Namun, pernyataan Menag yang bermaksud memperjelas kebijakan ini justru menuai kontra. Pernyataan yang menganalogikan terganggunya warga akibat toa atau sound system masjid dengan gangguan salakan anjing dimaknai melecehkan.
Bahkan, mantan Menpora, Roy Suryo, melaporkan dengan pengaduan sebagai penistaan agama. Kelompok-kelompok masyarakat tertentu menyatakan Menag menyamakan salakan anjing dengan azan. Mereka menggugat, bahkan meminta menteri ini untuk diganti oleh Kepala Negara. Tak berhenti di situ, aksi menuai reaksi.
Lembaga Bantuan Hukum Pimpinan Pusat GP Ansor juga balik menggugat Roy dengan alasan pencemaran nama baik.
Tampaknya masyarakat kian dewasa, biarlah konflik hanya di level elite yang berbeda kepentingan pragmatis, sedangkan rakyat tenang, tak ikut campur, tak mudah digerakkan.
Fenomena konflik sosial di atas banyak terjadi di ranah media audio visual dan medsos, sementara di level empiris belum menimbulkan gejolak berarti. Tampaknya masyarakat kian dewasa, biarlah konflik hanya di level elite yang berbeda kepentingan pragmatis, sedangkan rakyat tenang, tak ikut campur, tak mudah digerakkan.
Sekalipun demikian, kita tidak boleh meremehkan keadaan ini. Adakalanya realitas sosial dengan realitas media tak bisa dibedakan, bahkan keduanya saling menjustifikasi. Jika kondisi ini dibiarkan tanpa kritik dan refleksi, ia akan memacu kegaduhan-kegaduhan yang tidak produktif, bahkan menjurus pada spiral konflik sosial.
Melihat kondisi ini, kita pantas skeptis dan reflektif, apa yang sebenarnya terjadi pada masyarakat kita hari ini? Jangan-jangan masyarakat kita sedang sakit. Saat tersinggung atau sedikit marah, langsung melakukan pelaporan. Pertanyaannya, benarkah itu jalan satu-satunya? Tak adakah langkah lain yang lebih konstruktif?
Dalam perspektif konteks dan substansi, teks yang dilontarkan para figur publik sebenarnya biasa-biasa saja. Terlebih jika kita menangkapnya dengan nalar komunikatif yang didasari niat baik, ia akan diterima sebagai sesuatu yang positif.
Pendapat berbeda tentang isu tertentu merupakan sesuatu yang wajar sebagai konsekuensi keberagaman perspektif. Menyampaikan gagasan dengan analogi sederhana sejatinya kemampuan retorik untuk memudahkan penangkapan pesan. Jika ditangkap secara jernih, isu-isu yang muncul memiliki substansi ”tempat terpencil, sesuaikan budaya dengan nilai-nilai agama dan apa pun alasannya, jangan mengganggu pihak lain”.
Namun, kini, ia menjadi blunder bagi penyampai karena kebenaran bukan urutan nomor satu. Tafsir dikendalikan uthak atik gathuk yang dibalut keinginan menjatuhkan. Masyarakat buta dengan konteks dan substansi. Radar untuk menangkap gagasan atau perilaku pihak lain hanya oposisi biner antara in group dan out group.
Penyampai dari ”out group” yang mungkin secara tidak sengaja memilih kata multitafsir sebagai sasaran empuk. Tidak heran ketika ada celah sedikit saja disasar dengan pelaporan.
KOMPAS
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menerbitkan surat edaran No SE 05 Tahun 2022 yang mengatur penggunaan pengeras suara di masjid dan mushala, Jumat (18/2/2022). Langkah ini merupakan upaya untuk menjaga keharmonisan antarwarga masyarakat. Dalam surat edaran diatur batas maksimal volume yang dihasilkan oleh pengeras suara, yakni maksimal 100 desibel.
Dalam perspektif interaksionisme simbolik, tafsir teks bukan dilandasi self, mind, dan simbol lagi, melainkan didasarkan kepentingan saling membalas. Misalnya, perspektif figur terkait masalah tertentu ditafsir sebagai kebenaran kaku dan absolut. Pembandingan sebagai strategi retorika ditanggapi sebagai pelecehan substansi dan institusi suci.
Jika pola seperti ini dibiarkan terus-menerus, fenomena ini akan menggerus rasa kebersamaan sebagai bangsa. Terus apa sejatinya yang menyatukan kita sebagai suatu bangsa? Apa artinya kita hidup bersama dalam sebuah kapal bernama NKRI dan telah mengarungi badai sejak 1945 kalau yang dilembagakan sikap penuh kecurigaan, kebencian, dan konflik yang menjurus ke kekerasan? Beginikah bangsa yang terkenal adi luhung dan berbudaya tinggi?
Sosiolog Weber menasihati kita, jika ingin menangkap kebenaran subyektif individu, seharusnya kita menangkapnya dengan verstehen (interpretative understanding). Artinya, ukuran makna dari penyampai pernyataan itu dijadikan sebagai basis penafsiran. Penilaian pada diri sendiri dijauhkan. Jika metode ini yang kita lakukan, niscaya kegaduhan seperti yang kita lihat hari ini bisa dijauhkan.
Masyarakat penuh kecurigaan dipengaruhi oleh politik dan media.
Kembali ke jati diri
Masyarakat penuh kecurigaan dipengaruhi oleh politik dan media. Politik bertanggung jawab karena ia mengobyektivasi individu untuk menuntut sesuatu yang dianggap penting atau tak penting, mengganggu tak mengganggu, atau melecehkan dan tak melecehkan. Akhirnya kebebasan melaporkan kasus sebagai hak dan pilihan setiap warga negara. Pertanyaannya, apakah ia bijak?
Selain itu, sensasi media memberikan suasana jadi ramai. Satu pihak membuat pernyataan ”tidak wajar” dan kemudian ditanggapi pihak lain, maka permainan ini dimaknai sensasi yang menyenangkan atau konflik sosial yang dinikmati masyarakat yang kehilangan sensitivitas dari rasa mencederai sesama anak bangsa.
Maka, marilah kita kembali ke jati diri bangsa kita yang luhur. Untuk itu, menurut penulis, dua hal yang pantas dilakukan, yakni maaf dan cerdas. Maaf, yakni ungkapan afektif yang mengaitkan keberadaan kita dengan orang lain.
Selain itu, untuk menanggapi setiap persoalan, pemaknaan proses itu penting. Kalau tidak setuju dengan kebenaran tertentu, debat dengan cara yang baik. Dalam tradisi membangun peradaban, perbedaan pendapat antarilmuwan merupakan sesuatu yang lazim.
Lontaran perbedaan merupakan tesis yang perlu dijawab dengan antitesis sehingga lahir sintesis nan mencerahkan. Di sinilah diskusi dan wacana berbobot akan melahirkan kematangan kebenaran. Pola keadaban semacam ini sejatinya jauh membangun daripada pelaporan yang defisit saling pengertian.
Rachmad K Dwi Susilo,Dosen Sosiologi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, PhD Alumnus Hosei University.