Mochtar Lubis bukanlah malaikat yang tidak memiliki sisi hidup yang tak bisa dikritik. Meski begitu, Mochtar Lubis tetap dianggap sebagai panutan para jurnalis sesudahnya. Ia tak mau berkompromi dengan kekuasaan.
Oleh
IGNATIUS HARYANTO
Ā·5 menit baca
DOK KELUARGA MOCHTAR LUBIS
Mochtar Lubis
Jika saja seorang Mochtar Lubis masih hidup pada saat sekarang dan masih memimpin koran Indonesia Raya, apa kiranya fokus kritiknya hari ini?
Ya, Mochtar Lubis adalah sosok yang identik sebagai āanjing penjagaā (watch dog) terhadap kekuasaan. Ia dan korannya yang legendaris itu, Indonesia Raya, punya sejarah panjang untuk menjadi media yang sangat kritis pada perkembangan PT Pertamina pada masa awal Orde Baru. Investasi berlebihan, korupsi, dan berbagai kemewahan yang ditunjukkan pimpinan Pertamina tak luput dari sorotannya. Itu dilakukan bertahun-tahun pada masa awal Orde Baru sebelum akhirnya kekuasaan Orde Baru itu sendiri yang mematikan sejarah koran yang didirikan dua hari setelah penyerahan kedaulatan Belanda kepada Indonesia, 29 Desember 1949.
Jika koran Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis masih terbit hari ini, apakah yang akan dikritiknya adalah soal pemindahan ibu kota negara? Ataukah niatan sejumlah partai politik untuk menunda pemilihan umum? Biaya pemilu yang membengkak? Kelangkaan minyak goreng? Hilangnya tahu tempe di pasar tradisional? Ataukah soal krisis ekologi yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia? Atau mungkin juga sorot tajam mata Mochtar Lubis dan penanya terhadap lembaga bernama Komisi Pemberantasan Korupsi.
Saya membayangkan jika koran Indonesia Raya masih ada, sekian besar dana yang dicurahkan untuk pemindahan ibu kota akan menjadi sorotan tajam.
Saya membayangkan jika koran Indonesia Raya masih ada, sekian besar dana yang dicurahkan untuk pemindahan ibu kota akan menjadi sorotan tajam. Tajuk Rencana Indonesia Raya yang ditulis oleh Mochtar Lubis sendiri (yang ditandai dengan adanya tiga bintang di akhir tulisan) akan gamblang menyorot besarnya uang yang ādihamburkanā untuk memindah ibu kota dengan pertanyaan juga ditujukan pada urgensinya. Belum lagi ketika mendengar soal kelangkaan minyak goreng, tahu tempe, naiknya harga komoditas di pasar. Itu semua pasti sudah akan jadi liputan serta ulasan dalam Tajuk Rencana Indonesia Raya yang tak pernah bermanis-manis kata atau menyembunyikan kritiknya. Tak ketinggalan Mas Kluyur yang menjaga pojok koran ini pun akan mengeluarkan seloroh yang membuat kuping bisa jadi tipis.
Saya juga membayangkan jika pria kelahiran di Sumatera Barat, 7 Maret 1922, ini akan mengulang-ulang apa yang ia sudah sampaikan dalam pidato di Taman Ismail Marzuki pada 6 April 1977. Kala itu pria yang memiliki tiga anak berpidato tentang āManusia Indonesia sebuah pertanggungjawabanā. Ia menyoroti sifat manusia Indonesia yang disebutnya: Hipokrit alias Munafik, Segan dan Enggan Bertanggung Jawab, Feodal, Percaya pada Takhayul, Artistik dan Berwatak Lemah.
Mochtar Lubis yang pernah menulis catatan harian pada masa Soekarno (Catatan Subversif) dan catatan harian pada masa Soeharto (Kampdagboek) tanpa takut akan menuding dengan jelas sosok yang ia sebut munafik, enggan bertanggung jawab, feodal, dan berwatak lemah. Yang menggelitik saya, jika Mochtar Lubis masih hidup, kepada siapa tudingan-tudingan itu ditujukan?
Ketika Mochtar Lubis masih hidup, ia adalah sosok legenda hidup dari Pers Indonesia, yang menjadi tokoh-tokoh terakhir yang disebut oleh Daniel Dhakidae sebagai āpers politikā atau āpers perjuanganā. Daniel menyebut āpers politikā atau āpers perjuanganā itu sebagai pembeda dengan āpers industriā yang sudah merasuki pers Indonesia sejak pertengahan 1980-an. Mochtar Lubis juga dikenal sebagai sastrawan yang pernah menerbitkan karya-karya seperti Jalan Tiada Ujung, Senja di Jakarta, Harimau Harimau. Di luar itu Mochtar Lubis juga adalah seorang pelukis, salah satu pendiri majalah Horison, dan pendiri Yayasan Obor Indonesia yang menerbitkan buku-buku bermutu yang menjadi referensi kalangan intelektual.
Pria yang menerima penghargaan sebagai satu dari 50 pahlawan kebebasan pers abad ke-20 dari International Press Institute (IPI) itu kerap menyebut sejumlah politisi sebagai ābadut-badut politikā yang sering bermanuver bukan untuk kepentingan masyarakat luas, melainkan untuk kepentingan dirinya pribadi. Siapa yang ādapat kehormatanā dari seorang Mochtar Lubis untuk dijuluki badut politik hari ini?
Indonesianis asal Australia, David T Hill, menulis biografi Mochtar Lubis secara kritis dan memang seorang Mochtar Lubis bukanlah malaikat yang tidak memiliki sisi hidup yang tak bisa dikritik. Namun begitu, Mochtar Lubis tetap dianggap sebagai salah satu panutan para jurnalis sesudahnya. Ia tak mau berkompromi dengan kekuasaan. Pemberedelan di masa Soekarno dan di masa Soeharto adalah bukti bahwa ia lebih memilih korannya mati, dan ia sendiri dipenjara, daripada harus tunduk dengan kekuasaan yang represif.
DOK KELUARGA MOCHTAR LUBIS
Mochtar Lubis saat meliput Perang Korea tahun 1950.
Sikap seperti ini rasanya mungkin sulit ditemui pada hari-hari ini. Mungkin dalam pandangan beberapa orang hari ini sikap Mochtar Lubis tersebut dianggap naif, terlalu hitam putih dalam melihat masalah, seraya membujuk agar mau sedikit āmerundukā yang penting tidak mati medianya. āSayangā itu memang bukan karakter seorang Mochtar Lubis.
Mochtar Lubis adalah sosok yang juga sangat idealis sebagai pemimpin redaksi. Ia melarang jurnalisnya menerima sogok atau amplop yang akan membuat laporan korannya akan jadi aneh karena sudah dipulas-pulas akibat sogok tadi. Namun begitu, penghasilan koran ini cukup menyejahterakan untuk para jurnalisnya. Idealisme pers yang ia bangun ditopang dengan profesionalitas yang harus ditunjukkan koran tersebut.
Ia petunjuk arah dan penuntun ketika pers ada di persimpangan jalan.
Semoga tulisan ini tak dilihat sebagai rengekan terhadap sosok yang sudah meninggalkan kita 18 tahun lalu (meninggal pada 2 Juli 2004) dan 100 tahun peringatan kelahirannya (7 Maret 1922), tetapi tulisan ini hanya sekadar ingin mengingatkan bahwa pernah ada sosok bernama Mochtar Lubis yang menjadi mercusuar bagi pers Indonesia. Ia petunjuk arah dan penuntun ketika pers ada di persimpangan jalan. Tentu saja semangat seorang Mochtar Lubis sangat bisa digali, dikembangkan dan disesuaikan dengan zaman di mana para jurnalis hari ini masih menggeluti profesi ini.
Tantangan hari ini memang kompleks jika dibandingkan dengan masa Mochtar Lubis hidup, tetapi jika mau menggali pada semangat dan etos yang dimiliki si āKepala Granitā ini, pastilah bukan sesuatu yang usang untuk kembali dikulik.
Ignatius Haryanto, Pengajar Jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara, Serpong