Program Bebas Karantina

Meski kebijakan relaksasi tidak lepas dari kepentingan ekonomi, sosial, dan politik, sangat penting untuk memenuhi tiga faktor untuk relaksasi: cakupan imunisasi tinggi, sistem kesehatan kuat, tren epidemiologi membaik.

Kembali muncul sebuah berita menarik. Pemerintah berencana melakukan uji coba program bebas karantina (no quarantine program) di Bali mulai 14 Maret.

Pendatang dari luar negeri, baik WNA maupun WNI, tak perlu lagi jalani karantina sepanjang vaksinasi mereka lengkap dan hasil tes PCR negatif. Jika uji coba ini berhasil, per 1 April program bebas karantina ini akan diberlakukan di seluruh Indonesia.

Berita ini disambut beragam reaksi. Bagi turis asing dan diaspora, berita ini jelas menggembirakan. Dengan program ini, mereka tidak perlu lagi menjalani karantina yang menguras waktu dan biaya. Selama ini, semua pendatang dari luar negeri harus menjalani karantina yang bervariasi antara 3 dan 10 hari. Bagi sebagian ahli, berita ini merisaukan.

Mengapa pemerintah berani membuka pintu lebar di tengah badai Omicron yang belum mereda?

Rasionalitas multifaktor

Dibandingkan sejumlah negara lain, Indonesia termasuk belakangan mengendurkan restriksinya. Saat ini, puluhan negara telah melonggarkan restriksinya, termasuk menghentikan program karantina. Inggris, India, dan Perancis adalah contoh negara yang relaksasinya kini sangat longgar. Sepanjang memiliki vaksinasi lengkap, tes PCR pun tak dibutuhkan untuk masuk negara-negara ini.

Di kawasan Asia Tenggara, Thailand, Filipina, dan Malaysia sudah menghentikan program karantina sejak beberapa waktu lalu. Sebagian untuk warga negaranya saja dan sebagian untuk semua pendatang. Setiap negara punya justifikasi tersendiri saat melakukan pembebasan karantina. Dasar justifikasinya multi-factorial. Selain pertimbangan profil epidemiologi internal dan eksternal, faktor ekonomi, sosial, dan politik juga memengaruhi. Justifikasi Pemerintah Indonesia demikian pula.

Pada tingkat nasional, profil epidemiologi pandemi menunjukkan tren perbaikan.

Pada tingkat nasional, profil epidemiologi pandemi menunjukkan tren perbaikan. Dua bulan setelah diterabas pandemi, laju kasus memang meningkat 300 kali lipat, dari 0,67 kasus menjadi 201,5 kasus per satu juta penduduk. Laju kematian juga mengalami peningkatan meski peningkatannya tak linier proporsional dengan laju kasus. Kematian meningkat 20 kali lipat, dari 0,03 menjadi 1,61 per satu juta penduduk.

Menariknya, tingkat kefatalan orang terinfeksi (case fatality rate atau CFR) menurun drastis dari 3,4 persen menjadi 0,5 persen. Profil epidemiologi ini memberi pesan jelas bahwa walaupun Omicron bertransmisi secara sporadis dan masif, tingkat kefatalannya relatif rendah (widspread but mild).

Pada saat bersamaan, cakupan vaksinasi Indonesia juga sudah tinggi. Per 1 Maret 2022, proporsi penduduk yang telah dapat vaksin pertama, kedua, dan ketiga masing-masing 70 persen, 54 persen, dan 3,7 persen. Ini figur cemerlang dan telah memenuhi standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Kombinasi perbaikan epidemiologi dan cakupan vaksin yang tinggi jadi justifikasi penting rencana pembebasan karantina.

Baca juga: Mungkinkah Covid-19 Sirna pada 2023

Pada tingkat global, iklim pandemi juga membaik. Di tengah gelombang Omicron yang menyapu dunia, laju kasus telah menurun dari puncak 435 kasus menjadi 193 kasus per 1 juta penduduk. Laju ini diperkirakan akan terus merendah akibat dominasi Omicron yang berefek luas, tetapi minimal.

Meskipun sempat meningkat saat badai Omicron, laju kematian kini menurun kembali menjadi 1,1 per satu juta penduduk. Pada puncak tahun lalu dan puncak badai Omicron tahun ini, laju kematian berkisar antara 1,85 dan 1,39 per 1 juta penduduk. Artinya, terjadi penurunan yang signifikan.

Profil CFR dunia juga melegakan: menurun dari 7,8 persen saat puncak tahun 2020 menjadi 0,4 persen saat ini. Sebagian ahli bahkan memprediksi CFR ini akan merendah hingga di bawah 0,1 persen. Cakupan vaksinasi global juga memukau: 63 persen penduduk bumi telah menerima satu dosis dan 55 persen dua dosis. Perbaikan profil global membuat banyak negara merasa confident pandemi akan berakhir dan berlomba-lomba melunakkan restriksinya.

DIDIE SW

Didie SW

Tinggal sedikit negara yang masih terus menganut zero-covid policy dengan program restriksi ketat, termasuk lockdown. Perbaikan global ini menjadi salah satu basis bagi WHO menarasikan bahwa status pandemi akan menjadi endemi tahun ini dan status darurat Covid-19 sudah akan dicabut.

Faktor non-kesehatan, seperti ekonomi dan politik, juga memengaruhi keputusan pembebasan karantina. Beberapa negara di sekeliling Indonesia telah melonggarkan restriksinya dan mempermudah masuknya pendatang luar negeri. Sejak beberapa minggu lalu, Singapura telah menjalankan program vaccinated travel lane (VTL) yang memungkinkan pendatang dari negara-negara tertentu bebas karantina.

Program ini akan diperluas kepada semua negara dalam waktu dekat. Per 1 Maret, Pemerintah Malaysia menyetop program karantina dan mengizinkan pendatang masuk ke negeri tersebut sepanjang telah divaksin dan hasil PCR negatif. Thailand lebih cepat lagi, sejak 1 Februari mereka telah menghapus program karantina bagi pendatang yang sudah divaksin. Dengan program ini, mereka menargetkan menerima 5 juta-9 juta wisatawan tahun ini.

Jika Indonesia tidak ikut melunakkan karantinanya, para wisatawan kemungkinan besar akan lari ke negara-negara sekitar yang membebaskan karantina.

Munculnya program bebas karantina di sejumlah negara tetangga memantik isu ekonomi dan geopolitik. Jika Indonesia tidak ikut melunakkan karantinanya, para wisatawan kemungkinan besar akan lari ke negara-negara sekitar yang membebaskan karantina. Potensi pemasukan menghilang. Padahal, sektor pariwisata merupakan komoditas penting yang menyumbang 4,8 persen produk domestik bruto (PDB).

Akibat minimnya kunjungan wisatawan, tahun 2020 saja Indonesia merugi lebih Rp 10 triliun. Tahun 2021, kunjungan wisatawan mancanegara menurun 62 persen. Kerugian lebih besar akan terjadi jika isu ini tidak ditangani.

Saat bersamaan, pertimbangan geopolitik juga berpengaruh. Ada narasi kejanggalan ketika negara sekeliling Indonesia telah menghapus program karantina dan Indonesia tetap bersikukuh mempertahankannya. Akan muncul kesan pandemi belum terkontrol atau sistem kesehatan Indonesia tak adekuat.

Alasan ini terdengar klise, tetapi efeknya bisa serius. Hingga saat ini masih berseliweran pandangan subyektif global masyarakat yang mengaitkan karantina dengan pengontrolan pandemi. Negara yang menghapus program karantina dianggap sukses mengendalikan pandemi dan demikian pula sebaliknya. Alasan klise, tetapi nyata.

KOMPAS/DIDIE SRI WIDIANTO

Didie SW

Bukan program koboi

Setiap negara mengambil stance berbeda dalam program relaksasi. Beberapa negara mengimplementasikan relaksasi penuh (full relaxation). Mereka mengizinkan pendatang masuk negaranya tanpa pembatasan atau hanya dengan pembatasan minimal. Mereka tidak peduli status negara asal, vaksin, dan hasil PCR pendatang. Bahkan mereka juga tidak memerlukan pendatang menggunakan masker dan menjaga jarak.

Sebagian menyebut stance ini bergaya koboi. Sebagian negara lain masih bersikap waspada, mengizinkan relaksasi, tetapi dengan pembatasan. Mereka menerapkan prinsip stratifikasi risiko dengan mempertimbangkan negara asal, status vaksinasi, dan PCR pendatang.

Di Indonesia, pemerintah menetapkan beberapa persyaratan bebas karantina. Di antaranya, pendatang harus telah mendapat vaksin dosis lengkap dan menjalani PCR dua kali, yaitu saat tiba dan hari ketiga. Artinya, pemerintah tidak menganut model relaksasi penuh. Langkah ini sangat tepat. Stratifikasi risiko pendatang memang perlu dilakukan. Dua kriteria penting, yaitu status vaksinasi dan hasil PCR, menjadi kriteria pertimbangan bebas karantina.

Baca juga: Dari Pandemi Menjadi Endemi

Kriteria yang tak digunakan adalah status asal negara pendatang. Padahal, status asal negara ini penting karena kualitas penatalaksanaan dan risiko transmisi tiap negara berbeda. Sebagian negara berhasil mengontrol pandemi dan meredam risiko transmisi; sebagian negara lainnya berjibaku dengan kasus dan kematian yang tinggi serta risiko transmisi yang besar.

Hong Kong, misalnya, saat ini diterabas gelombang kelima dengan jumlah kasus dan kematian yang tinggi. Jumlah kasus hariannya pernah melebihi 16.000; jumlah tertinggi di negara itu selama pandemi. Singapura juga mengalami hal yang sama, kasus harian saat ini 18.000. Pada kedua negara tersebut, laju kasusnya berkisar 250-350 kasus per 100.000 penduduk.

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (Centers for Disease Control/ CDC) Amerika Serikat mengategorikan kedua negara ini sebagai level 3-4 (risiko tinggi dan sangat tinggi) dan menganjurkan warganya agar menghindari perjalanan ke negara-negara ini.

Pemerintah sebaiknya memasukkan asal negara sebagai salah satu kriteria bebas karantina. Penatalaksanaan berbeda perlu dilakukan terhadap pendatang dari negara berisiko tinggi dan pendatang negara risiko rendah. Risiko transmisi pendatang negara risiko tinggi tentu lebih besar dan karena itu perlu tambahan persyaratan yang dapat meminimalkan kemungkinan transmisi.

Misalnya, mereka harus melakukan tes PCR di negara asalnya 48 jam sebelum berangkat. Atau setelah tes PCR pertama di Indonesia mereka hanya bisa melakukan aktivitas dalam hotel. Intinya, persyaratan bebas karantina tak bisa dipukul rata terhadap pendatang dari negara risiko tinggi dan risiko rendah. Selain itu, saat program dijalankan, perlu surveilans ketat terhadap sejumlah indikator epidemiologis. Ini penting karena masuknya pendatang bisa meningkatkan kasus dan kematian.

Meski program bebas karantina di Indonesia didasari oleh pertimbangan rasional, sangat penting untuk tidak gegabah dengan program ini.

Sebuah studi menunjukkan bahwa setiap 1 persen peningkatan pendatang dari luar negeri akan meningkatkan 1,2 persen kasus positif dan 1,4 persen kematian. Laju kasus, laju kematian, positive rate, reproduction number, keterisian tempat tidur rumah sakit, dan cakupan vaksinasi perlu terus dipantau.

Harus ada red line pada setiap parameter. Apabila red line terlampaui, mesti segera dilakukan penyesuaian aturan dan penatalaksanaan. Munculnya 100-500 kasus per 100.000 populasi adalah salah satu red line versi CDC. Jika batas ini terlampaui, perlu dilakukan perubahan penatalaksanaan.

Meski program bebas karantina di Indonesia didasari oleh pertimbangan rasional, sangat penting untuk tidak gegabah dengan program ini. WHO mengingatkan bahwa meski kebijakan relaksasi tidak lepas dari kepentingan ekonomi, sosial dan politik, sangat penting untuk memenuhi tiga faktor untuk relaksasi: cakupan imunisasi yang tinggi, sistem kesehatan yang kuat, dan tren epidemiologi yang membaik.

Kelalaian mempertimbangkan ketiga aspek ini dapat berujung kepada terjadinya peningkatan transmisi, pemberatan penyakit, dan kematian. Makanya, program bebas karantina mesti muncul akibat pertimbangan rasional, realistis, dan tepat dan bukan hanya didasarkan pada sikap ikut-ikutan atau persaingan kepentingan. Program bebas karantina bukan program koboi-koboian.

Iqbal MochtarDokter dan Doktor Bidang Kesehatan dan Kedokteran. Pemerhati Masalah Kesehatan

ARSIP PRIBADI

Iqbal Mochtar