Mungkinkah Covid-19 Sirna pada 2023
Ada optimisme pandemi Covid-19 akan segera menjadi endemik. Namun, hal sebaliknya mungkin juga terjadi Omicron bukanlah ”awal sebuah penghabisan” , melainkan permulaan masa virus yang lebih menular, lebih membahayakan.

Ada optimisme membuncah pandemi Covid-19 akan segera berakhir. Mungkin sekali skalanya menurun ke tingkat endemik sebagaimana berbagai penyakit lain, seperti flu, demam berdarah dengue, atau malaria, di sebagian wilayah kita.
Satu di antara optimisme itu datang dari Anthony Fauci, imunolog yang juga kepala penasihat kedokteran presiden Amerika Serikat. Fauci menyatakan, meski tak yakin kita bisa memusnahkan virus Covid-19, tetapi kondisinya akan mencapai ekuilibrium.
Banyaknya orang yang telah divaksin dan memadainya jumlah mereka yang memiliki perlindungan akibat infeksi sebelumnya, menyebabkan ia berharap, ”kita bisa segera menyudahi segala pembatasan sosial–yang mungkin bisa dicapai pada akhir tahun ini”.
Memang semua pandemi pada akhirnya akan tuntas. Covid-19 juga mengikuti jalan itu. Ia tampaknya akan menjadi penyakit endemik. Pada situasi endemi itu, ketika virus bersirkulasi dan bermutasi dari tahun ke tahun, ia akan tetap menjadi ancaman bagi lansia dan mereka yang sakit.
Namun, dengan kondisi yang makin stabil, hampir mustahil ia menjadi monster pembunuh dalam skala raksasa seperti dua tahun terakhir. Covid-19 kemudian akan menjadi makin dekat (familiar) dengan kita, musuh yang dapat dikelola seperti flu.
Rute perjalanan proses endemi belum terang benar.
Rute perjalanan proses endemi belum terang benar. Oleh karena itu, kondisi pandemi sekarang merupakan kesempatan terakhir bagi semua negara untuk menunjukkan bahwa mereka telah belajar dari kesalahan di masa awal pandemi.
Sejalan dengan makin pudarnya pandemi, angka kasus dan kematian mingguan di dunia terlihat terus menurun, termasuk di Amerika dan sebagian negara Eropa. Capaian vaksinasi pun cukup menggembirakan, kecuali di Afrika. Tempat bermukim 17,5 persen penduduk dunia itu hingga akhir 2021 baru 2,5 persen populasinya yang dapat vaksin.
Menurut catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) hingga 26 Februari 2022, sudah lebih dari 10,5 miliar dosis vaksin disuntikkan. Hingga 2 Maret lalu, persis dua tahun wabah Covid-19 di Indonesia, WHO mencatat lebih dari 437 juta kasus terkonfirmasi di dunia, termasuk lebih dari 5,9 juta kematian. Namun, jumlah kematian yang sebenarnya bisa di atas angka resmi.
Baca juga: "Kekebalan Super" dan Akhir Pandemi
Menurut perkiraan The Economist, angka kematian pada November 2021 antara 10 juta jiwa hingga 19 juta jiwa (dengan estimasi pertengahan di angka 16,2 juta jiwa). Lalu, berdasarkan asumsi infeksi fatal yang terjadi pada dua tahun terakhir, The Economist, 16 Oktober 2021, memperkirakan 1,4 miliar-3,6 miliar orang di dunia pernah diterpa Covid-19, 650 kali lebih besar dari angka resmi.
Memang bisa ada tumpang tindih karena ada banyak orang yang sudah divaksin dan tetap terinfeksi. Yang jelas, mereka yang punya kekebalan, menjadikan Covid-19 kurang berbahaya. Guna mengakhiri pandemi, dunia tampaknya menghadapi beberapa tantangan.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F11%2F30%2F20211130-Ilustrasi-Varian-Omicron-dan-Manajemen-Global-Pandemi_1638280194_jpg.jpg)
Didie SW
Titik balik perjalanan
Beruntung kini sudah tersedia dua obat baru yang tampak efektif, yakni molnupiravir (lagevrio) dan paxlovid. Keduanya produksi AS. Molnupiravir digagas Merck, bekerja sama dengan Ridgeback Biotherapeutics, sedangkan paxlovid dikembangkan Pfizer. Mayoritas pasien yang awalnya berada pada risiko serius menjadi jauh lebih kecil kemungkinannya untuk dirawat di rumah sakit atau meninggal, apabila mereka mengonsumsi pil-pil itu selama lima hari sejak awal gejala timbul.
Kedua obat itu kini sudah digunakan di Indonesia dan masuk dalam Buku Pedoman Tata Laksana Covid-19, tetapi baru molnupiravir yang mendapatkan izin penggunaan darurat oleh BPOM pada 13 Januari 2021. Dua jenis obat lain dalam buku pedoman itu adalah remdesivir dan favipiravir.
Molnupiravir akan berubah menjadi elemen aktif saat masuk ke dalam sel, tempat ia ”menyatu” dengan materi genetik virus, lalu merusak kemampuan sang penjahat untuk membelah diri (replikasi).
Adapun paxlovid merupakan kombinasi dua obat: ritonavir yang telah lama eksis dan penghambat enzim protease (protease inhibitor), yang berguna mengikat dan mencegah enzim protease virus, sehingga ia tak lagi bisa bereplikasi. Ritonavir sendiri akan mencegah protease inhibitor mudah sirna atau rusak di dalam tubuh.
Sesudah vaksin, obat-obat ini menjadi faktor kedua dalam mewujudkan titik balik perjalanan pandemi.
Sesudah vaksin, obat-obat ini menjadi faktor kedua dalam mewujudkan titik balik perjalanan pandemi. Mesti dicatat, obat mana yang akan digunakan, dan protokol lain apa yang dapat diterapkan, tentu tergantung pada dokter yang menangani pasien sebab konstitusi tubuh setiap orang berbeda. Yang jelas, semua orang harus mencegah munculnya kekebalan (resistensi) dalam diri virus akibat pasien tak mengonsumsi satu paket (course) kedua obat tadi hingga habis, misalnya selama lima hari.
Walakin, masih ada sejumlah tantangan lain yang kita hadapi. Pertama, sejalan dengan penggunaan obat sebagai pertahanan, menurut The Economist (16/10/2021), adalah penerapkan protokol kesehatan, seperti penggunaan masker dan mencegah kerumunan di tempat umum.
Tantangan kedua, mutasi virus yang tanpa henti. Contoh, munculnya subvarian baru Omicron (BA.2) paa Februari 2022 yang 30 persen lebih menular dari induknya, Omicron BA.1. Pada situs Time (22/2/2022), Alice Park menulis, sedikitnya terjadi 20-an mutasi pada BA.2 yang telah ditemukan di 77 negara di dunia.
Menurut sebagian peneliti, galur ini bisa menurunkan proteksi vaksin. Namun, untungnya studi dari Denmark menunjukkan bahwa vaksin booster dapat menurunkan parahnya penyakit hingga 74 persen.
Baca juga: Pergeseran Paradigma Keputusan Pandemi
Bisa jadi sebuah varian baru memerlukan pengelolaan vaksinasi yang berbeda sehingga perlu ada program penyuntikan baru dan mungkin membuang stok vaksin lama. Ujian terberat adalah bagaimana melindungi miliaran orang tanpa imunitas. Kita tak tahu berapa penduduk Indonesia yang tak imun, tetapi negara seperti China menjawab tantangan ini secara keras dengan karantina dan lockdown yang mahal melalui strategi nihil Covid (zero covid).
Strategi mana pun yang dipilih, nihil Covid atau melonggarkan pembatasan sosial pada akhirnya orang akan mendapatkan kekebalan melalui infeksi atau vaksinasi. Berhubung vaksinasi lebih aman, para penguasa di dunia harus bisa merengkuh sebanyak mungkin lengan untuk disuntik dengan 11,3 miliar dosis yang diproduksi sebelum akhir 2021 dan 25 miliar dosis lainnya sebelum Juni 2022. Memang tak semua vaksin sama efektifnya, tetapi segala jenis vaksin itu jauh lebih baik ketimbang terinfeksi.
Menghadapi itu, masih ada tantangan lain: penolakan vaksinasi dan kapasitas fasilitas kesehatan. Pertemuan vaksin global menargetkan vaksinasi harus sudah mencapai 70 persen pada September 2022. Namun, setiap negara memiliki kebutuhan vaksin yang berbeda, tergantung demografi, kemampuan melaksanakan penyuntikan, dan adanya ancaman Covid-19 dibandingkan penyakit lain, seperti malaria dan campak (yang juga disebabkan virus).

Tantangan terakhir, ketika Covid-19 kian menurun, negara-negara kaya mungkin mulai kehilangan perhatian pada sang virus, sementara penduduk negara miskin, khususnya karena rendahnya vaksinasi, menjadi sumber penularan dan kematian di banyak negara di dunia.
Itu sebabnya, David Adam (Nature, 31/1/2022) berpendapat, kencangnya laju penyebaran Omicron, perbedaan strategi vaksinasi, dan bervariasinya imunitas membuat masa depan pandemi ini sulit digambarkan.
Meski WHO berpendapat tingginya tingkat infeksi Omicron bisa jadi sinyal berakhirnya pandemi—karena melejitnya angka imunitas yang menyertainya—para peneliti memperingatkan situasinya masih gonjang-ganjing dan sulit dimodelkan (diperkirakan).
Dengan kalimat lain, belum jelas bagaimana kita bisa ”hidup bersama sang virus” tanpa pembatasan dan perlindungan, setidaknya hingga beberapa pekan ke depan. Sulit diperoleh pemodelan penyakit untuk menggambarkan perkiraan yang masuk akal. Juga karena endemisitas merefleksikan pentingnya pengambilan keputusan terkait berapa besar kematian bisa ditoleriansi di masyarakat, sementara populasi global terus membangun peningkatan imunitas.
Bagi epidemiolog penyakit infeksi University of Edinburgh, Inggris, Mark Woolhouse, Covid-19 akan benar-benar menjadi endemi hanya jika mayoritas orang dewasa telah terlindungi dari infeksi berat karena sudah berkali-kali terpapar virus sehingga berhasil mengembangkan imunitas alami.
Omicron, sebagaimana semua penjahat, juga punya titik lemah, bagaikan tumit achilles.
Omicron, awal dari sebuah akhir?
Bicara Omicron, menarik kiranya menengok apa yang disampaikan Jeremy Luban. Pada saat pertama kali melihat hasil sekuens genetik Omicron, November 2021, ahli virus University of Massachusetts itu segera tahu itu bisa jadi problem serius. Saat itu di depan Luban muncul 50-an mutan baru dan 30-an lebih di antara mutasi berlangsung pada bagian ”tubuh” virus yang selama ini jadi sasaran vaksin dan obat. Ia terkejut, karena versi baru virus SARS-CoV-2 itu tiba-tiba saja hadir entah dari mana, out of nowhere.
Omicron, sebagaimana semua penjahat, juga punya titik lemah, bagaikan tumit achilles. Meski ia dapat sangat berbahaya pada yang belum disuntik atau memiliki kondisi penyakit penyerta (komorbid), bagi mereka yang sudah divaksin atau pernah terinfeksi virus Covid-19 sebelumnya, galur Omicron hanya menyebabkan penyakit ringan: serak, gejala semacam flu, bahkan tanpa gejala.
Apakah Omicron ini jadi tanda SARS-CoV-2 memasuki tahap akhir serangannya? Pemikiran yang muncul, jika Omicron adalah galur yang paling lemah dari semua versi SARS-CoV-2 yang telah menyerang manusia dua tahun belakangan, mungkin saja ia jadi pilihan ”paling diharapkan” untuk menginfeksi kita. Dan jika lebih banyak orang divaksinasi, atau muncul imunitas akibat terinfeksi Omicron, maka proteksi itu dapat membantu kita untuk segera meraih ambang batas kekebalan kelompok–yang menurut para ahli berada pada 70-90 persen penduduk.
Seturut banyak uji pemodelan, saat Omicron menunjukkan kerjanya merambah populasi di dunia, diperkirakan hampir setengah penduduk dunia telah terinfeksi oleh berbagai varian, dan kemungkinan besar telah kebal pada galur itu. Maka, ketika makin sedikit inang (host) yang bisa dihinggapi parasit itu, lazimnya virus-virus itu pun mulai bergelimpangan sirna.
Jika itu terjadi, bisa berarti Omicron bukanlah ’awal sebuah penghabisan’ (pandemi), melainkan permulaan masa virus yang lebih menular, lebih virulen dan lebih membahayakan.
Pemodelan optimistik itu menunjukkan bahwa mungkin sekali SARS-CoV-2 akan menempuh jalan itu, dan Covid akan bergeser dari pandemi ke penyakit endemik, yakni terbatas di kantong-kantong yang penduduknya belum divaksin atau memiliki gangguan imunitas. Sayangnya, hal sebaliknya mungkin saja terjadi, ketika sifat tak terduganya SARS-CoV-2 dapat menggiring pada kegelapan di masa mendatang. Jika itu terjadi, bisa berarti Omicron bukanlah ”awal sebuah penghabisan” (pandemi), melainkan permulaan masa virus yang lebih menular, lebih virulen dan lebih membahayakan.
Jadi bagaimana wabah akan berakhir? Sebagian peneliti menduga akhirnya bukan pada Omicron. ”Ini tidak akan menjadi galur terakhir dan varian berikutnya akan memiliki karakteristiknya sendiri,” kata ahli pemodelan penyakit infeksi di London School of Hygiene & Tropical Medicine, Graham Medley, dikutip David Adam. Oleh karena itu, pengecekan bagi adanya Covid-19 akan tetap dibutuhkan meski jika nanti virus itu menjadi endemi.
Syafiq Basri Asegaff, Dokter Alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran; Pengajar di Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR, Jakarta