Persoalan kedaulatan udara elemen terpenting dalam sistem tata kelola penerbangan, seperti tercantum di Pasal 1 Konvensi Chicago 1944. Kerumitan terjadi ketika perjanjian RI-Singapura atas FIR berbenturan UU Penerbangan.
Oleh
RENE L PATTIRADJAWANE
·5 menit baca
Heryunanto
Apakah Indonesia negara pecundang dalam kasus Flight Identification Region RI-Singapura? Negara yang bisa diakali melalui perjanjian bilateral yang memang sudah lama terbengkalai dalam konteks kedaulatan, keamanan, dan kerja sama wilayah udara bilateral dengan Singapura? Atau, perjanjian bilateral RI-Singapura di bidang pelayanan jasa penerbangan, perjanjian kerja sama pertahanan, dan kesepakatan ekstradisi sebagai kesatuan perjanjian bilateral adalah kecerdikan satu sisi saja?
Pertanyaan ini diperumit lagi oleh pernyataan juru bicara Presiden terkait navigasi udara karena keluar dari kaitan antara masalah hukum internasional, pelayanan jasa penerbangan, dan persoalan kedaulatan. Ketiga masalah ini tak terpisahkan, dan Flight Identification Region (FIR) yang sekarang (sebagian) bernama FIR Jakarta dari sebelumnya FIR Singapura bukan melulu soal kedaulatan, melainkan juga menyangkut tata tertib dan keselamatan penerbangan serta pertahanan.
Tak bisa disangkal, persoalan kedaulatan udara jadi elemen terpenting dalam sistem tata kelola penerbangan, seperti tercantum di Pasal 1 Konvensi Chicago 1944. Kerumitan terjadi ketika perjanjian RI-Singapura atas FIR Singapura/Jakarta berbenturan dengan Pasal 458 UU Penerbangan No 1/2009, terkait pendelegasian ke negara lain.
Kerumitan terjadi ketika perjanjian RI-Singapura atas FIR Singapura/Jakarta berbenturan dengan Pasal 458 UU Penerbangan No 1/2009, terkait pendelegasian ke negara lain.
UU ini menyebutkan, pendelegasian navigasi penerbangan harus dievaluasi dan dilayani penyelenggara pelayanan navigasi paling lambat 15 tahun sejak UU berlaku. Artinya, sejak 2024, sudah tak ada lagi pendelegasian ke negara lain tercantum di perjanjian FIR Singapura/Jakarta 2022 Pasal 2 Ayat (1). Kekacauan cara pikir ini kemudian muncul pada Pasal 7 tentang durasi dan tinjauan yang menyebutkan perjanjian berlaku selama 25 tahun sejak diberlakukan perjanjian FIR Singapura-Jakarta. Artinya, perjanjian bilateral navigasi penerbangan ini akan berlaku sampai 2047.
Bukan teori
Mungkin benar apa yang ditulis David Epstein di bukunya Range: Why Generalists Triumph in a Specialized World (2019), ”We learn who we are in practice, not in theory”. Hubungan bilateral suatu negara tak bisa terlepas dari lingkungan regional ataupun global. Apalagi, di tengah pergeseran slogan abad ke-20 yang oleh Presiden AS Woodrow Wilson disebut sebagai ”menjadikan dunia aman bagi demokrasi”, digantikan dengan slogan ”menjadikan dunia aman bagi otokrasi” oleh Presiden China dan Rusia, Xi Jinping dan Vladimir Putin.
Kita mencoba memahami dari beberapa aspek. Pertama, lingkungan regional dan global di Asia Pasifik dekade kedua abad ke-21 jadi sangat hangat, bergeser dari perang dagang AS-China ke persoalan ideologi antara prinsip demokrasi atau otokrasi sebagai model alternatif keberhasilan pembangunan nasional.
Krisis politik demokrasi di AS, akibat transisi kekuasaan dari Trump ke Biden, dilihat Beijing dan Moskwa sebagai lemahnya negara adidaya AS, terpecah dan mengarah ke dekadensi politik di tingkat nasional dan global. Fenomena sama muncul di Eropa pasca-penarikan diri AS secara mendadak dari Afghanistan. Kebanyakan negara Eropa sibuk dengan diri sendiri.
Didie SW-
Kedua, pada lingkungan regional kita terjebak dalam persoalan ”...are you with us or against us”, sebagai propaganda antiterorisme bergeser menjadi persaingan negara adidaya. Persoalan ini pun akhirnya ikut memengaruhi interaksi hubungan antarnegara.
Ketiga, tak bisa disangkal nasionalisme adalah pangkal penyebab terjadi perang besar. Baik di lingkungan ASEAN maupun global, ketidakpuasan dan petisi terhadap pemerintahan dan sistem politik dalam negeri merupakan rangkaian keseharian yang tak bisa dihindari.
Keempat, di balik berbagai alasan filosofi sekarang, pada praktiknya tak ada apa yang disebut hak supernasional. Gagasan yang dimulai oleh era Reagan-Thatcher pada 1980 ini menjalankan politik luar negeri berdasarkan pandangan realisme diejawantahkan tanpa memerhatikan yang terjadi di balik negara atau masyarakatnya.
Memahami perjanjian bilateral RI-Singapura terkait berbagai persoalan di atas harus juga menelaah perjanjian pelaksanaannya (implementation agreement/IA). IA ini sebenarnya mencerminkan keseluruhan proses perjanjian bilateral RI-Singapura pada situasi saling menguntungkan. Indonesia diuntungkan karena kewenangan dan kedaulatan ruang udara di atas wilayah kedaulatan Nusantara sesuai dengan hukum laut UNCLOS terpenuhi.
Singapura diuntungkan karena kendali wilayah ruang udara dan pelayanannya tetap aman sesuai hukum internasional. Di sisi lain, sesuai Pasal 51 UNCLOS, Indonesia juga menghormati apa yang disebut sebagai legitimate interest (kepentingan yang sah), memberikan perlindungan dan jaminan memadai akan hak dan kepentingan sah lainnya, dalam hal ini Malaysia.
Persoalannya, Pasal 51 UNCLOS ini tak serta-merta bisa diberikan ke semua negara. Karena, dalam sejarahnya, pasal ini dirumuskan untuk mengakomodasi kepentingan Malaysia melalui memorandum kesepakatan RI-Malaysia yang ditandatangani di Jakarta, Juli 1976. Memorandum ini menjadi krusial bagi penerimaan Indonesia sebagai negara kepulauan masuk ke dalam UNCLOS 1982.
Entah siapa yang memiliki gagasan menyertakan Singapura menerjemahkan Pasal 51 UNCLOS, dengan memberikan keterkaitan antara perjanjian FIR ini dengan Perjanjian Kerja Sama Pertahanan (DCA) kedua negara. Berdasarkan pengalaman pengejawantahan pasal-pasal UNCLOS, khususnya Pasal 51, harus disepakati lewat bilateral seperti yang dilakukan RI-Malaysia, Februari 1982.
Dalam konteks ini, tak serta-merta Indonesia harus mengakui hak Singapura di perairan kepulauan Indonesia seperti halnya Malaysia.
Selain perjanjian bilateral RI-Malaysia 1982 terkait Pasal 51 UNCLOS, ada dokumen lain yang ditandatangani masing-masing ketua perunding, yaitu ”A Record of Discussion”. Kedua dokumen ini sebenarnya memberikan keseimbangan dan kepentingan yang adil dan merata antara RI dan Malaysia.
Dalam konteks ini, tak serta-merta Indonesia harus mengakui hak Singapura di perairan kepulauan Indonesia seperti halnya Malaysia. Persoalan ini jadi krusial ketika menggunakan Pasal 51 UNCLOS dalam DCA, di luar rumusan DCA yang membatasi wilayah latihan militer pada penetapan akses dan penggunaan wilayah udara dan laut Indonesia pada Area Alpha Satu, Alpha Dua, dan Bravo.
Kondisi geostrategi Singapura sebagai pulau negara-kota memang tak memungkinkan menciptakan sistem pertahanan mendalam. Budaya keamanan negara-kota yang multietnis akan sangat ditentukan oleh rasa rentan yang tinggi dan bisa disebut sebagai sindroma negara kecil. Kita memahami itu dan melindungi hak serta kepentingannya sesuai kesepakatan bilateral atas nama persahabatan.
René L PattiradjawaneKetua Centre for Chinese Studies, Associate Fellow The Habibie Center