Ukraina Korban Dua Ego Besar
Dalam posisinya saat ini, paling tidak Ukraina harus menjadi negara netral sebagaimana Finlandia. Kendati berorientasi ke Barat, Finlandia menolak menjadi anggota NATO dan tetap berhubungan baik dengan Rusia.

Pada 24 Februari, setelah berkali-kali mengatakan tak berniat melakukannya, Presiden Rusia Vladimir Putin memerintahkan invasi militer skala penuh Rusia ke Ukraina, tetangganya di sebelah barat. NATO pimpinan Amerika Serikat (AS) menjatuhkan berbagai sanksi yang keras, yang diyakini akan melemahkan rezim serta melumpuhkan ekonomi Rusia dan, pada gilirannya, menggerogoti popularitas Putin di dalam negeri. Rakyat Rusia, akibat lilitan ekonomi, diharapkan bangkit melawan presiden mereka sendiri. Sementara itu, demonstrasi anti-Putin berlangsung di berbagai penjuru dunia. Dilihat dari risikonya, invasi ini tergolong nekat. Apalagi muncul pula perlawanan rakyat Rusia terhadap rezim Putin.
Rusia yang putus asa
Perang ini berakar dari psikologi Rusia yang tetap ingin dilihat sebagai kekuatan raksasa dunia. Pasca Perang Dunia II, rezim komunis Uni Soviet muncul sebagai kompetitor rezim kapitalis Barat pimpinan AS. NATO, pakta militer Barat, pun dibentuk guna membendung ekspansi Uni Soviet ke Eropa Barat. Pada gilirannya, Soviet memelopori pembentukan Pakta Warsawa, organisasi militer negara-negara Eropa Timur pimpinan Soviet guna mengimbangi NATO.
Dikotomi dua kekuatan berbasis ideologi ini secara alami mendorong mereka pada perlombaan senjata. Sejak itu Perang Dingin dimulai. Tak disangka-sangka, pada 1991 digdaya Soviet runtuh bagai rumah kartun. Putin, yang ketika itu ditugaskan di Jerman Timur sebagai agen badan intelijen Soviet (KGB), tak bisa menerima kenyataan itu. Ia melukiskannya sebagai bencana geopolitik terbesar abad ke-20.
Baca juga: Cakar Si Beruang Merah
Keruntuhan Soviet mengirim gelombang shock ke seluruh Rusia. Bukan saja memukul harga diri mereka, tetapi juga harus menghadapi kenyataan bahwa mereka terbelakang dibandingkan dengan rakyat di Barat. Sebaliknya, kekuatan pro-demokrasi di negara-negara Eropa Timur eks komunis yang telah mengambil alih kendali negara, menyambut gembira keruntuhan Soviet.
Peradaban Barat yang kaya dan âberadabâ dengan sendirinya memesona mereka yang miskin dan teraniaya selama menjadi satelit Soviet. Maka, ketika NATO mengeluarkan kebijakan pintu terbuka yang akan mengakomodasi keinginan negara yang ingin menjadi anggotanya, sebagian besar negara Eropa Timur beramai-ramai mendaftar. Realitas geopolitik ini menggusarkan Rusia.
Karena miskin dan kepentingan ekonominya bergantung pada Barat, Kremlin tak berdaya mencegah bergabungnya sebagian besar negara Eropa Timur, yang dipandang Rusia sebagai wilayah pengaruhnya, ke dalam keanggotaan NATO. Tetapi kegusarannya atas kenyataan itu, terutama selama kepemimpinan Putin, terus disuarakan. Maka, ketika NATO hendak berekspansi hingga ke perbatasan Rusia dengan menggabungkan Ukraina ke dalamnya, Putin ingin menghentikannya.
Maka, ketika NATO hendak berekspansi hingga ke perbatasan Rusia dengan menggabungkan Ukraina ke dalamnya, Putin ingin menghentikannya.
Kemarahan Putin disebabkan NATO mengkhianati janjinya untuk tidak berekspansi hingga ke Ukraina. Tak heran, Putin tidak saja meminta pernyataan tertulis dari NATO yang menjamin Ukraina tak akan menjadi anggotanya, tetapi juga menuntut NATO menarik kekuatan militernya dari Eropa Timur.
Tentu saja NATO yang digdaya tidak dapat menerima tuntutan âtidak masuk akalâ itu. Memang NATO tidak dalam posisi mengabulkan tuntutan âtak tahu diriâ itu. Sebagai kekuatan digdaya, tak pantas ia mengikuti kemauan Moskow. Apalagi, tunduk pada ultimatum Putin akan menghancurkan kredibilitas NATO dan akan mengirim pesan yang salah kepada China terkait isu Taiwan di mana Beijing mengancam akan mengambilnya secara militer.

Kerugian NATO
Dari sisi hukum internasional, NATO juga benar kalau mengintegrasikan Ukraina yang merupakan negara berdaulat yang bebas menentukan kebijakan luar negerinya. Tunduk pada Putin akan berarti NATO membiarkan pelanggaran suatu negara terhadap hukum internasional.
Selain itu, paling tidak ada dua variable lain lagi. Pertama, mereduksi pengaruh Rusia di Eropa. Ukraina adalah negara penyanggah antara Rusia dan NATO. Apabila Kiev menjadi bagian NATO, keuntungan militer Rusia vis a vis NATO akan hilang. Lebih dari itu, Eropa akan terbebas dari âtekananâ Rusia. Dengan begitu, kinerja ekonomi-politik Eropa lebih produktif dan Barat mendapat keuntungan paling besar karena mendapatkan pasar Eropa Timur yang menggiurkan. Memang sepanjang sejarahnya, Eropa Timur yang berbeda budaya dan sejarah serta terbelakang di hampir semua aspek dibandingkan dengan Eropa Barat hanya dipandang sebagai pasar bagi produk Barat.
Ukraina adalah negara penyanggah antara Rusia dan NATO. Apabila Kiev menjadi bagian NATO, keuntungan militer Rusia vis a vis NATO akan hilang.
Bagi Rusia, Ukraina dan Eropa Timur adalah isu geopolitik yang dikaitkan dengan kelangsungan hidupnya. Tak heran, sepanjang sejarahnya Moskow menghabiskan energinya untuk memelihara kawasan itu. Terlebih, Rusia melihat Ukraina sebagai saudara kecilnya yang pernah berbagai sejarah bersamanya.
Kalau sekarang Rusia menginvasi Ukraina karena Putin merasa tak punya opsi lain setelah diplomasi buntu, dan nampak NATO tak akan memberi konsesi signifikan terhadap tuntutan keamanan Rusia. Memang apabila Ukraina menjadi anggota NATO, isu Crimea, wilayah Ukraina yang dicaplok Rusia pada 2014 akan menjadi isu NATO. Dengan kata lain, Rusia harus menghadapi kekuatan NATO dalam upaya Ukraina membebaskan Crimea, semenanjung strategis di Laut Hitam.
Baca juga: âQuo Vadisâ Perang Rusia-Ukraina
Lagi pula, sanksi NATO tidak hanya ikut memukul ekonomi anggotanya sendiri, tetapi juga dunia. Sekitar 40 persen kebutuhan energi Eropa bergantung pada pasokan minyak dan gas Rusia. Dunia juga kehilangan sebagian impor hasil pertanian dan mineral strategis mereka dari Rusia, seperti gandum dan besi. AS bangga berhasil memangkrakkan proyek pipa gas Nord Stream 2 bernilai 11 miliar dollar AS dari Rusia ke Eropa yang sudah lama ditentangnya karena hanya akan membuat Eropa bergantung pada Rusia.
Namun, sanksi ekonomi atas Rusia itu berdampak negatif terhadap strategis NATO karena Rusia semakin bergantung pada China. Dalam kasus Ukraina, Beijing-lah pihak yang paling banyak mengeruk keuntungan. Rusia segera akan membangun pipa gas ke China menggantikan Nord Stream 2. Hubungan ekonomi keduanya juga akan meningkat tajam.

Presiden China Xi Jinping (kanan) dan Presiden Rusia Vladimir Putin berbincang-bincang dalam pertemuan mereka di Beijing, China, Jumat (4/2/2022).
Ukraina pasti kalah
Rusia memproyeksikan perang akan selesai awal Maret. Tetapi bisa jadi perang berkepanjangan apabila penyelesaian melalui perundingan Rusia dan Ukraina menemui jalan buntu. Masalahnya, apabila Presiden Ukraina Volodymyr Zelinskyy mengabulkan tuntutan Putin maka ia akan jatuh. Sebaliknya, apabila ia mempertahankan posisi Ukraina, militer Rusia tetap akan beroperasi di negara itu sampai pemerintahan baru pro-Moskow berdiri di sana. Syukur-syukur Zelenskyy tidak tertangkap.
Bahkan, perang itu berpotensi meluas ke Barat dan dapat menstimulasi bagi terjadinya perang dunia. Memang kecil kemungkinannya hal itu terjadi karena Putin tak menganut ideologi humanisme rasis seperti Adolf Hitler dan tidak ada yang menginginkannya. Namun, yang pasti, Ukraina menjadi korban terbesarnya.
Tragedi ini akibat kegagalan Zelenskyy membaca gelagat, psikologis, dan pemikiran geopolitik Putin. Sementara ia terlalu percaya diri pada kekuatan NATO. Hal-hal yang mungkin dipandang âirasionalâ seharusnya jadi pertimbangan ketika kelangsungan hidup sebuah bangsa dipersepsikan sebagai taruhan sebagaimana yang kita saksikan pada kenekatan Rusia menginvasi Ukraina.
Tragedi ini akibat kegagalan Zelenskyy membaca gelagat, psikologis, dan pemikiran geopolitik Putin. Sementara ia terlalu percaya diri pada kekuatan NATO.
Dalam konteks ini, paling tidak Ukraina harus menjadi negara netral sebagaimana jalan yang dipilih Finlandia. Kendati berorientasi ke Barat selama Perang Dingin, Finlandia menolak menjadi anggota NATO dan tetap berhubungan baik dengan Soviet. Memang demografi dan posisi geopolitik Ukraina âtidak memungkinkannyaâ berseberangan secara militer dengan Rusia yang selalu curiga pada Barat. NATO pun seharusnya tidak usah memaksakan diri mengintegrasikan Ukraina karena bukan suatu keniscayaan untuk menjaga stabilitas Eropa. Sepanjang kebutuhan psikologis Rusia untuk merasa aman terpenuhi, menginvasi Ukraina akan dilihat sebagai sesuatu yang merugikan.
Memang menolak aplikasi Ukraina untuk menjadi anggota NATO akan meruntuhkan kebijakan pintu terbukanya dan menciptakan kesangsian pada anggotanya, bahkan pada dunia, tentang konsistensi, kekuatan, dan komitmennya. Sebaliknya, citra Rusia sebagai kekuatan dunia akan melejit sebagaimana diinginkan Putin.
Tetapi jalan diplomasi yang intens, jauh sebelum situasi sampai pada titik kritis di mana Rusia merasa telah sampai pada tahap point of no return, dapat ditempuh. Untuk itu, kajian mendalam tentang keseluruhan Rusia dan Putin mestinya dilakukan. Kendati ada perlawanan dari dalam negeri, rakyat yang mendukung Putin jauh lebih besar. Pengaruh Rusia di dunia sebagai kekuatan militer bahkan akan membesar apabila Putin berhasil mengatasi Ukraina.
Baca juga: Melihat Ukraina dari Kacamata Rusia
Pasokan senjata dari negara anggota NATO ke Ukraina dengan harapan perang berkepanjangan dan berujung pada kejatuhan Putin sangat mungkin keliru. Rusia âtidak akan kalahâ. Ia adalah salah satu kekuatan militer terbesar di dunia. Dan rakyat Rusia akan terpaksa mendukung Putin dengan segala konsekuensinya karena kekalahannya akan berarti kejatuhan pamor Rusia yang harus dibayar dengan biaya yang sangat mahal. Sebaliknya, Ukraina dipaksa terus berperang untuk perang yang tidak bisa dimenangkannya dan hanya berujung pada kehancuran negara itu dan menghadirkan tragedi kemanusiaan.
Perang memang selalu kejam. Perang dipandang sebagai kepanjangan politik luar negeri untuk memaksakan musuh tunduk pada kemauan sebuah bangsa. Bahkan, secara mengerikan perang dipandang sebagai jalan untuk menciptakan perdamaian. Tetapi sayangnya ongkos kemanusiaannya sangat besar dan menimbulkan pertanyaan tentang klaim kita sebagai manusia modern yang beradab.
Smith Alhadar, Penasihat ISMES dan Peminat Masalah Eropa

Smith Alhadar