Perjalanan Moralitas yang Terseok
Dewasa ini, pendidikan moral tergeser oleh kehidupan yang serba materi. Seakan-akan, materi bisa menyelesaikan segala problematika kehidupan.

Di pos ronda, di mulut gang, para remaja menyaksikan siaran di layar televisi 42 inch. Lalu mereka protes apabila kenakalan hanya dialamatkan kepada pemuda. Mereka memberikan argumen, kenakalan juga diprakarsai kalangan orangtua. Maka pernyataan yang seolah terminologi kenakalan melekat pada kaum muda, menurut mereka terbantahkan.
Salah satu dari remaja memberi contoh, salah satu bupati, setelah paripurna, nyaris berkelahi dengan salah satu pimpinan DPRD, di kabupaten itu, di provinsi itu, di Indonesia. Bagi mereka, bupati adalah sebuah institusi di daerah kabupaten, stempelnya, menggunakan burung garuda sebagaimana juga Pancasila di dalam dasar. Pimpinan DPRD bernaung di bawah lembaga yang banyak orang menyebut institusi ini sebagai lembaga yang terhormat.
Apa yang disebutkan remaja tersebut, hanya salah satu tamsil kecil dari perjalanan moralitas yang terseok. Tiktok, yang dapat diakses siapa dan di mana saja, yang di dalamnya berisi tayangan yang menjauh dari nilai moral, mencerminkan terjadinya kemerosotan. Pergerakan hari demi hari, urusan moralitas ini semakin nagras terlihat yang melibatkan keluarga, tetangga, hingga ke domain yang lebih tinggi. Orang-orang terasa kian ambigu, untuk keinginan yang dianggapnya benar dengan cara mempertahankan eksistensinya. Satu organ ke organ lain, terang-terang sudah berani mengatakan apa yang hendak disampaikannya. Goblok, bodoh, kurang ajar, tidak beres, tidak becus, dan kata-kata yang kurang laik lainnya.
Baca juga: Infantilitas Moral Kehidupan Berbangsa
Ada beberapa faktor yang menyebabkan perilaku individu yang bernilai baik atau tidak baik. Pertama, lingkungan keluarga. Individu yang mendapat didikan baik di tengah-tengah keluarga, ia berpotensi menjadi baik di tengah keluarga itu sendiri. Baik dalam memperlakukan dirinya dan baik juga dalam memperlakukan anggota keluarga. Sebaliknya, individu yang tidak baik di tengah keluarga, ia berpotensi untuk tidak baik dalam memperlakukan dirinya dan begitu pula, berpotensi tidak baik saat memperlakukan orang lain.
Kedua, lembaga pendidikan bisa memberi warna bagi individu untuk menjadi baik dan atau tidak baik. Sivitas pendidikan memiliki kewajiban kolektif untuk memberi warna kebaikan, terutama di lingkungan pendidikan. Di fatsun ini, disadari para sivitas pendidikan pasti menjadi baik satu sama lain, walaupun, faktanya, terdapat oknum sivitas yang terbukti kasar (tidak baik) dalam memperlakukan sesama sivitas pendidikan.
Untuk sekadar menyebut contoh, oknum guru bertindak kasar dalam memberikan hukuman terhadap peserta didiknya. Oknum yang hanya sebagian sangat kecil ini, tiba-tiba meroket beritanya karena zaman ini sangat teknologi. Bahkan, terdapat keluarga peserta didik yang memidanakan oknum guru karena perilakunya tidak mencerminkan sebagai guru.

Mural bertema pendidikan karakter dan budi pekerti tergambar di tembok sebuah sekolah di kawasan Karang Tengah, Jakarta, Senin (4/11/2019). Pendidikan karakter dalam konteks sekarang sering disebut bertujuan menciptakan generasi emas Indonesia tahun 2045 dengan jiwa Pancasila dan karakter yang baik.
Terkait keluarga dan lembaga pendidikan ini, dianggap lebih baik apabila, guru dan keluarga peserta didik di rumah membangun komunikasi. Kebiasaan anak di rumah, oleh orangtua dilaporkan kepada pihak sekolah (wali kelas). Begitu juga, kebiasaan atau hal yang dilakukan anak di sekolah dicatat guru (wali kelas) untuk disampaikan kepada orangtua di rumah.
Catatan sambung ini dapat diketahui para pihak sehingga model pengarahan saat anak di sekolah dan di rumah dapat terkonfirmasi dengan baik. Namun fakta di lapangan, ada sekolah dan atau orangtua tertentu yang catatannya sendiri-sendiri. Akibatnya, kontinuitas kegiatan anak tidak terpantau secara maksimal.
Ketiga, pergaulan ikut menentukan arah kehidupan individu. Anak yang baik di rumah dan sekolah belum tentu menularkan kebaikan di tengah pergaulannya. Ini bergantung pada seberapa sering intensitas anak: apakah di rumah, sekolah dan atau di pergaulan itu sendiri.
Ketika fluktuasi anak determinan berada di lingkungan yang buruk dan lepas dari pengawasan orangtua dan sekolah, ada kemungkinan, anak menemukan dunia baru dan enjoyable baginya dan karena itu, anak merasa berada di zona nyaman. Maka, jika hal ini yang terjadi, orangtua dan sekolah tidak lagi menjadi lingkungan yang urgen bagi anak. Sebab, anak sudah menyiapkan alasan dalam perasaannya untuk tidak sesering mungkin berada di rumah dan sekolah.
Ketika fluktuasi anak determinan berada di lingkungan yang buruk dan lepas dari pengawasan orangtua dan sekolah, ada kemungkinan, anak menemukan dunia baru dan enjoyable baginya dan karena itu, anak merasa berada di zona nyaman.
Keempat, lingkungan kerja juga ikut menentukan arah keberlangsungan hidup individu. Di tempat kerja memungkinkan adanya tampilan yang baik atau tidak baik. Individu yang pada mulanya baik dan masuk ke lingkungan yang tidak baik dimungkinkan untuk menjadi tidak baik. Itu, apabila daya tahan (sebagai orang baik) terkalahkan oleh daya suai (terhadap lingkungan baru yang tidak baik). Dalam suasana batin itulah, individu akan mengalami uji adrenalin apakah akan menjadi baik di tengah suasana yang tidak baik atau ia menjadi lacur dan menikmati dalam kelacuran itu.
Kelima, pola konsumsi yang berpijak pada informasi teknologi (IT). Individu yang hari-harinya berpapasan dengan dunia IT yang selalu menampilkan kriminalitas dan menarik perhatiannya, memungkinkan individu untuk mencoba. Ketika percobaan pertama berhasil, merasa aman dan menyenangkannya, individu akan mengulangi dan terus ingin melakukannya, baik kepada korban yang sama maupun target yang berbeda. Sampai pada akhirnya, individu berurusan dengan pihak lain atau pihak yang berwajib. Selesai urusan dengan para pihak, individu yang deviatif tersebut bisa jadi jera atau kumat lagi sebagai balas dendam dari amarah yang terpendam.

Enam remaja ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka tawuran yang menewaskan satu remaja di Bekasi Utara, Kota Bekasi, pada 2019.
Revitalisasi pendidikan moral
Dewasa ini, pendidikan moral tergeser oleh kehidupan yang serba materi. Seakan-akan, materi bisa menyelesaikan segala problematika kehidupan. Orangtua terkadang tidak berdaya menghadapi putra-putrinya yang sukses meniti karier. Bahkan, yang terjadi sebaliknya, orangtualah yang menurut terhadap keinginan anaknya (yang berkecukupan secara materi).
Problem anak, yang pada saat awal meniti karier tidak memiliki pola pikir yang seperti itu, berubah drastis. Bahkan, pada individu tertentu, orangtua dihardik dan dilarang mencampuri urusannya sebagai makhluk dewasa dan bergelimang harta. Namun, dalam situasi apa pun, anak adalah anak yang harus menaruh ketakziman luar biasa kepada orangtua.
Kejadian anak yang seperti itu, yang mengabaikan penghormatan, terjadi di banyak tempat di belahan negeri ini. Bahkan, di daerah tertentu, terdapat seorang keponakan yang gelap mata lalu menikam pamannya sendiri dengan alasan sang paman merasa tidak enak dengan ayam kesayangan, piaraan ponakannya. Ada juga anak yang menikam ayahnya sendiri karena sang ayah tidak membelikan sepeda motor, dan banyak lagi kisah pilu merujuk kepada ketiadaan moralitas individu di tengah keluarga. Individu yang tidak waras moral di dalam keluarga berpotensi menciptakan ketidakwarasan saat bersama anak lain dalam keluarga yang berbeda.
Individu yang tidak waras moral di dalam keluarga berpotensi menciptakan ketidakwarasan saat bersama anak lain dalam keluarga yang berbeda.
Persinggungan anak yang memperuncing perbedaan ini tumbuh subur sampai ketika pada suatu ketika anak tumbuh menjadi dewasa di ring politik, kekuasaan, bursa kerja, dan atau lainnya. Berbeda sedikit saja, berpotensi runcing bahkan anarkis. Anak kemudian tumbuh menjadi pribadi yang paling benar dan tidak menghormati pendapat yang berbeda.
Bahkan, dalam sebuah dialog di televisi, dalam sebuah acara, terdapat pemuda yang berdiskusi dengan salah seorang guru besar. Karena tidak setuju dengan pandangan guru besar tersebut, pemuda itu mengambil secangkir gelas berisi teh, dan disiramkan ke wajah profesor. Jutaan warga negara menyaksikan adegan itu. Jika profesor itu bukan ayahnya, setidaknya ia adalah orang tua yang harus dihormati karena lebih tua, dan lebih berilmu.
Suasana kontemporer moral ini dari hari ke hari terasa kian mengalami kemajuan dari berbagai lini. Indikasinya, tren kecelakaan moral terjadi semakin sering, disubyeki oleh kalangan yang paling bawah hingga kelas papan atas. Namun, jika krisis moral ini sebagai sesuatu yang buruk, keburukan ini jelas saja tidak bisa dimusnahkan. Karena, panjang usia keburukan sama panjangnya dengan umur kebaikan.
Namun, para penegak moralitas ini dari berbagai aspek memiliki kewajiban untuk membuat kebaikan moral di ruang dan wilayahnya masing-masing, terutama di rumah, sekolah, pergaulan sosial, dan ruang kerja. Ini sebentuk ikhtiar kolektif dari para pihak agar derap merosotnya moralitas tidak semakin menggila, terutama di rumah dan sekolah.
Baca juga: Pendidikan Karakter, Buruk Muka Cermin (Tidak) Dibelah
Perilaku baik yang dilakukan secara terus-menerus akan menjadi kebiasaan. Kebiasaan yang tertinggalkan akan menyebabkan ritualitas individu terganggu dan merasa bersalah. Seorang anak yang terbiasa bersalaman kepada orangtuanya sebelum berangkat ke sekolah akan merasa tidak enak hati jika tidak melakukan itu. Oleh sebab tidak enak hati, perasaannya akan dihantui sikap bersalah. Apabila di rentang berangkat hingga pulang menemui masalah, anak cenderung menyalahkan dirinya karena tidak menyalami orangtuanya sebelum berangkat ke sekolah. Memang sulit pada awalnya, tetapi ketika dipaksa, lalu akan terpaksa, dan pada akhirnya terbiasa, kemudian bisa bertata krama yang pijakannya adalah moralitas itu sendiri.
Bagaimana dengan moralitas bangsa? Saat masih menjabat sebagai presiden, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah mengandaikan setiap keluarga dan anggotanya memiliki akhlak yang baik di rumahnya. Gus Dur beralasan, anggota keluarga yang baik di rumah, lalu keluar dari rumah, ia berpotensi untuk menularkan kebaikan kepada anggota keluarga yang lain, di luar rumah.
Sebaliknya, individu yang tidak baik-baik saja di keluarganya, jika keluar rumah, berpotensi untuk menularkan ketidakbaikan kepada penghuni rumah di tempat yang lain. Di situlah terjadi persekongkolan untuk mufakat ”makar”. Ketidakbaikan itu, pada akhirnya menemukan sekutu-serdadu pada saat yang sama, dan berseteru dalam deru-debu berikut huru-haranya, di situ.
Abrari Alzael, Mengajar Psikologi di INSTIK Annuqayah Sumenep