Invasi Rusia ke Ukraina akan memunculkan dilema mengenai arti penting kedaulatan teritorial, menimbulkan paradoks fungsi organisasi/pakta pertahanan, dan menyebabkan dampak krisis kemanusiaan melalui gelombang pengungsi.
Oleh
RADITYO DHARMAPUTRA
·4 menit baca
Keputusan pemerintahan Vladimir Putin untuk menginvasi Ukraina secara militer sejak 24 Februari 2022 menimbulkan banyak respons dari seluruh penjuru dunia. Hampir semua negara mengecam pelanggaran terhadap kedaulatan teritorial Ukraina ini, mulai dari Amerika Serikat sampai Indonesia. Bahkan, Pemerintah China melalui Menteri Luar Negeri Wang Yi juga menyampaikan perlunya menghargai integritas teritorial Ukraina.
Terlepas dari apa pun alasan dan justifikasi yang disampaikan Rusia, jelas bahwa invasi merupakan tindakan yang melanggar hukum internasional dan tidak bisa dibenarkan. Pertanyaan kritis yang perlu dijawab adalah konsekuensi lebih lanjut dari keputusan Rusia tersebut. Setidaknya, ada tiga konsekuensi global utama dari invasi Rusia itu.
Pertama, invasi Rusia menimbulkan pertanyaan tentang arti penting kedaulatan teritorial, terutama di wilayah dengan etnis minoritas yang tinggal di perbatasan. Banyak negara, terutama di Afrika dan Asia, memiliki kekerabatan etnis dengan tetangganya. Apakah kondisi ini membenarkan pelanggaran keutuhan wilayah negara lain berdasarkan justifikasi ”menyelamatkan saudara etnis mereka”? Bisakah perbatasan negara kemudian bergeser bergantung pada keberadaan kelompok etnis tertentu di sebuah ”wilayah kantong” di perbatasan? Apakah invasi besar-besaran sampai ke ibu kota suatu negara, dengan tujuan penggulingan pemerintahan yang sah, bisa dibenarkan dengan alasan etnisitas ini?
Pernyataan dari Perwakilan Tetap Kenya untuk PB Martin Kimani harus menjadi perhatian di sini. Martin Kimani menyebutkan bahwa wilayah negara-negara di Afrika tidak ditentukan sendiri oleh mereka. Jika mereka berniat untuk menyatukan wilayah berdasarkan kesamaan suku, agama, atau ras, Afrika masih akan diganggu oleh konflik yang tidak ada habisnya.
Argumen ini penting, mengingat banyak kerajaan dan imperium besar di masa lalu yang kemudian terpecah menjadi banyak negara dengan beragam etnis. Jika keputusan untuk menyelamatkan sanak saudara di negara tetangga diterima sebagai norma baru, niscaya akan memungkinkan munculnya banyak krisis di wilayah lain.
Pengakuan Rusia atas kemerdekaan Donetsk dan Luhansk (melanjutkan pengakuan mereka atas Abkhazia dan Ossetia Selatan pada 2008) memungkinkan munculnya negara-negara baru yang belum diakui oleh negara induk atau negara tetangga. Setiap wilayah memiliki gerakan penentuan nasib sendiri dan tindakan Rusia dapat memicu dorongan untuk deklarasi kemerdekaan dari banyak kelompok lain.
Invasi Rusia juga bisa menjadi preseden bahwa agresi militer bisa digunakan dengan alasan kedekatan etnis. Kalau sebelumnya agresi militer dari AS hanya menggunakan argumen ”kemanusiaan” dan sudah mendapatkan banyak kecaman, maka bisa jadi akan muncul narasi baru mengenai intervensi kemanusiaan berbasis kedekatan etnis.
AP Photo/Efrem Lukatsky
Para pengunjuk rasa memegang spanduk bertuliskan "Hentikan Putin" di depan Kedutaan Besar Rusia di Kiev, Ukraina, Selasa (22/2/2022).
Kedua, invasi Rusia kemungkinan akan menimbulkan paradoks arti penting organisasi keamanan bersama, seperti NATO. Di satu sisi, agresivitas Rusia akan mendorong penguatan solidaritas antar-anggota NATO. Saat ini saja, negara-negara seperti Estonia, Latvia, dan Lithuania sudah merasa beruntung mereka berhasil masuk NATO sejak 2004 sehingga tidak mengalami ancaman invasi yang sama seperti Ukraina. Permintaan mereka agar NATO meningkatkan kehadirannya di kawasan dibalas dengan aktifnya negara-negara ini membantu Ukraina, terutama lewat kiriman persenjataan.
NATO juga akan semakin menemukan arti pentingnya karena apa pun hasil akhir dari invasi Rusia ini, NATO kembali menemukan eksistensinya dengan kembalinya musuh bersama mereka. Kalau sejak berakhirnya Perang Dingin NATO lebih sering terlibat di kawasan luar Eropa, maka momentum ini seakan menguatkan ide dasar soal keamanan bersama, seperti yang terjadi saat perang Kosovo pada 1999.
Di satu sisi, agresivitas Rusia akan mendorong penguatan solidaritas antar-anggota NATO.
Di sisi lain, arti penting kerja sama pertahanan macam ini, terutama bagi negara non-anggota, menjadi bisa dipertanyakan. Fakta bahwa Ukraina harus berjuang sendiri meski dengan banyak bantuan senjata dari masing-masing negara NATO menunjukkan bahwa organisasi ini kurang berguna bagi negara non-anggota. Terlebih lagi ketika harus dihadapkan pada kekuatan besar lainnya, seperti Rusia, kalkulasi perhitungan strategis NATO menjadi mengarah pada perimbangan kekuatan antarnegara besar, tetapi meninggalkan kepentingan negara-negara kecil di kawasan.
Kondisi ini memungkinkan negara-negara di kawasan lain meragukan arti penting kerja sama pertahanan untuk membendung kekuatan besar. Posisi China di kawasan Asia Pasifik, misalnya, berada dalam posisi serupa karena dihadapkan pada pakta pertahanan baru AUKUS yang berisikan AS, Inggris, dan Australia. Negara-negara kecil di kawasan Asia Tenggara, yang bukan anggota AUKUS, tentu akan menghitung ulang apakah pengalaman kompetisi NATO dan Rusia di Eropa, serta dampaknya, akan diulangi oleh China dan AUKUS.
Terakhir, krisis kemanusiaan yang muncul dari invasi ini harus menjadi catatan serius. Hanya dalam waktu beberapa hari saja, ratusan ribu warga Ukraina telah menjadi pengungsi di negara-negara sekitarnya, seperti Polandia. Negara-negara di Eropa yang sebelumnya sudah memiliki masalah serius terkait gelombang pengungsi dari Suriah dan dari kawasan Afrika Utara akan dihadapkan pada krisis yang lebih besar lagi.
Apabila sebelumnya beban menerima pengungsi jatuh pada Turki karena kedekatan kultural, maka pengungsi dari Ukraina justru akan menjadi tanggung jawab dari negara-negara yang baru bergabung ke Uni Eropa sejak 2004, seperti Polandia, Hongaria, negara-negara Baltik, dan Romania. Krisis ini akan menjadi tantangan besar bagi Uni Eropa, terutama terkait dengan pembagian kuota pengungsi di setiap negaranya.
Radityo Dharmaputra, Pengamat Kawasan Rusia dan Eropa Timur; Pengajar di Departemen Hubungan Internasional Universitas Airlangga; Sedang Menempuh S-3 di Johan Skytte Institute of Political Studies, University of Tartu, Estonia