Ketidakcerdasan Buatan
Kecerdasan buatan tidak bisa cerdas dengan sendirinya, dan hanya terbatas melakukan tugas-tugas spesifik dan rutin. Mereka tetap tidak dapat menggantikan kecerdasan manusia.
Mesin-mesin berkembang semakin cerdas, tetapi kadang kecerdasan manusia yang dijadikan model justru terkelabui oleh kecerdasan buatan. Apakah kecerdasan buatan benar-benar secerdas apa yang kita pikirkan?
Pergeseran kecerdasan
Alan Turing, Charles Babbage, John Von Neumann, dan Konrad Zuse adalah tokoh-tokoh penemu komputer. Alan Turing merupakan salah satu tokoh yang banyak berkontribusi di bidang ilmu komputer teoritis dan perintis kecerdasan buatan. Papernya tahun 1950 berjudul “Computing Machinery and Intelligence” merupakan sumber renungan filosofis yang menarik tentang konsep kecerdasan (intelligence), mesin (machines), dan berpikir (thinking).
Awalnya Turing berusaha mengajukan pertanyaan “apakah mesin dapat berpikir?” - “Can machines think?” Sebelum menjawab pertanyaan itu, ia perlu mendefinisikan terlebih dahulu apa itu ‘mesin’? dan apa itu ‘berpikir’? Namun, sama seperti usaha banyak orang sebelumnya, tidak ada definisi yang dapat sepenuhnya menangkap esensi dari ‘pikiran’ sama halnya usaha mendefinisikan tentang ‘kesadaran/consciousness’.
Baca juga: Ancaman Perpecahan karena Bias Teknologi Kecerdasan Buatan
Ia akhirnya meninggalkan pertanyaan tersebut dan bergeser ke pertanyaan selanjutnya, bagaimana kita menguji apakah sebuah 'mesin' benar-benar dapat ‘berpikir’ dan ‘cerdas’? Untuk menjawab ini Turing membutuhkan bantuan sebuah gim eksperimental. Ia menyebutnya dengan istilah ‘The Imitation game’ atau dalam bahasa umumnya tes turing.
Singkat cerita, jika sebuah mesin dapat lolos tes turing, maka kita dapat mengatakan bahwa sebuah mesin dapat berpikir, atau dapat dikatakan mesin tersebut cerdas. Namun sampai saat ini, tahun 2022, belum ada satupun mesin yang dapat lolos pada tes turing.
Katarina Zweig, profesor ilmu komputer dan ilmuwan bidang sosio-informatik, memperingatkan agar tidak mengambil dan memaknai kata kecerdasan dalam istilah kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) secara harfiah. “Apa yang kita miliki saat ini adalah pembelajaran mesin (machine learning)," kata Zweig.
Machine learning dapat dikatakan seperti statistik dengan kemampuan komputasional yang lebih canggih (statistics on steroids). Kita dapat menggunakannya dalam banyak hal, mulai dari memberikan rekomendasi belanja hingga kendaraan swakemudi, tetapi tidak ada mesin yang benar-benar cerdas.
Untuk membuat dan mengembangkan kecerdasan mesin yang sama seperti yang dimiliki oleh manusia, perlu kontribusi banyak bidang keilmuan. Tidak hanya komputer, tetapi juga neurosains hingga filsafat. Sebagian besar ilmuwan AI setuju, perlu pemahaman mendalam tentang cara otak manusia bekerja sebelum dapat mereplikasi kecerdasan yang dimiliki oleh manusia. Namun, saat ini cara kerja otak manusia pada tingkat algoritmik tersebut masih belum sepenuhnya kita pahami.
Untuk membuat dan mengembangkan kecerdasan mesin yang sama seperti yang dimiliki oleh manusia, perlu kontribusi banyak bidang keilmuan.
"Irreplaceable intelligence"
Ketika kita membahas tentang kecerdasan terdapat relasi dengan kesadaran. Masalah utama untuk meneliti tentang kesadaran manusia yaitu ia tidak dapat diobservasi (unobservable). Berbeda secara radikal dengan sains pada umumnya yang memiliki corak positivistik.
Namun, sekarang terdapat kesepakatan bahwa masalah kesadaran adalah masalah ilmiah yang serius. Selain itu banyak juga peneliti percaya, mereka hanya perlu terus memeriksa struktur fisik otak untuk mengetahui bagaimana mereka menghasilkan sebuah kesadaran (Philip Goff, 2019).
Menurut ahli neurosains dan pendiri DeepMind, Demis Hassabis, dalam tulisannya di jurnal Nature ‘Is the brain a good model for machine intelligence?’, menjelaskan bahwa untuk mengembangkan dan memajukan bidang AI, kita perlu lebih memahami cara kerja otak manusia pada tingkat algoritmik. Bagaimana representasi dan proses yang digunakan oleh otak untuk menggambarkan dunia di sekitar kita.
Baca juga: Memberdayakan Kecerdasan Buatan di Lingkup Personal hingga Global
Di dalam kajian philosophy of mind cabang dari filsafat analitik modern, kita mengenal istilah qualia, yaitu pengalaman kesadaran subyektif. Qualia merupakan istilah yang tidak biasa untuk sesuatu yang sangat biasa bagi kita, yaitu bagaimana suatu benda tampak dari sudut pandang kita (Daniel Dennett, 1988). Bagaimana manusia merasakan pengalaman secara kualitatif, misalnya melihat apel merah berbeda rasa dengan melihat apel hijau. Kualitas dari pengalaman-pengalaman inilah yang memberi ‘rasa’ yang khas. Lantas pertanyaanya, apakah AI dapat membentuk dan merasakan qualia?
Komputer dapat membedakan dan memisahkan apel hijau dan apel merah menggunakan pattern recognition ataupun deep learning. Namun, mereka tidak memiliki pengalaman dan kesadaran subyektif dari perbedaan apel tersebut. Mereka menghitung perbedaan representasi warna dalam format digital secara kuantitatif. Apa yang dilihat oleh komputer adalah representasi angka-angka matematis yang berbeda, tetapi bukan qualia. Selain itu, komputer masih perlu bahasa komunikasi untuk berdialog dengan manusia melalui bahasa pemrograman.
Python, R, dan Java merupakan beberapa contoh bahasa pemrograman yang populer digunakan. Masing-masing bahasa tersebut dapat digunakan untuk melakukan komputasi, perhitungan statistik, maupun menampilkan grafik. Mereka dapat dijalankan di atas sistem operasi seperti windows, linux, ataupun sistem operasi yang tertanam pada embedded system.
Istilah kecerdasan buatan ternyata tidak didasarkan pada makna kecerdasan yang selama ini kita pahami. Oleh karena itu, AI hari ini tidak bisa cerdas dengan sendirinya. AI hanya terbatas untuk melakukan tugas-tugas spesifik dan rutin.
Ketakutan gambaran tentang Skynet, AI revolusioner dengan kecerdasan dan kesadaran sama dengan manusia, pada film Terminator (1984) yang dibintangi oleh Arnold Schwarzenegger hanyalah sebuah mitos atau fiksi belaka. Tak seharusnya kita percaya.
Namun, beberapa pekerjaan yang memiliki sifat mekanistik berulang tetap dapat tergantikan oleh mesin dengan mudah.
AI hari ini tidak bisa cerdas dengan sendirinya. AI hanya terbatas untuk melakukan tugas-tugas spesifik dan rutin.
Kualitas implementasi
Kita sebagai masyarakat harus melihat secara komprehensif dan mendalam terhadap kemungkinan penggunaan kecerdasan buatan khususnya pada ketenagakerjaan, sosial, hingga pendidikan. Kita perlu bersama-sama memonitor implementasi kecerdasan buatan, dimana kita boleh dan tidak boleh menggunakannya sama sekali.
Dalam buku “Ein Algorithmus hat kein Taktgefühl” menjelaskan, sistem algoritmik yang dapat membuat keputusan dan memberikan dampak secara langsung maupun tidak langsung kepada manusia perlu mendapatkan perhatian lebih.
Baca juga: Membaca Peluang pada Era Kecerdasan Buatan
Misalnya, di bidang pertanian, pemupukan dan penyiraman secara otomatis bukan termasuk sistem yang perlu perhatian lebih. Namun, sistem autopilot kendaraan yang bisa mengakibatkan terjadinya kecelakaan perlu mendapatkan perhatian. Sistem pengenal gambar atau penerjemah ucapan bukan termasuk yang perlu mendapatkan perhatian. Kecuali, ketika sistem ini dipasang pada alat yang dapat menyebabkan kecelakaan, maka perlu pengawasan lebih.
Jadi, dengan adanya konsep ini, ketika ada yang ingin mengimplementasikan AI, kita perlu lihat dahulu apa sistemnya, dan bagaimana dia memutuskan sesuatu. Jika tidak ada dampak negatif yang besar baik secara langsung maupun tidak langsung kepada manusia, kita dapat menggunakan sistem tersebut secara aman. Selain itu kita perlu tahu standar kualitas keputusan yang diambil.
Kualitas keputusan yang diambil oleh mesin terdiri dari tiga faktor. Pertama, kualitas dan kuantitas data yang masuk. Kedua, memahami asumsi dasar dari karakteristik sebuah pertanyaan. ketiga, apa yang dianggap oleh masyarakat sebagai “keputusan baik” secara etis dan moral di lingkungan sosial. Tiga faktor tersebut yang akan banyak berpengaruh tentang cara kita mengukur kualitas keputusan dari AI di masyarakat.
AI ke depan akan menjadi bagian dari hidup kita. Hal yang paling penting pada teknologi ini adalah masyarakat. AI akan masuk pada setiap aspek kehidupan, termasuk memberikan keputusan terkait hal-hal penting. Kita perlu memikirkan apa itu “keputusan yang baik”, baik secara moral maupun budaya di lingkungan masyarakat kita. Oleh sebab itu, ketika mereka hadir, kita dapat memberikan rekomendasi perbaikan yang diperlukan sesuai dengan konteks sosial masyarakat kita.
Baca juga: Menyambut Teknologi Swakemudi
Bagaimanapun, AI hanyalah sebuah alat yang dapat membantu dan mempercepat tugas manusia. Pada akhirnya manusia tetap menjadi subyeknya. Setiap hal memiliki limit atau batasan, termasuk teknologi. Kita tidak bisa berasumsi bahwa komputer pasti melakukan hal yang benar.
Perlu pergeseran paradigma makna kecerdasan. Mungkin mereka sangat cerdas melebihi manusia pada pekerjaan-pekerjaan yang spesifik, tetapi kecerdasan manusia berbeda dan tak tergantikan oleh mesin. Kecerdasan manusia yang dijadikan model oleh kecerdasan buatan jangan sampai terkelabui dan malah membentuk ketidakcerdasan buatan.
Ahmad Mustafid, Mahasiswa Magister Computer Science Technische Universität Kaiserslautern, Jerman