Bertransformasi Melalui Kepemimpinan yang Melayani
Keberhasilan transformasi di suatu organisasi, termasuk perusahaan, tidak bisa hanya digantungkan pada seseorang atau unit, termasuk bagian SDM, tetapi harus melibatkan semua kalangan.
Oleh
Tri Agung Kristanto
·5 menit baca
Maka, perlu digarisbawahi, bahwa semua transformasi ke depan harus dilakukan dengan memperkuat fondasi awalnya. Banyak perusahaan melakukan kesalahan dengan mencoba bertransformasi dengan mengubah semuanya, bahkan menghentikan sesuatu yang sebelumnya sudah bagus dan menjadi kekuatan mereka. (Pambudi Sunarsihanto, Adriani Sukmoro, Josef Bataona, dan kawan-kawan; Berubah atau Punah: Bertransformasi di Tengah Disrupsi, Penerbit Buku Kompas, 2022).
Tiga belas bukanlah angka sial. Bagi sebagian warga Italia, 13 merupakan angka keberuntungan. Dalam buku karya penulis ternama dari Amerika Serikat, Oliver Napoleon Hill (1883-1970), berjudul Think and Grow Rich (The Ralston Society, 1937), angka 13 justru digunakan untuk menggambarkan watak dasar yang harus dimiliki oleh seseorang yang berkeinginan sukses, berhasil bagi diri, dan organisasi yang dipimpinnya.
Watak ke-13 adalah intuisi atau indera keenam. Kesuksesan tidak hanya bergantung pada perencanaan dan manajemen diri atau organisasi, tetapi juga intuisi dalam mencermati situasi. Buku Hill ini merupakan salah satu dari buku terlaris sepanjang masa di dunia dan hingga kini masih diterbitkan.
Keberuntungan, dan juga kesuksesan, saat mengarungi disrupsi itulah yang diharapkan dari 13 direktur sumber daya manusia (SDM), dari berbagai perusahaan nasional dan multinasional, yang tergabung dalam Human Resources Directors Forum (HRDF), saat menuangkan pemikiran dan pengalaman melalui sebuah buku berjudul Berubah atau Punah: Bertransformasi di Tengah Disrupsi (2022). Menurut Irvandi Ferizal, salah seorang penulis, buku itu dituliskan dengan format yang menyatu, tak terlihat lagi ciri dari 13 penulisnya.
Jika digabungkan, 13 penulis itu memiliki pengalaman lebih dari 400 tahun dalam memimpin perusahaan, khususnya dalam bidang sumber daya manusia, termasuk saat melewati disrupsi yang merontokkan sejumlah perusahaan di dunia, yang mapan selama puluhan tahun, bahkan ratusan tahun, dan sempat memimpin pasar. Nokia dan Kodak adalah perusahaan multinasional yang sering menjadi contoh kegagalan bertransformasi sehingga ”tertelan” disrupsi.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring mengartikan kata disrupsi sebagai hal tercabut dari akarnya. Agar tak tercabut dari akarnya itu, ke-13 direktur SDM dalam buku mereka, seperti disebut di atas, mengatakan, perusahaan harus melakukan transformasi dengan memperkuat fondasinya. Arti transformasi adalah perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dan sebagainya).
Situasi ini mengingatkan pada pesan dari Charles Darwin, ahli evolusi lebih dari 200 tahun lalu, yang mengatakan, ”It is not the strongest of the species, nor the most intelligent, but the one most responsive to change.” Bukan yang terkuat atau yang terpintar yang bisa bertahan, tetapi yang bisa merespons perubahan. Jika tidak bisa beradaptasi dengan perubahan, tidak hanya spesies, termasuk makhluk hidup, yang akan punah, tetapi juga dunia usaha.
Dunia korporasi mengalami perubahan sejalan dengan revolusi industri yang terjadi, dimulai dari revolusi industri 1.0 pada abad ke-18 hingga revolusi industri 4.0. Bahkan, menjelang terjadinya pandemi Covid-19, yang mempercepat dan memperdalam pengaruh disrupsi digital pada masyarakat, sejumlah kalangan mulai menggulirkan ”revolusi” Society 5.0.
Ripy Mangkoesoebroto, seorang penulis, mengingatkan, keberhasilan transformasi di suatu organisasi, termasuk perusahaan, tidak bisa hanya digantungkan pada seseorang atau unit, termasuk bagian SDM, tetapi juga harus melibatkan semua kalangan. Namun, pertama-tama yang harus bersepakat untuk melakukan transformasi adalah para pengambil keputusan di organisasi itu. Para pemimpin.
Tak mungkin sebuah transformasi juga hanya dilakukan direktur utama, direksi, ataupun pimpinan. Transformasi harus dijalankan semua orang, semua karyawan, semua pengemudi, mulai dari level yang paling atas sampai level yang paling bawah. Hal ini penting karena pelanggan hanya akan menilai sebuah perusahaan dari hubungan nyata yang mereka rasakan dari pengalaman berinteraksi dengan perusahaan itu.
Pambudi Sunarsihanto, salah seorang penulis, dalam diskusi buku terbitan Penerbit Buku Kompas (PBK) itu, Sabtu (26/2/2022), mengisahkan pengalamannya membantu sebuah perusahaan yang mencanangkan kepuasan pelanggan sebagai hal terpenting. Pelanggan adalah yang utama.
Namun, ternyata nyaris tempat parkir di perusahaan itu dipenuhi oleh kendaraan direksi sehingga pelanggan atau konsumen yang datang kesulitan memarkir kendaraan.
Situasi itu bertolak belakang dengan tujuan utama perusahaan. Organisasi di perusahaan lebih melayani pimpinan dibandingkan dengan pelanggan. Padahal, pelangganlah yang menjamin masa depan perusahaan. Untunglah, pimpinan dan karyawan di perusahaan itu bersedia berubah.
Kepemimpinan
Josef Bataona, seorang penulis, mengingatkan, kepemimpinan menentukan keberhasilan dari perusahaan untuk secara efektif melakukan perubahan. Kepemimpinan, yang diikuti dengan keterbukaan (openness), akan mampu membangun inisiatif dan kebersamaan dari semua pihak dalam organisasi/perusahaan. Dengan demikian, perubahan yang direncanakan bisa berjalan dengan baik dan dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Organisasi tidak hanya selamat dari disrupsi, tetapi juga bertumbuh.
Ada empat karakter yang harus dimiliki oleh semua pemimpin dalam era ketidakpastian saat ini. Keempatnya adalah bisa membaca tren atau kecenderungan yang akan terjadi di masa depan (visionary) serta berani menyampaikan kabar buruk kepada seluruh anak buah/karyawan, menciptakan ketidaknyamanan, dan membangun kewaspadaan (courage). Ketiga, pemimpin harus mampu mengajak seluruh karyawan berinisiatif, mencari peluang baru untuk masa depan perusahaan (engaging people); serta keempat, mengajak semua orang dalam organisasi itu untuk bertindak (action oriented). Memang, dalam situasi krisis, terdisrupsi, ada saja karyawan yang tidak nyaman dan memutuskan meninggalkan perusahaan.
Dalam huruf China, kata krisis dilambangkan sebagai gabungan dari dua simbol: bahaya dan peluang. Berarti memang dalam setiap krisis pasti ada bahaya, tetapi sebaliknya terdapat banyak peluang pula, yang kalau bisa ditemukan dan dimanfaatkan, dapat membuat perusahaan berkembang. Menurut Pambudi, hanya pemimpin yang mampu mengubah dirinya sendiri yang dapat mentransformasikan timnya serta bisa mentransformasikan organisasi yang dipimpinnya yang mampu membawa perusahaan melewati krisis, dan tak tercabut dari akarnya. Bahkan, berkembang lebih baik.
Transformasi harus dijalankan semua orang, semua karyawan, semua pengemudi, dari level yang paling atas sampai level yang paling bawah.
Dalam situasi krisis, yang dibutuhkan adalah pemimpin yang mampu memimpin dirinya, bisa memimpin tim, dan mampu memimpin organisasi/perusahaan. ”Kita mempunyai kearifan seorang pemimpin seperti ini, yang dipesankan Ki Hadjar Dewantara, yaitu ing ngarsa sung tuladha (di depan memberikan teladan), ing madya mangun karsa (di tengah membangun inisiatif dari anggota tim), dan tut wuri handayani (mendukung, merestui anggota tim dalam menjalankan inisiatif baiknya),” kata Pambudi.
Inilah pemimpin yang melayani (servant leadership). Layani karyawan (anak buah) agar mereka melayani pelanggan (publik) dengan sepenuh hati dan bersedia bersama mengembangkan perusahaan agar sukses bersama dalam jangka panjang.