Pandji Wisaksana Sang Filantrop Sejati Itu Berpulang
Pandji Wisaksana identik dengan gerakan MATAHATI Peduli Lingkungan. Dia menjadi pemrakarsa, pendiri, dan penasihat gerakan sosial yang sejak 2008 mengoperasi gratis sampai hari ini lebih dari 26.000 pasien katarak.
Oleh
ST SULARTO
·4 menit baca
Menyusul istrinya, Trijuani (92) yang meninggal 26 Mei 2021, setelah dirawat karena usia di RS Graha Kedoya, Pandji Wisaksana berpulang Kamis, 24 Februari 2022, pukul 04.00, dalam usia 96 tahun. Ia meninggalkan empat putra dan tujuh cucu. Jenazahnya disemayamkan di Rumah Duka Grand Heaven, Pluit Raya. Misa arwah pada Kamis (24/2) malam dan dikremasi Sabtu (26/2) pagi.
Pandji Wisaksana identik dengan gerakan MATAHATI Peduli Lingkungan. Dia menjadi pemrakarsa, pendiri, dan penasihat gerakan dan kegiatan sosial yang sejak 2008 mengoperasi gratis sampai hari ini lebih dari 26.000 pasien katarak yang kurang mampu. ”Tahun 2020 dan 2021 MATAHATI hanya sedikit melakukan kegiatan karena pandemi Covid-19,” kata Wandi S Brata, Ketua Pelaksana MATAHATI Peduli Lingkungan. ”Kegiatan memang melambat sejak ada program BPJS dari pemerintah, tetapi tetap jalan sampai sekarang,” tambah Tony Djumadi, anggota Pembina.
Sering bertemu dalam kegiatan sosial MATAHATI sejak 2008 dan berbagai yayasan, penulis berkenalan dengan figur pengusaha yang ingin menjadikan hidupnya berarti bagi orang lain, terutama kelompok miskin. Kegiatan MATAHATI Peduli Lingkungan adalah bukti Pak Pandji—begitu ia biasa dipanggil—tak omong doang, tak hanya berpidato, tetapi berbuat. Acta non verba, tidak dengan kata-kata saja, tetapi dengan perbuatan.
Pandji Wisaksana identik dengan gerakan MATAHATI Peduli Lingkungan.
Karena itu, Pak Pandji adalah filantrop sejati. Membantu tanpa pamrih. Membantu sesama adalah luapan spirit tanggung jawab sosial, selain disemangati penghayatan agama, tetapi menyatu sebagai jati diri. Pak Pandji menyumbang bukan karena dana yang disisihkan dari kelebihan usaha—tanggung jawab sosial perusahaan (CSR)—melainkan spirit tanggung jawab sosial personal. Jiwa filantropisme (cinta kepada sesama) menyatu sebagai jati diri.
Berbagai jabatan yang masih melekat ia hayati bukan sebagai representasi nafsu kekuasaan, melainkan tugas, tanggung jawab, dan kesempatan menolong sesama. Ia biasa menjadi alternatif kesulitan kebutuhan dana yayasan atau kegiatan sosial. Selain dari kantong sendiri, juga dari sesama pengusaha yang menaruh hormat dan segan sehingga sukarela menyisihkan dana bukan dari CSR usahanya.
Sejak kapan semangat filantropis tumbuh? Ia jawab, ”Sejak sekolah dasar lewat kegiatan kepanduan. Ketika SMA saya aktif juga dalam kegiatan Palang Merah Indonesia yang membantu para pejuang dalam peristiwa Bandung Lautan Api.”
Bertahun-tahun menyaksikan bapaknya tak melihat, tumbuh perasaan betapa beratnya beban penderitaan orang tak bisa melihat.
Mata itu jendela dunia
Mengenai kegiatan di bidang kesehatan mata, terutama operasi katarak bagi orang miskin, selain bidang pendidikan, yang ditekuni sampai akhir hayatnya, sering dia katakan, ”Mata itu jendela dunia.” Awalnya mungkin kebetulan. Ayahnya, Pam Jam Soe, tunanetra, sebab lingkungan kerja di pertambangan timah Bangka Belitung. Ayah dan keluarganya pindah ke Bandung dan membuka toko kelontong. Paulus Pandji Wisaksana yang lahir 27 Juni 1925 dalam kondisi kekurangan, anak keempat dari 10 saudara, awalnya ingin menjadi dokter. Tujuan praktisnya agar bisa merawat bapaknya.
Ia tercekat. Bertahun-tahun menyaksikan bapaknya tak melihat, tumbuh perasaan betapa beratnya beban penderitaan orang tak bisa melihat. Mata itu jendela melihat dunia.
Malang melintang, Pak Pandji berusaha, mulai dari jual beli hasil bumi, menjadi wartawan Bandung Herald—harian berbahasa Mandarin pertama di Bandung—sampai menjadi pengusaha peralatan rumah tangga berbahan plastik. Ia orang pertama yang memperkenalkan pipa plastik tahun 1960-an. Ia pun disebut Bapak Pralon, juga Raja Plastik. Prihatin menyaksikan dan seolah ikut merasakan beban berat sesama, semangat bela rasa itu kian berkembang.
Setelah pindah ke Jakarta, ia tak terjun ke bidang kesehatan, tetapi bisnis. Ia lulus sarjana administrasi niaga dari Universitas 17 Agustus Jakarta. Pak Pandji juga mendapatkan gelar Doktor Kehormatan Bidang Perdagangan dari Nova University, Florida, Amerika Serikat.
Sebagai langkah awal, gerakannya fokus pada operasi katarak gratis bagi warga miskin.
Keinginannya terealisasi saat terbit biografinya berjudul Mata Hati Sang Pioneer Indonesia yang diterbitkan PT Gramedia tahun 2006. Semua hasil produksinya adalah modal pertama gerakan MATAHATI Peduli Lingkungan. Jumlahnya tak seberapa, tetapi kian besar berkat bantuan pengusaha yang tergerak berkat kepercayaan pada ketulusan hati seorang Pandji Wisaksana. Semakin besar terkumpul, kegiatannya dari kricikan (pancuran kecil) menjadi grojokan (pancuran besar).
Sebagai langkah awal, gerakannya fokus pada operasi katarak gratis bagi warga miskin. Semua pengeluaran, termasuk penyelenggaraan, dibiayai lembaga. Dokter yang terlibat juga sukarela. Sejak awal kelahirannya hingga kini, kegiatan ini bekerja sama dengan dokter ahli mata, anggota Persatuan Dokter Ahli Mata Indonesia (Perdami), juga sesuai dengan kegiatan Lions Club yang dia pimpin bertahun-tahun, sehingga dia biasa dipanggil ”Pak Lions Pandji”.
Penyakit mata tak mematikan, ujar dokter Tjahjono Gondowiardja, SpM dari Universitas Indonesia, Ketua Perdami Pusat yang terlibat saat MATAHATI bergulir tahun 2008. Namun, lebih dari 1,5 persen warga Indonesia mengalami kebutaan, salah satu penyebabnya katarak. Penambahan setiap tahun rata-rata 200 penderita katarak. Setahun berjalan, program MATAHATI bisa mengoperasi 5.000 pasien katarak, dan sampai kini lebih dari 20.000 pasien telah dioperasi.
Aksi sosial filantropis Pak Pandji menjadi warisan kepedulian kepada sesama yang tak ternilai. Sosok yang bicara pelan, tetapi jernih dengan sorot mata yang teduh, itu berpulang. Selamat jalan, Pak Pandji.