Diplomasi Digital, Waktunya untuk Duta Besar Urusan Digital
Pemerintah perlu bekerja sama dengan perusahaan dan industri teknologi untuk mengamankan kepentingan dan menangkap peluang di masa depan. Di sini pentingnya peran duta besar untuk urusan digital.
Oleh
ALBERT TRIWIBOWO
·6 menit baca
Digitalisasi adalah topik yang banyak diperdebatkan akhir-akhir ini dan biasanya kemudian diikuti pula oleh isu terkait ruang siber. Di tengah masa pandemi yang belum terlihat jelas kapan akan berakhir, kedua isu tersebut seolah mendapatkan perhatian yang belum pernah didapat sebelumnya. Bagi Indonesia, ini akan menjadi momentum untuk mencapai kepentingan terkait upaya digitalisasi, terutama di tengah diskusi pembangunan ibu kota negara baru yang mengusung konsep smart city dan pemerintahan digital.
Perhatian dan minat Indonesia, seperti yang ditunjukkan Kementerian Luar Negeri (Kemlu), pada isu digitalisasi dan diplomasi sebetulnya bukanlah hal baru. Beberapa inisiatif tercatat pernah muncul dan diselenggarakan untuk lebih menggerakkan diplomasi digital Indonesia.
Berawal di tahun 2017 ketika untuk pertama kalinya Kemlu memasukkan poin terkait diplomasi digital dalam Rencana Strategis Kementerian, inisiatif dilanjutkan dengan penyelenggaraan konferensi regional tentang diplomasi digital di tahun 2019. Kemudian, di tahun 2021, konferensi internasional diplomasi digital diselenggarakan melanjutkan konferensi regional sebelumnya, setelah sempat tertunda karena pandemi di tahun 2020. Sayangnya, poin tentang strategi diplomasi digital jarang secara tegas muncul dalam pernyataan pers tahunan Menteri Luar Negeri akhir-akhir ini.
Di tengah upaya untuk mendorong laju digitalisasi di Indonesia, akhir tahun 2021 juga memberikan pengalaman yang berharga bagi Indonesia. Tiga pekan sebelum konferensi internasional diplomasi digital, tepatnya di bulan Oktober, situs Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) diretas pihak yang tidak bertanggung jawab. Peristiwa itu menyisakan tanda tanya besar terhadap aspek keamanan ruang siber Indonesia.
Di luar Indonesia, berita besar dalam bidang teknologi muncul ketika Facebook memutuskan untuk melakukan rebranding menjadi Meta dan memperkenalkan ide Metaverse untuk pertama kali secara resmi. Ide tersebut terkait dengan realitas baru yang ditawarkan dalam ruang virtual berbasis teknologi augmented reality dan virtual reality.
Adapun semua peristiwa yang terjadi telah mengarahkan kita ke arah yang sama, yakni penggunaan teknologi informasi dan komunikasi yang lebih kreatif dan dinamis serta memunculkan aktor yang lebih rentan pada saat yang bersamaan. Pertanyaannya adalah apa yang ditawarkan untuk negara seperti Indonesia?
Diplomasi digital dan siber
Dua istilah yaitu, siber dan digital, menjadi cukup terkenal belakangan ini. Dalam hubungan internasional dan diplomasi, kedua istilah tersebut terkadang digunakan secara bergantian. Beberapa orang memperlakukan diplomasi siber sama dengan diplomasi digital. Padahal, kedua istilah tersebut memiliki aspek yang berbeda.
Dalam definisi yang paling sederhana, diplomasi siber lebih berfokus pada infrastruktur siber dan masalah keamanan ruang siber. Sementara itu, diplomasi digital lebih banyak bekerja pada sisi komunikasi antara diplomat dan publik di ranah digital, seperti di media sosial.
Diplomasi digital lebih banyak bekerja pada sisi komunikasi antara diplomat dan publik di ranah digital, seperti di media sosial.
Namun, kedua konsep dan praktik ini memang saling terkait. Diplomasi digital akan berjalan maksimal jika didukung oleh infrastruktur dan keamanan yang baik, di mana diplomasi siber berperan. Di sisi lain, diplomasi siber juga membutuhkan kerja diplomasi digital dan diplomat untuk mengomunikasikan kebutuhan infrastruktur siber yang baik serta keamanan siber, terutama kepada publik dan di acara-acara internasional. Keterkaitan tersebut membuat keduanya hampir tidak terpisahkan, tetapi perlu dikelola secara berbeda.
Duta besar untuk urusan digital?
Salah satu tantangan diplomasi siber dan digital yang efektif dan efisien adalah infrastruktur yang baik. Banyak analis, cendekiawan, dan pakar politik telah menggarisbawahi bahwa infrastruktur memainkan peran penting dalam teknologi informasi dan komunikasi.
Seiring dengan kejadian peretasan situs BSSN, salah satu situasi yang biasanya dihadapi oleh lembaga Pemerintah Indonesia adalah kurangnya infrastruktur yang memadai. Beberapa perangkat lunak yang digunakan bahkan hanya sebatas versi promosi sehingga menciptakan risiko keamanan karena sistem yang tidak berjalan dalam kapasitas maksimal. Alasannya cukup sederhana, harga yang cukup mahal dan kurangnya anggaran. Kalaupun anggaran tersedia, akan ada tanda tanya besar pada aspek keberlanjutan dan sumber daya manusia yang mengoperasikannya.
Peristiwa pandemi di awal tahun 2020 telah mendorong penggunaan platform digital untuk melakukan berbagai bisnis, termasuk urusan politik dan pemerintahan. Hal ini dapat dilihat dari dua perspektif berbeda.
Di satu sisi, pandemi telah mendorong penggunaan platform digital dan membuka kemungkinan bagi negara-negara berkembang dan kurang berkembang untuk bersaing secara setara dengan negara-negara lain. Beberapa negara berkembang telah menggarisbawahi kemungkinan tersebut dan menyatakan bahwa diplomasi digital telah memungkinkan mereka untuk hadir sama seperti negara-negara besar lainnya secara digital.
Di sisi lain, situasi pandemi juga menegaskan kenyataan bahwa negara maju sudah lebih siap dalam hal teknologi digital dan siber. Negara berkembang dan kurang berkembang harus, sekali lagi, menghadapi kenyataan bahwa mereka masih tertinggal.
Akan tetapi, perkembangan terakhir menunjukkan bahwa ada cara untuk mengatasi tantangan tersebut. Beberapa negara mulai menunjuk posisi baru, yaitu duta besar teknologi, utusan teknologi, duta besar untuk keamanan siber, atau duta besar urusan digital. Saat ini, Profesor Corneliu Bjola mengatakan, ada lebih dari 20 duta teknologi di seluruh dunia.
Fenomena ini baru, tetapi penunjukan tersebut jelas mewakili kebutuhan pemerintah untuk bekerja sama dengan perusahaan dan industri teknologi untuk mengamankan kepentingan dan menangkap peluang di masa depan. Kepentingan tersebut bisa berupa infrastruktur, transfer teknologi dan informasi terkini tentang update teknologi.
Karena Indonesia masih menghadapi masalah infrastruktur, anggaran, dan mungkin juga sumber daya manusia, gagasan untuk memiliki duta besar untuk urusan digital mungkin dapat dipertimbangkan. Peran duta besar untuk urusan digital nanti terkait dengan perwakilan negara untuk industri dan perusahaan teknologi global.
Di sini, duta besar Indonesia untuk urusan digital akan mewakili kepentingan dan nilai-nilai Indonesia pada teknologi informasi dan komunikasi sehingga bermanfaat bagi Indonesia ketika ada perkembangan terbaru. Dengan demikian, posisi duta besar untuk urusan digital juga dapat menjembatani hubungan antara BSSN, sebagai focal point keamanan siber di Indonesia, dan Kemenlu sebagai focal point diplomasi digital, di Indonesia.
Duta besar untuk urusan digital juga harus dilihat sebagai kemungkinan untuk berkomunikasi dengan aktor baru lainnya dalam diplomasi, seperti perusahaan multinasional dan publik yang semakin berpengaruh dalam hubungan internasional dewasa ini. Jika konferensi internasional terakhir tentang diplomasi digital mencoba untuk membuka peluang dan tantangan diplomasi digital, maka duta besar untuk urusan digital mungkin dapat menindaklanjuti peluang dan tantangan yang ada.
Oleh karena itu, duta besar untuk urusan digital dapat merangkul industri teknologi global untuk bekerja sama dan menyediakan situasi yang aman untuk membuka banyak peluang terkait digitalisasi. Salah satunya adalah regulasi di dunia maya. Pengenalan Metaverse telah menimbulkan kekhawatiran atas peraturan dunia maya. Posisi duta besar untuk urusan digital diharapkan dapat menarik minat perusahaan teknologi untuk berdiskusi lebih jauh dengan perwakilan pemerintah.
Gagasan duta besar teknologi Indonesia atau duta besar Indonesia untuk urusan digital mungkin masih terdengar asing, tetapi peluang ini dapat menawarkan bantuan kepada Indonesia mengenai teknologi terkini dan juga menciptakan pengaruh terkait masalah teknologi dalam urusan internasional. Sebagaimana dikatakan Corneliu Bjola dalam satu diskusi virtual akhir-akhir ini, era digital menuntut pemerintah untuk bersikap kreatif dalam menghadapi tantangan yang ada. Mungkin, salah satunya adalah dengan menciptakan pos baru untuk khusus berhubungan dengan teknologi informasi dan komunikasi.
Albert Triwibowo, Kandidat Doktor di Universität Rostock, Jerman; Asisten Profesor di Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Katolik Parahyangan Bandung