Revisi UU Pemerintahan Aceh dan Problem Otsus Aceh
Semangat perubahan Undang-Undang Pemerintahan Aceh harus menjadi komitmen untuk memperkuat sisi perdamaian dalam konteks tata kelola pembangunan berkelanjutan.
Oleh
TEUKU KEMAL FASYA
·5 menit baca
Pada 18 Januari 2022, Komite I Dewan Perwakilan Daerah melaksanakan rapat dengar pendapat yang melibatkan empat perguruan tinggi negeri di Aceh sebagai narasumber. Tujuannya, menggali pandangan atas wacana revisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh Nomor 11 Tahun 2006.
Dari empat PTN yang diundang, dua yang hadir, yaitu Universitas Malikussaleh dan Universitas Teuku Umar. Keduanya sepakat bahwa revisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU PA) harus dilakukan demi perbaikan pelaksanaan otonomi khusus (otsus) dan perdamaian Aceh.
Produk sejarah
Penulis melihat bahwa UU PA sebagai produk undang-undang lex specialis Aceh memang sudah selayaknya diubah. Perubahan itu bukan saja terkait keberhasilan UU Otonomi Khusus Papua (UU No 21/2001) diamendemen menjadi UU No 2/2021, sejalan berakhirnya 20 tahun pelaksanaan dana otsus Papua, tetapi juga karena secara intrinsik UU PA mengandung beberapa kelemahan.
Pertama, UU PA merupakan produk sejarah yang dipersiapkan secara simultan dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Pasca-penandatanganan nota kesepahaman antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005, poin 1.1 menyebutkan bahwa Aceh harus memiliki undang-undang baru yang mencirikan kemandirian pemerintahan (self-government). Waktu yang diberikan adalah enam bulan, dan ternyata meleset. Undang-Undang Pemerintahan Aceh itu disahkan pada 1 Agustus 2006.
Draf RUU ini awalnya dipersiapkan beberapa versi. Ada versi DPRA yang melibatkan tiga PTN di Aceh, Kementerian Dalam Negeri, lembaga swadaya masyarakat, kelompok perempuan, dan GAM (Teuku Kemal Fasya, ”RUU PA dan Rekonstruksi Aceh”, Kompas, 6 Februari 2006).
Naskah itu kemudian masuk ke Komisi II DPR an sempat berubah hingga enam kali, termasuk melakukan kompromi-kompromi tajam untuk menyesuaikan dengan ”selera Jakarta”, terutama pada isu sensitif, seperti syariat Islam, wali Nanggroe, pengadilan HAM, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, partai politik lokal, dan bagi hasil pengelolaan migas. Bahkan, ketika RUU PA ini disahkan, satu bulan kemudian pihak GAM telah berkirim surat kepada Presiden SBY agar UU itu segera direvisi karena belum sesuai dengan semangat Nota Kesepahaman Helsinki secara komprehensif.
KOMPAS/ZULKARNAINI
Jembatan gantung di Desa Sikundo, Kecamatan Pante Ceuremen, Kabupaten Aceh Barat, Aceh, dibangun menggunakan dana otonomi khusus. Sebagian besar pembangunan fisik di Aceh mengandalkan dana otonomi khusus
Kedua, sejalan dengan adanya perubahan pada konsep hukum tata negara dan nomenklatur kelembagaan secara nasional, beberapa hal dalam undang-undang diakui telah ”ketinggalan zaman”. Contoh, penyebutan lembaga pengawas pemilu sebagai ”Panwaslih”. Padahal, UU No 7/2017 telah mengubah lembaga pengawas pemilu itu menjadi lembaga permanen, yaitu Bawaslu. Demikian pula lembaga hukum pemutus sengketa pemilu bukan lagi Mahkamah Agung, melainkan Mahkamah Konstitusi. UU PA masih meneguhkan dualisme pengawas pemilu di Aceh setelah dikabulkannya judicial review UU Pemilu No 7/2017 Pasal 571 (Ayat d).
Ketiga, UU PA memiliki kelemahan pada aspek pengawasan dan monitoring dana otonomi khusus Aceh (DOKA). Pada Pasal 183 disebutkan peruntukannya untuk pembangunan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan rakyat miskin, pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan, tetapi tidak cukup jelas mekanisme pengawasannya.
UU PA memiliki kelemahan pada aspek pengawasan dan monitoring dana otonomi khusus Aceh.
Alhasil, 15 tahun perjalanan otsus, Aceh malah berdialektika menjadi provinsi termiskin di Sumatera (15,53 persen), ranking ketiga kelahiran bayi tengkes (stunting) nasional, ranking ke-24 nasional tingkat kelulusan di perguruan tinggi negeri, pengangguran terbuka menganga pada 6,3 persen, dan lain-lain. Seolah-olah tak berbekas dana Rp 96,25 triliun yang telah dicairkan.
Besarnya implementasi dana otsus tidak berkorelasi dengan peningkatan kesejahteraan dan menguatnya modal sosial Aceh. Inilah anomali implementasi dan buruknya tata kelola, yang berpuncak dengan ditangkapnya Gubernur Aceh dan Bupati Bener Meriah pada 3 Juli 2018 oleh KPK terkait DOKA. Mereka terjerat hanya satu tahun setelah terpilih melalui pilkada yang demokratis (Teuku Kemal Fasya, ”Serambi Korupsi”, Kompas, 6 Juli 2018).
Artinya, daya seduktif korupsi dana otsus melinting di tengah lemahnya surveilensi dan efektivitas implementasi. Jadilah DOKA sebagai praktik-praktik peng meuramin (uang bagi-bagi jatah) di lingkaran elite kekuasaan. Revisi UU PA harus mereduksi ruang koruptif itu seminimal mungkin melalui pengawasan berjenjang, hingga pemerintah pusat.
Merebut momentum
Kiranya ada 26 aspek kekhususan dan keistimewaan yang terdapat dalam UU PA bisa menjadi simalakama jika tidak dimaknai dengan praktik pemerintahan yang tepat. Semangat perubahan UU PA harus menjadi komitmen untuk memperkuat sisi perdamaian dalam konteks tata kelola pembangunan berkelanjutan.
Seperti kewenangan penguasaan hutan oleh Pemerintah Aceh akan menjadi katastrofe ekologis jika tidak disandarkan pada tanggung jawab konservasi, alih-alih hanya motif ekonomis-eksploitasi. Hari ini bencana ekologis yang kerap menimpa Aceh disebabkan politik konservasi hutan kalah kuat dibandingkan politik sawitisasi yang dikebut oleh kepala daerah untuk menambah keuntungan daerah dan pribadi. Demikian pula peralihan seluruh status kelurahan menjadi gampong, beberapa hal malah membonsai unit tata kelola pemerintahan terkecil itu dari kewenangannya sebagai musyawarah pimpinan daerah (muspida) plus.
Karena itu, proses revisi ini harus dilihat sebagai pekerjaan terukur, termasuk mengejar momentum pada masa pemerintahan Jokowi. Perbincangan untuk memulai menyusun draf pada tahun ini akan menjadi peluang penyempurnaan secara sistematis dan mencegah ”rudapaksa” pasal-pasal kunci di tengah jalan.
Memang Komisi II DPR belum berhasil memasukkan amendemen UU PA ini dalam Prolegnas 2022. Namun, upaya Komite I DPD yang mulai membentuk tim perumus menjadi ruang amunisi konseptual ketika nanti akan dibahas. Apalagi, ketua dan wakil ketuanya berasal dari Aceh dan Papua yang mengerti arti desentralisasi asimetris dalam konteks memperkuat NKRI. Membahas dan mengesahkan secara terburu-buru, seperti UU Ibu Kota Negara dan UU Cipta Kerja, hanya membuka peluang kesalahan sehingga kembali berulang kasus judicial review.
Saatnya kekhususan Aceh bergeser dari privilese simbolik-artifisial menuju representasi substansial demi penguatan demokrasi kesejahteraan bercirikan lokal.
Teuku Kemal Fasya, Dosen Universitas Malikussaleh; Tim Perumus RUU PA dari Kalangan Perguruan Tinggi pada 2005-2006